29. Answer

10.1K 1.2K 26
                                    

Sejak hari di mana Andi dengan panik membawaku lari dalam gendongannya aku tahu mata setiap orang-orang yang melihat, di dalam benaknya ada satu atau dua pertanyaan. Tidak perlu banyak. Tapi berbeda dengan Alana. Meskipun pertanyaan itu tidak pernah diucapkan, tapi aku juga tahu dia ingin mendengar, apapun penjelasannya dariku lewat matanya yang khawatir. Nathasya kenapa? Apa dia sakit? Apanya yang sakit?
Tapi aku hanya melempar senyum. Tidak ingin menjawab itu.

"Gue gak apa-apa, cuma kecapekan."

"Lo pikir gue percaya?"

Tidak. Tanganku jelas gemetar di depannya, sisa kepanikan, dan dia melihat itu.

"Gue belum makan dari pagi. Lemes gini," kataku sambil memakan roti coklat yang baru saja dibeli Andi. Kita bertiga masih di dalam mobil.

Cukup Andi saja yang tahu aku kenapa. Lagipula meskipun apa bedanya dengan tahu atau tidak tahu? Pada akhirnya mereka akan tetap meninggalkanku.

Mama, Ayah, Andi... mereka yang kusayangi pergi. Aku tidak mau menambah satu lagi. Sudah cukup.

Sejak kecil aku terbiasa sendiri. Karena pernikahannya dengan Ayah, Kaki menghukum Mama dan membiarkannya hidup tanpa berhubungan dengannya lagi. Sedangkan ayah, dulu dia hanya seorang guru kontrak. Berkerja seharian dari sekolah satu ke sekolah yang lain demi mencari tambahan itu cukup sulit. Gaji guru kontrak itu tidak seberapa, mana menguras tenaga. Sementara Mama berkerja di perkantoran dengan gaji yang juga tidak seberapa. Setiap hari rumah sepi. Aku hanya sering melihat Ayah karena Ayah pasti sudah pulang saat sore hari. Sementara Mama pulang ketika aku sudah tidur. Hidupku tidak sesulit itu sebenarnya dalam hal ekonomi. Hanya saja tidak ada seorangpun yang ingin bersamaku. Tidak ada yang mau mendengarkanku. Tidak ada yang mau melihatku. Entah itu berprestasi di sekolah atau memenangkan olimpiade, mata mereka tak acuh. Entah itu hal besar atau kecil, telinga mereka tak mendengar, mulut mereka diam. Bakti seorang anak yang ingin membuat orang tua bangga? Lupakan! Mereka tidak akan melihat. Kesepian? Siapa yang peduli. Mereka sibuk. Sehingga semua kutekan sendirian.

Aku ingat ketika SD, semua teman-temanku membawa orang tua mereka untuk mengambil raport. Hanya aku yang tidak. Hanya aku yang duduk sendirian tanpa didampingi Ayah atau Mama. Maju sendirian untuk mengambil hasil ketika kenaikkan kelas.

"Ibu sudah lampirkan catatan di raport kamu, ya, Nath? Jangan lupa dikasih tau sama orang tua kamu."

Seolah paham keadaanku, ibu guru selalu mengatakan itu setiap tahun. Aku hanya bisa mengangguk dan berkata "iya, bu" dan pergi.

Mama tidak pernah bertanya apa aku sudah makan atau belum. Ayah tidak pernah bertanya apakah aku sakit atau tidak.

Perasaanku dulu seperti itu. Belum lagi teriakan pertengkaran hampir setiap hari terdengar, membuatku ingin tuli saat itu juga. Tidak peduli sekecil apapun masalahnya, api panas selalu tersulut di rumah ini. Bertahun-tahun membuatku terbiasa dan akhirnya beku.

Aku hanya punya Andi sebagai teman dan tetangga.

Lalu sampai hari Mama dan Ayah bertengkar hebat. Awalnya kupikir karena masalah kecil. Tapi tidak. Itu bukan masalah kecil yang biasa terjadi. Pada akhirnya Mama pergi dari rumah. Kembali ke sisi Kakiㅡorang tuanya, bercerai dengan Ayah dan menikah lagi dengan pria itu.

Tidak ada yang memikirkanku. Aku tetap tidak terlihat.

Di waktu yang nyaris bersamaan, Andi juga pergi. Dia harus ikut orang tuanya dinas ke Kalimantan. Ketika Ayah ke sekolah untuk piket, aku sendirian di rumah karena hari libur. Diam di dalam kamar. Tidak bergerak. Rasanya menyiksa. Aku ingin berteriak tapi tidak kulakukan. Aku ingin menangis tapi air mata itu tidak pernah keluar. Sebagai gantinya dadaku sakit, seolah-olah ada sesuatu yang mencubitnya dengan kuat di sana. Napas naik turun tak teratur dan badanku gemetar hebat seperti ketakutan.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang