dua puluh dua

8.8K 1.4K 61
                                    

Hari masih menunjukan pukul setengah lima ketika aku bangun dan membereskan pakaianku untuk pergi berlibur. Edward masih tertidur lelap. Mungkin kelelahan karena ia pulang lumayan larut semalam. Aku bahkan sudah tertidur ketika mendadak terbangun dan melihatnya yang sedang berganti pakaian di tengah kegelapan.

Aku memasukan pakaianku ke dalam tas jinjing, keluar dari kamar dengan hati-hati dan meletakannya di bagasi mobil. Aku kembali lagi ke kamar, melirik Edward yang masih tertidur dan memutuskan untuk mandi dan berganti pakaian. Karena aku akan pergi liburan tanpa izin Edward, maka aku akan membuatkan sarapan untuknya.

Yah, hari ini sudah hari Jumat dan aku memang sudah berencana pergi dengan atau tanpa izin Edward. Ini tubuhku, aku yang mengatur tubuhku. Aku tak terlalu pandai memasak, jadi aku hanya membuatkan toast dengan selai kacang dan kopi susu untuk Edward. Aku tidak suka kopi, jadi kubuatkan saja teh untukku sendiri.

"Sedang belajar jadi istri yang baik?" tanya Edward ketika melihatku yang sedang membereskan peralatan yang kugunakan.

"Tidak. Aku berencana meracunimu dan mengambil alih semua hartamu," celetukku membuat Edward terkekeh.

Ia berjalan mendekatiku, memeluk pinggangku dan merebahkan kepalanya di leherku. "Kau wangi."

"Aku tahu, karenanya mandilah sebelum aku menendang bokongmu."

Edward tertawa, mencium bibirku dan menepuk bokongku. "Aku suka bajumu."

Aku melirik pakaianku. Kemeja berlengan panjang warna merah muda dan rok hitam selutut. Jenis pakaian yang Edward sukai jika aku pergi ke manapun. Sopan dan tertutup. Aku mendengus, mendorongnya menjauh tetapi mengecup bibirnya sekilas sebelum ia benar-benar pergi.

"Mandi."

Edward menyeringai, berbalik untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Sekitar sepuluh menit kemudian, dia kembali ke ruang makan, kelihatan rapi seperti biasanya dengan kacamata bingkai yang ia kenakan. Edward mendudukan diri di sampingku, menikmati sarapan pagi yang kubuat sambil sesekali menggangguku dengan godaannya.

"Ada kuliah hari ini?" tanyanya sambil menyuapkan potongan toast ke mulutnya. Sedikit selai kacang menempel di sudut bibirnya membuatku otomatis membersihkannya tanpa diminta.

"Aku akan pulang terlambat," kataku masih fokus membersihkan bibirnya.

Edward membiarkanku membersihkan sudut bibirnya dan kembali melanjutkan sarapan ketika aku selesai. "Kau pintar membuat toast."

"Aku tak bisa masak," kataku jujur. "Toast adalah satu-satunya yang bisa kubuat karena mudah dan tidak makan banyak waktu."

"Tidak masalah. Kita bisa makan di restoran kalau bosan dengan toast," balas Edward sambil tersenyum.

Aku mengabaikan ucapannya meneguk tehku sambil membersihkan sisa-sisa selai yang mungkin tertinggal di sekitar bibirku. Edward masih menatapku sambil tersenyum, membuatku membalas tatapannya dengan kening berkerut penuh tanya.

"Apa? Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku yang dibalas Edward dengan mengedikan bahu dan menyeruput kopinya. Aku menatapnya penasaran. "Bagaimana kopinya? Terlalu manis?"

"Sesuai dengan seleraku," katanya ringkas.

Aku tersenyum puas. Paling tidak, aku bisa membuatkan kopi yang pas dengan lidahnya walau aku tak pandai memasak. Aku meletakan peralatan makan yang sudah digunakan di bak cuci piring, meraih tasku dan bersiap berangkat ke kantor.

"Aku sudah mengirimkan uang jajan ke rekeningmu," kata Edward ketika aku hendak berjalan menuju garasi.

Aku menatap Edward kebingungan. "Kenapa?"

Edward melangkah ke arahku, menarik pinggangku dan mengecup bibirku. "Siapa yang tahu kau butuh."

"Kenapa aku merasa seperti simpanan?" celetukku membuat Edward mengelus wajahku.

"Kau milikku. Aku akan merawat apapun yang menjadi milikku."

Aku membalas ucapan Edward dengan kecupan singkat di pipi dan melepaskan lengannya yang melingkar di pinggangku. "Aku kerja dulu. Sampai jumpa."

Aku melangkah masuk ke mobil, menatap Edward yang masih berdiri di tempat sambil menatap ke arahku dengan senyum tipis di wajahnya. Aku memundurkan mobil keluar dari garasi, melambaikan tangan ke arahnya dan bergegas pergi ke kantor. Aku bekerja seperti biasanya hingga jam kerja berakhir.

Hari ini, baik aku dan Mark tidak menghadiri kelas. Kami menjemput empat orang yang tersisa dengan mobilku. Mereka semua berkumpul di rumah Jeno dan Jamie. Perjalanan dari Easton ke golden sunset beach tempat kami akan berakhir pekan memerlukan waktu sekitar dua jam. Jamie merengek ingin mengendarai mobilku, jadi kubiarkan saja dia. Lagi pula, aku mau istirahat dan mengabari Edward tentang liburan akhir pekanku yang sudah terencana melalui pesan singkat.

Tentu saja pria itu tidak senang. Terhitung sejak satu jam yang lalu usai aku mengirim pesan kepadanya, ia sudah membalas pesanku lebih dari lima kali. Ia terus mengirim pesan yang memerintahku kembali ke rumah yang tak terlalu kuindahkan sampai ia menelepon.

"Sialan," makiku membuat Jamie melirikku.

"Apa? Kenapa?"

"Edward meneleponku. Kalian lebih baik tenang kalau tak mau kena masalah," kataku memberi peringatan yang langsung membuat mobil menjadi hening. Aku menjawab telepon Edward.

"Ke mana kau?"

"Liburan. Aku tidak akan jauh-jauh."

"Tidak. Pulang sekarang."

"Hanya dua hari. Minggu malam aku akan pulang."

"Pulang sekarang juga."

"Aku akan kembali Minggu sore kalau begitu. Aku akan bersenang-senang, sampai jumpa."

Aku buru-buru memutus sambungan telepon, membuat Mark mendorong kepalaku pelan.

"Jangan bawa kami dalam masalahmu!" rutuk Mark.

Aku mendelik sebal padanya, melirik ponselku yang menerima satu pesan masuk dari Edward.

Kau tahu akibatnya kalau sampai aku yang menyeretmu pulang.

Yah, ia paling hanya akan meniduriku berjam-jam dan aku bisa membuatnya luluh dengan wajah memelas dan memintanya berhenti. Aku adalah kelemahan Edward dan ia tak akan bisa seenaknya padaku. Aku menonaktifkan ponsel supaya bisa menikmati liburanku tanpa gangguan Edward.

"Kau belum memberitahunya?" tanya Lucas.

"Sudah. Sebelum kita pergi, aku sudah memberitahunya," jawabku membuat Lucas berdecak kesal.

"Kau benar-benar pandai membuat orang lain kesal dan frustasi," cetus Lucas. "Semoga Edward tidak muak pada tingkahmu yang menjengkelkan ini."

"Ia tak akan muak. Edward Drew sudah berpikir untuk menikahiku, tidak mungkin ia sampai muak."

"Kau percaya diri sekali," ketus Harley.

"Tentu saja. Mau bagaimanapun, aku tetaplah wanita idealnya Edward," sahutku percaya diri. "Dan kalaupun ia bosan, aku tak masalah. Ia memberiku mobil dan uang, jadi aku tidak akan merasa rugi dan sejenisnya."

"Kau sungguhan menyebalkan," komentar Jeno. "Mendadak saja aku merasa simpati pada Edward Drew."

"Lihat, Jeno saja sampai berkata begitu," sambung Harley cepat. "Kita lihat saja sampai berapa lama pria itu tahan denganmu."

"Yah, lihat saja." Aku menyeringai sambil melipat tanganku di dada.

Walaupun Edward Drew itu sangat tampan dan super seksi, aku tahu hanya aku satu-satunya yang bisa melihat seperti apa rupanya saat ia berantakan dan telanjang. Mungkin si jalang Callia juga menyadari potensi Edward yang satu itu, makanya ia tergila-gila. Aku agak tenang bersama dengan Edward karena aku yakin kebanyakan wanita tak akan tertarik padanya dengan penampilan rapi dan hampir mengelimisnya. Dan kalau ia meninggalkanku, ia tak akan secepat itu menemukan wanita yang sepertiku. Pokoknya, apapun yang terjadi, jelas aku tidak akan melepaskan Edward Drew begitu saja. Pria itu akan terus menempel padaku sekali ia mencoba mengejarku. Akan kubuat ia tak bisa pergi jauh-jauh dariku dengan caraku sendiri.

Twenty OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang