empat belas

13.7K 1.7K 177
                                    

Gara-gara ulah Edward, satu gedung karyawan sampai gempar. Rumor jika aku akan menikahi Edward menyebar di seluruh kantorku. Mark juga ikut-ikutan heboh. Aku tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. Kujelaskan semuanya, tetapi mereka menganggapku merasa malu karena berhubungan dengan duda dan menasehatiku supaya menerima Edward apa adanya.

Maksudku, aku bahkan akan menerima pria itu apa adanya jika memang ia sungguhan berminat padaku, bukannya mencoba membuatku menjadi simpanannya. Ayolah, Edward Drew itu sangat tampan, rapi, wangi, kaya dan yang paling penting, pria itu kuat membuatku menjerit-jerit di ranjang sampai tenggorokanku terasa sakit. Aku bukan orang yang closed minded. Lagi pula, kedua orang tuaku tak mempermasalahkan status calon suamiku nanti, yang penting laki-laki karena bagi mereka aku berada dalam tahap mengkhawatirkan yang ekstrem.

Aku membaringkan tubuh di ranjang, menatap langit-langit kamar dan memejamkan mata. Aku merasa sangat lelah dan mengantuk, hampir tertidur ketika ponselku bergetar di nakas. Nama yang muncul di layar ponsel membuatku menghela napas dan mengganti ponselku menjadi mode silent. Edward Drew menghubungiku, dan aku tak mau berbicara dengannya setelah membuatku menjalani separuh hari dengan diteror pertanyaan oleh rekan kerjaku.

Aku teringat jika aku belum sempat memberi penjelasan pada Mark. Anak itu pasti akan mengadu pada Lucas atau Jeno. Dan benar saja. Begitu aku memikirkan kedua anak itu, pintu kamarku diketuk-ketuk, hampir digedor dengan suara Jeno dan Jamie yang terus memanggilku.

"Keluarlah. Lebih baik kau keluar dan ikut kami untuk menjelaskan tentang sesuatu yang kami dengar."

Aku menarik napas panjang begitu mendengar suara Jeno. Mau tak mau, aku beranjak bangkit dan membuka pintu, menatap Jeno dan Jamie yang berdiri di depan pintuku dengan wajah garang dan tangan terlipat di dada.

"Wah, kalian terlihat seperti kembaran kalau kompak begini," komentarku membuat Jeno mendelik.

"Ikut kami. Kita tak bisa bicara di kamarmu," ujar Jamie datar.

"Aku sedang tak enak badan," kataku dengan wajah sok sakit. "Besok sajalah."

Jeno memutar bola matanya, melirik Jamie yang membuat anak itu menarik tanganku sementara Jeno menutup pintu kamarku dan mengambil kunci yang tergantung di belakang pintu untuk menguncinya. Jamie menarikku paksa ikut dengannya ke mobil, sementara Jeno mengantongi kunci kamarku dan berjalan di belakang Jamie. Aku tak bisa berbuat banyak.

Mau tak mau, aku mengikuti keduanya yang membawaku ke Polar Bar. Karena terbilang masih dini untuk berada di bar, hanya ada segelintir orang di sana. Jeno dan Jamie membawaku ke tempat yang jauh dari pintu keluar dan jendela, hampir membuatku berada di sudut ruangan. Aku sedikit berterimakasih dengan pilihan tempat mereka mengingat aku hanya mengenakan kaus longgar dan celana pendek yang biasa kugunakan untuk tidur.

"Siapa pria itu?" tanya Jeno tanpa basa-basi begitu aku duduk di kursi.

Aku menarik napas panjang, mempersiapkan diriku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin lebih tak terduga dari ini. "Edward Drew."

"Maksudmu, Edward Drew yang memiliki gedung ini?" Jamie menatapku terkejut. "Kau serius?"

Aku mengangguk. "Kalau kau mau bilang aku mengencani suami orang, iya aku sudah tahu."

"Tunggu dulu. Dia sudah menikah?" Jeno melotot ganas padaku. "Dan kau tahu?"

"Aku baru tahu beberapa waktu lalu dan kuputuskan untuk tidak berhubungan lagi dengannya," kataku membuat si kembar itu menatapku tak percaya. "Maksudku, aku berusaha tidak berhubungan lagi dengannya. Masalahnya, dia sangat terobsesi padaku dan bahkan tidak mau melepaskanku. Jadi, ia mengurus surat cerainya setelah tiga tahun pisah rumah dengan istrinya dan kembali lagi saat perceraiannya selesai."

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang