tiga puluh dua

9K 1.6K 207
                                    

Usahaku menghindari Yona sejak kemarin tidak berhasil. Aku terpaksa harus berangkat ke sekolah bersamanya karena ia sudah menunggu di depan kafeku dengan wajah masam. Semalam, aku memutuskan tak pulang ke rumah gara-gara tak mau bertemu Yona.

Sepanjang perjalanan, ia terus menatapku menghakimi dengan tangan terlipat. Ia masih belum bertanya karena Elliot masih berada di sekitar kami. Anakku yang paling lucu sedunia duduk di kursi belakang, menggumam menyanyikan lullaby ciptaan Harley dengan riang.

"Ibu, apa hali ini aku boleh makan es klim?" tanya Elliot membuatku meliriknya dari kaca tengah.

"Boleh asal Elliot sudah makan nasi," jawabku membuat Elliot tersenyum kesenangan.

Yona menghela napas. "Giginya akan rusak jika kau biarkan ia makan es krim."

"Ia hanya makan es krim satu kali dalam sebulan. Lagi pula, itu hanya sekedar treat supaya perasaannya baik," jawabku ringan.

Yona berdecak kesal. "Lalu bagaimana dengan Edward?" tanyanya rendah. Sedikit banyak, aku sudah menceritakan soal Edward saat aku hamil dulu. Pasca persalinan, rasa rinduku memberatkan hatiku dan Yona yang akan menghiburku. Terkadang, saat aku sangat merindukannya sampai tak bisa kubendung, Yona akan menjadi pendengarku.

Aku masih merindukannya sampai sekarang, tetapi aku berusaha untuk tetap diam tanpa berniat menghubunginya. Kupikir, melihat wajah Elliot saja sudah cukup buatku. Ia mirip Edward dan rasa rinduku sedikit terobati dengan semua kelucuannya.

Aku melirik Elliot yang masih bersenandung, beralih pada Yona yang masih menatapku. Aku menghela napas dan menggeleng. "Aku yakin jika aku sudah memberitahumu tentang kami yang tak bisa bersama," jawabku pelan. "Begini sudah baik." lanjutku tanpa keyakinan.

"Jangan membohongiku!" katanya rendah, berusaha supaya Elliot tak mendengar percakapan kami. "Aku tahu bagaimana perasaanmu!"

"Perasaanku bisa saja berubah. Kau kan tahu aku ini plin-plan," sahutku pelan.

"Kau memang plin-plan, tapi kau mencintai pria itu. Jujurlah pada dirimu sendiri. Jika kau memang ingin bahagia dengan anakmu, terima perasaanmu, sakit hatilah sebentar dan lupakan dia!" Yona menatapku lekat. "Kau malah tak bisa melupakannya dan terus menjadi ibu tunggal hingga selama ini. Aku sungguh tak mengerti jalan pikirmu!"

"Aku juga," lirihku lemah. "Yah, tapi ia pasti sudah melupakanku."

"Omong kosong! Kau membuat seorang pria berhenti berkencan karena masih mencintaimu setengah mati," desis Yona membuatku menghela napas.

"Jangan berlebihan. Ia mana mungkin-"

"Kau sudah tidur dengan pria tapi masih tak memahami jalan pikir pria? Mereka sangat logis. Ayah Elliot tidak mungkin terus-terusan menyendiri. Ia jelas masih amat sangat mencintaimu," oceh Yona kesal. "Pria yang menggunakan akalnya akan mencari wanita lain, tapi Ayah Elliot masih menunggumu."

"Ia tidak menunggu-"

"Apa Ayah akan pulang, Bu?" tanya Elliot tiba-tiba membuat Yona berbalik menatap Elliot terkejut sementara aku meliriknya lagi dari kaca dan menghela napas lagi. Sepertinya, ia mendengar sedikit pembicaraan kami.

Aku mengatupkan bibir, memikirkan jawaban yang tepat tetapi Yona sudah menyambar lebih dulu. "Tentu, Ayahmu akan segera pulang."

"Benalkah?" Suara Elliot terdengar begitu bahagia. Aku tak pernah mendengarnya segirang ini. Ia tak pernah menanyakan soal Edward, tetapi ia begitu bahagia mendengar soal pria itu. "Paman Malk bilang Ayah akan pulang jika aku jadi anak baik dan tidak beltanya pada Ibu."

Ah, jadi Mark yang mengajarinya supaya ia tak bertanya soal Ayahnya? Aku tersenyum pahit, merasa terpukul karena aku bahkan tak menyadari jika Elliot merindukan Ayahnya. Bodoh! Kenapa aku tidak menyadarinya selama ini?

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang