lima

15.9K 1.7K 104
                                    

"Aku tidak mengerti kenapa kau marah-marah seharian ini," ujar Mark.

Sudah beberapa hari sejak kejadian Edward menggagahiku. Kupikir aku akan melupakannya dan tidak peduli. Nyatanya, aku peduli. Edward terus mencoba menghubungiku yang kuabaikan dan tak kupedulikan. Seolah ia tak akan meninggalkanku sendiri. Itu membuatku kesal. Lalu dimulai dari dua hari yang lalu, ia berhenti menghubungiku. Itu juga membuatku merasa kesal karena aku merasa seolah dibuang dan tak diinginkan.

Tidakkah aku bertingkah lucu? Aku marah ketika ia menghubungiku, tetapi ketika ia berhenti, aku juga marah. Karenanya, suasana hatiku amat sangat buruk sejak terakhir aku menemuinya. Bahkan aku tak bisa menikmati akhir pekanku karena begitu jengkel dan mendendam pada Edward Drew.

Aku menatap Mark yang memandangku dengan wajah heran dan kebingungan. Kemudian berpaling dan menekan jariku ke pemindai sidik jari untuk absen pulang. Tak hanya Edward, pekerjaan juga membuatku jenuh. Aku amat sangat butuh penyegaran pikiran.

"Entahlah, aku juga berusaha untuk tidak marah-marah," ujarku sembari berlalu pergi.

"Kau mau ke mana? Kita tak ada mata kuliah!" kata Mark membuatku teringat jika hari ini sudah hari Rabu lagi. Yang mana berarti sudah seminggu sejak ia menghajarku.

Aku mengerang jengkel. Sialan. Edward Drew benar-benar mengacaukan sistem berpikirku. Aku berlalu menuju motorku, mengendarainya dengan pikiran melayang ke mana-mana. Teringat akan Edward, aku menggeram kesal, melajukan motorku lebih kencang, hampir seperti pembalap.

Saat aku melajukan motorku, sebuah mobil mendadak memotongku, berbelok ke sebuah persimpangan masuk ke hotel yang membuatku harus mengerem jika tak mau menabrak mobil itu. Ban motorku berdecit, sebelum meletus dan aku jatuh terguling. Motorku terlempar jauh beberapa meter dariku yang terjatuh. Aku mengumpat pelan.

Aku berusaha bangkit, memastikan jika aku tak terluka atau lebam. Namun, lututku lebam, tanganku juga. Bagian pinggangku terasa sakit dan rasanya aku agak kesulitan berjalan.

"Kau sudah gila?"

Aku menoleh, mendapati Mark yang berhenti di depanku. Ia langsung turun dari motor, membantuku berjalan dan mendudukanku di motornya. Ia berlari memeriksa motorku yang hampir hancur. Ban belakang meletus, badan motornya tergores dan kaca spionnya pecah.

Ah, sial. Aku harus membawanya ke bengkel lagi. Aku melirik Mark yang mendumal, meraih ponselnya di saku dan langsung menelepon Lucas dan Jaemi. Kemudian, ia menepikan motorku ke trotoar, beranjak ke arahku dan mendengus kesal.

"Kita ke rumah sakit," katanya membuatku langsung berjengit.

"Tidak mau!" balasku cepat. "Aku tidak luka."

"Siapa yang tahu? Kau tetap harus ke rumah sakit."

"Hei, kau tahu berapa biaya rumah sakit? Perusahaan tidak menanggung biaya rumah sakit, antar saja aku pulang dan jangan bertingkah berlebihan," ujarku kesal.

Mark menatapku dengan kesal juga, memilih mengalah dan akhirnya mengantarku pulang. Ia meninggalkanku di depan kontrakan dengan wajah masam.

"Kalau terjadi apa-apa, aku tidak mau tahu," ujarnya sebelum pergi.

Aku sih yakin jika aku tak akan apa-apa. Hanya lebam-lebam yang paling akan sembuh setelah satu atau dua minggu. Aku berjalan tertatih masuk ke kontrakanku, membersihkan diri dan beristirahat. Aku tak makan malam hari ini, kehilangan nafsu makan karena teringat motorku yang hancur. Aku tertidur, yang tidak biasanya karena aku bisa tidur meski sekitar kamar kontrakanku begitu berisik dan terbangun karena ponselku bergetar di meja.

Aku membiarkan ponselku awalnya, tapi kemudian memeriksanya karena merasa terganggu. Nama Edward muncul di layar ponselku, membuatku mendengus dan mengabaikannya. Aku menonaktifkan ponselku, beranjak bangkit dari ranjang dan menatap jam dinding. Pukul setengah delapan malam.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang