dua puluh delapan

8.1K 1.5K 142
                                    

Pada akhirnya, Edward berhenti menggangguku. Berhenti yang benar-benar berhenti. Ia tak lagi mencoba menghubungiku atau muncul di kontrakanku. Ia juga tak lagi datang ke bank, atau ia hanya tak muncul di bagian reguler sampai kontrakku habis.

Terhitung sudah hampir lebih dari satu bulan ia benar-benar tak menghubungiku. Benar, aku menghitungnya. Aku tidak tahu kenapa aku pedulu, tetapi aku menghitung hari sejak aku memintanya pergi. Tanpanya, kehidupanku kembali tenang seperti sebelumnya. Tidak ada yang mengganggu, tidak ada yang mengatur-aturku.

Hanya saja, terjadi masalah tak terduga. Aku hamil. Benar, aku hamil empat minggu setelah aku menyadari jika aku telat menstruasi beberapa minggu. Ini masalah besar.

"Bagaimana?" tanya Mark yang menjadi relawan sukarela ketika kukatakan padanya jika aku belum menstruasi berminggu-minggu. Ia yang pergi membelikan test pack. Lalu, ada Lucas yang langsung datang ke kontrakanku ketika Mark menghubunginya dan aku yakin, si kembar bersama Harley juga akan datang.

"Bagaimana hasilnya?" tanya Jeno, melangkah masuk ke kontrakanku dengan wajah panik bersama Jaemi dan Harley.

Tepat seperti yang kuduga. Aku menghela napas, melemparkan hasil test packku ke pangkuan Mark. Mata Mark langsung membulat. "P-positif?"

Aku mengusap wajahku, mendudukan diri di ranjang dengan perasaan gelisah dan bingung bukan main. "Aku akan dibunuh Ayah," rintihku frustasi.

Jeno melangkah maju, merebut test pack dari tangan Mark untuk memastikan jika Mark tidak salah lihat. Wajahnya langsung berubah seketika. Aku tak bisa mengatakan apapun, kebingungan dan kehilangan arah.

"Aku harusnya minum pil kb," erangku penuh penyesalan.

"Ayah dan Ibumu akan membakarmu hidup-hidup," timpal Jamie sama sekali tak membantu.

"Bagaimana kalau kugugurkan saja?" usulku tak serius membuat kelima pria itu mendelik padaku.

"Mau kubakar kau menggantikan Ayah dan Ibumu?" balas Lucas jengkel.

"Bercanda," ringisku menyeringai.

"Jangan tersenyum! Ini bukan saatnya bagimu untuk tersenyum!" omel Harley berkacak pinggang. "Kau harusnya menangis meraung-raung karena hamil di luar nikah. Selain itu, tidak ada pria yang bisa kau nyatakan sebagai calon ayah dari anakmu!"

"Kita bisa memberitahu Edward!" sambar Jeno cepat.

"Tidak akan!" Aku membalas tak kalah cepat. "Aku putus dengannya dan aku tak mau kembali padanya!"

"Lalu kau mau melahirkan anakmu tanpa ayah?" balas Jeno dengan suara meninggi.

"Aku akan bertanggung jawab sendiri!" kataku bersikeras.

"Selalu ada dua orang berpasangan saat kau menari tango." Harley menatapku. "Dan saat kau hamil, harus ada dua orang yang bertanggung jawab."

"Aku yakin bisa sendiri."

"Tidak. Kau siap dengan konsekuensinya? Ini bukan keputusan asal. Masa depanmu juga jadi taruhannya!" omel Harley lagi. "Edward juga harus tahu soal anaknya!"

Aku menghela napas panjang. "Bagaimana kalau kau saja yang bertanggung jawab?" ketusku kesal.

"Kenapa harus aku? Yang bercinta denganmu kan Edward! Aku jelas masih perjaka!" seru Harley tak terima.

Jeno berdecak kesal, "hentikan!" Ia melirik ke arahku yang duduk di ranjang. "Kita akan bahas ini nanti. Pertama-tama, kau mau makan sesuatu? Kau belum makan kan?"

Benar. Aku belum makan dan aku kelaparan. Selain itu, tubuhku juga terasa lemas. Aku mengangguk. "Belikan aku apa saja."

"Aku akan pergi membeli makanan. Kau harus mulai berpikir bagaimana cara memberitahu orang tuamu dan juga Edward," kata Jeno membuatku mengerang malas. "Aku mau dengar jawabanmu setelah ini."

Jeno berbalik dan keluar dari kontrakanku, menyisakan empat pria tak kompeten yang menatapku penuh penghakiman.

"Apa?" tanyaku setengah kesal.

"Kau sebaiknya tidak berpikir untuk menggugurkan kandunganmu," cetus Lucas.

Mark menatapku. "Dan beritahu Edward Drew soal ini!"

Aku berdecak, memutuskan untuk bungkam sampai Jeno kembali sekitar tiga puluh menit kemudian dengan membawakan sup hangat dan ayam goreng, juga buah-buahan. Mereka menemaniku makan, nampak tak berselera makan entah karena apa. Aku kelaparan jadi aku dengan mudah menghabiskan makanannya.

"Jadi, bagaimana?" Jeno menatapku menunggu jawaban.

Aku bahkan baru selesai mengelap mulutku. Kenapa ia mendesakku?

"Pertama-tama, biarkan aku memeriksa kandunganku lebih dulu," balasku yang diangguki Jeno.

"Lalu?"

"Aku akan pulang ke rumah, memberitahu orang tuaku soal ini dan cuti kuliah sampai aku melahirkan."

"Dan soal Edward?"

"Ia tak perlu tahu," kataku pelan. "Jika ia tahu, ia akan memaksa menikahiku."

"Itulah yang kami inginkan! Seseorang harus bertanggung jawab dan orang itu adalah Edward Drew!" sambar Mark berapi-api.

Aku menggeleng. "Tidak. Kami tak akan bertahan jika harus bersama. Aku yang tidak tahan. Selama ia masih tak bisa mengendalikan sifat posesifnya, aku tak akan bisa kembali. Aku bisa saja berakhir seperti Callia jika memaksa, tidak ada yang tahu."

Mereka semua terdiam mendengar ucapanku, tak berkomentar apapun. Aku yakin mereka mengerti jika akulah yang mengalami ink semua dan aku yang paham bagaimana cara penanggulangannya. Memberitahu Edward kelihatannya bukan sesuatu yang tepat. Ia akan memaksakan caranya dan aku tak akan suka.

"Menurutmu, ini yang terbaik?" tanya Jamie pelan, menatapku lekat.

Aku terdiam, merenung sejenak dengan wajah hampa. Aku tak tahu apakah keputusanku sudah baik atau malah akan membuat hidupku makin berantakan. Sejujurnya, aku pun takut.

Siapa yang tidak takut jika menjadi diriku? Hamil di luar nikah, belum menyelesaikan kuliah dan tidak punya pekerjaan untuk saat ini. Mau makan apa anakku? Tidak usah jauh-jauh, untuk saat melahirkan nanti saja aku harus mengeluarkan biaya yang tentunya tidak sedikit. Belum lagi dengan perlengkapan bayi.

Sial, harusnya aku tidak memberikan uang Edward pada Callia!

"Aku tahu, kau ragu," ujar Jeno lembut. "Pasti kau juga bingung, tapi jangan khawatir. Kuusahakan agar selalu bisa membantumu."

"Aku akan menabung supaya bisa belikan tempat tidur untuk anakmu," sambung Jamie penuh tekad.

"Aku akan kerja sambilan, paling tidak hasilnya nanti bisa untuk membeli perlengkapan bayi," ujar Harley dengan senyum terkembang. "Anakmu pasti bangga punya Paman tampan dan pengertian seperti aku."

"Wah, aku sangat ingin memakimu, tetapi jika kumaki nanti anakku mirip denganmu," gerutuku kesal.

"Abaikan saja si idiot ini. Jangan khawatir, kami semua selalu siap membantumu," kata Lucas.

Mark mengangguk setuju. "Kami akan mendukungmu walau seluruh dunia menjatuhkanmu."

"Terimakasih," kataku pelan sambil tersenyum. "Aku akan memberitahu orang tuaku soal ini. Entah bagaimanapun reaksi mereka nanti. Tolong kunjungi aku sering-sering saat aku pulang ke rumah, sekedar memastikan jika aku masih hidup."

"Kami usahakan sering berkunjung, tetapi jika orang tuamu memutuskan untuk membunuhmu-"

"Hei, tidak mungkin seekstrim itu!" tegur Jeno pada Jaemi. "Paling, ia akan menghadapi kemarahan kedua orang tuanya sampai berbulan-bulan."

Iya. Itu adalah masalahnya. Akan ada badai besar yang menghantam begitu mereka tahu, tapi aku tak puny pilihan. Rumah dan kedua orang tuaku adalah satu-satunya tempat aku bisa berlindung, meski aku tahu ini akan mengecewakan mereka.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang