12. Client

27.7K 2.6K 41
                                    

Hope you like this and enjoy
Sorry for typo

Happy reading~~

.
.

Kalau bahas insentif, radar pasti sensitif. Bukannya matre, tapi hanya mencoba realistis
-Nathasya

Aku gak tahu kalau technical meeting akan bisa selama ini. Hampir memakan waktu 2 jam. Untung saja aku tidak ada jadwal kuliah. Bisa-bisa ternodai absensiku. Tadi juga terlalu banyak pro- kontra. Terutama dari Elgar yang banyak maunya. Aku tahu dia lulusan Luar Negeri. Penginnya sistem debatpun disamakan dengan yang ada di luar. Standar penilaiannya pasti juga akan berbeda. Ya, barang tentu ada yang tidak setuju, tapi juga ada yang setuju.

Aku berpamitan pada beberapa dosen yang masih stay di dalam lalu bergegas keluar karena meeting sudah selesai. Di depan pintu aku langsung merogoh ponsel dari dalam saku yang sejak 7 menit lalu terus saja bergetar.

"Assalamualaikum, Ayah?" sapaku setelah menggeser tombol hijau di layar dan menempelkannya ke telinga.

"Waalaikumsalam. Kok lama neng ngangkatnya?"

"Tadi lagi rapat sama dosen, Yah."

"Ohh... ayah kira kamu kenapa. Neng, kamu baik-baik aja kan? Kok gak pulang? Gak ada ngehubungin ayah lagi."

Ayah memang cukup cerewet kalau sudah khawatir begini. Padahal biasanya beliau itu ayah yang tenang sekali.

Aku berbelok di ujung lorong menuju pelataran belakang di lantai 3 yang biasanya sepi.

"Aca baik Ayah. Maaf, Aca lupa ngasih tau ayah, tugas Aca banyak banget. Minggu ini sampai bulan depan Aca izin ya Yah gak pulang ke Bandung. Lagi ada acara, terus sebulan lagi udah mau ujian semester. Jadi nanggung."

"Tapi tadi Liana bilang kamu sakit."

Aku menghela napas. Bi Lia kenapa harus bilang ke ayah sih?

"Aca cuma kena flu, Yah. Sekarang udah sembuh."

"Bener?"

"Gak percaya nih sama Aca?" Aku terkekeh geli.

"Alhamdulillah atuh kalau gitu. Ayah khawatir kalau kamu kambuh."

"Aca udah gak pa-pa, Yah."

"Obatnya masih rutin kamu minum, kan neng?"

Enggak. Udah dibuang. Pengin banget jawab gitu.

"Masih atuh, Yah."
Aku menipiskan bibir. Bohong sedikit gak apa-apa, kan? Daripada Ayah khawatir.

"Yaudah, nanti kalau Ayah sempet ke Bogor, Ayah pergi."

Aku mengangguk. "Iya."

"Jaga diri kamu ya, neng. Selalu kabarin Ayah. Ayah tutup dulu ya, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku setelah panggilan terputus.

Jadi kangen Ayah, kangen ngusel-ngusel beliau kalau lagi nonton tv di ruang tengah. Kangen Bandung. Kangen batagornya Mang Cecep juga. Bandung memang selalu menjadi kota kerinduanku. Ternyata benar kata Dilan, rindu itu berat.
Aku menghela napas lagi.

"Kamu ngapain masih di sini?"

Aku terlonjak kaget, nyaris saja membanting ponsel ke sang empunya suara. Elgar tiba-tiba saja sudah ada di sampingku. Kayak setan aja sih tiba-tiba muncul. Aku mengelus dada sekali, untung gak jantungan.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang