tiga puluh delapan

9.1K 1.2K 114
                                    

Aku terbangun ketika menyadari jika Edward dan Elliot tak ada di sampingku. Kami semalam tidur bersama karena Elliot merengek ingin tidur bertiga. Ayah dan Ibu membiarkan kami tidur seruangan tanpa banyak bicara, yang sangat aneh sekali. Entahlah apa yang mereka rencanakan. Yang jelas, mereka mulai bertingkah aneh.

Aku merenggangkan tubuhku yang terasa sakit, beranjak turun dari ranjang. Ayah sedang menyirami tanaman di halaman, Ibu memasak di dapur, sementara suara cekikikan Elliot terdengar dari kamar mandi. Pasti ia dimandikan Edward lagi.

Aku beranjak menuju dapur untuk minum. Ibu menatapku sekilas, kemudian kembali memasak. Aku duduk di kursi sambil menuang air putih dan minum lagi. Tubuhku terasa pegal karena akhir-akhir ini aku banyak kerjaan di kafe.

Edward dan Elliot keluar dari kamar mandi. Pria itu nampak sedikit kebasahan sambil menggendong Elliot yang dibalut handuk. "Ibu sudah bangun," katanya pada Elliot sambil membawanya ke kamar untuk berganti pakaian.

Aku menatap keduanya menggeleng. "Kenapa aku merasa seperti sedang dikhianati?" keluhku membuat Ibu berdecih.

"Dari pada kau berpikir begitu, bagaimana kalau kau istirahat di rumah saja? Ibu akan panggilkan tukang pijat kalau badanmu masih pegal," ujar Ibu.

"Sepertinya aku memang harus melakukannya," gumamku. "Badanku pegal sekali."

"Kau sakit?"

Aku menoleh pada Edward yang masih basah. Elliot berjalan di sisi Edward sambil menggandeng tangannya. Aku menggeleng. "Kenapa kau tidak mandi?" tanyaku pada Edward lalu tersenyum kepada Elliot. "Elliot, sini sarapan dulu!"

"Dia masuk angin dan pegal-pegal karena sering lembur," cerocos Ibu dengan nada kesal. "Benar-benar gila kerja!"

"Bu, aku kan tidak bilang masuk angin, cuma pegal-pegal," sahutku.

"Itu gejala masuk angin. Jangan pergi kerja dan tinggal di rumah. Ibu akan panggil Bibi Rina untuk memijatmu."

Aku menghela napas, memijat pelan leherku. Elliot memanjat naik ke kursi, membuatku melingkarkan tangan ke tubuhnya, menjaga supaya ia tidak jatuh. "Elliot juga bisa memijat Ibu," katanya mengulurkan tangan dan meninju-ninju pelan bahuku.

Aku terkekeh geli, mencium wajah Elliot berkali-kali karena gemas. Edward mendekat, mengusap rambut Elliot sejenak dan memijat bahuku lembut. "Apa kau sering masuk angin begini?"

"Bukan sering lagi! Aku khawatir anak ini tidak berumur panjang gara-gara lembur dan tidak menjaga kesehatannya sendiri!" sambar Ibu mengomel. "Ia benar-benar keras kepala sampai membuatku pusing!"

"Sifatnya yang satu itu sangat konsisten bahkan sampai ia punya anak," timpal Edward membuatku menatapnya kesal.

"Sana mandi!" usirku jengkel, beralih pada Elliot yang masih memukul-mukul pelan bahuku. "Elliot sarapan dulu, ya? Ibu akan antarkan ke sekolah."

Alih-alih menurut, Elliot menggeleng. "Tidak mau, Ibu sedang sakit. Elliot mau melawat Ibu di lumah!"

"Ibu sudah sehat sekarang. Sarapanlah," ujarku membujuknya.

Elliot berbalik, menatap Edward yang masih berdiri di sampingnya untuk meminta bantuan. Edward menatapku sekilas. "Ayah akan merawat Ibu, Elliot pergi sekolah, ya?"

Elliot mengerutkan bibirnya, "tidak mau."

"Kalau Elliot tidak sekolah, bagaimana mau jadi model?" tanyaku sambil menatapnya persuasif. "Nanti, Ibu tidak bisa lihat Elliot di sampul majalah sekolah lagi."

Ia menatapku dengan mata membulat, kebingungan sejenak sambil menatap aku dan Edward bergantian. "Elliot mau jadi model," lirihnya pelan.

"Kalau begitu, harus sekolah, ya?"

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang