7. Kamu Mau Main-Main Sama Saya?

31.6K 2.7K 52
                                    

Dua hari ini gak bisa update.  Maapin yang nunggu ya. Sibuk bobo  si aku :D. terus ini part terakhir yang ada di draft. Jadi kemungkinan besok-besok updatenya bisa lebih lambat dari ini. 

Hope you like this ya, sorry for typo.

Happy Reading~~ 

..

..


Kalau ada Dosen izin tidak masuk, jangan senang dulu. Bisa jadi itu gerbang pembuka buat segala jenis api neraka yang siap membakar kita 

- Nathasya

Dua minggu ini Elgar izin untuk dua matakuliah berturut-turut. Ibaratnya langit yang sedang hujan lebat disertai badai tiba-tiba langsung terang benderang karena sinar mentari. Rasanya juga sangat tentram dan damai.

Tapi jangan pernah berharap banyak kalau sudah berhubungan dengan seorang Apta Elgar Pramudya. Justru Ketidakhadirannya merupakan alarm akan tugas-tugas yang siap berperang sengit dengan para mahasiswanya. Laporan, persentase, resume, semuanya lah, diborong oleh Elgar untuk dijadikan bundelan tugas. Lelah dedek lelah!

"Nath, di panggil Pak Elgar. Suruh keruangannya," berita Haris setelah duduk di kursi sebelah sambil mengeluarkan laptop lalu telunjuknya menekan tombol turn on. Sesekali dia membenahi letak kaca mata yang melorot di atas hidungnya. Siap-siap on the way to go to hell.

"Misi Pak. Bapak manggil saya?" tanyaku hati-hati setelah sampai di ruangan Elgar. Aku langsung mengambil posisi berdiri di depan mejanya.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, Elgar pasti selalu dan sedang menandai sebuah kertas dengan mahakarya coretan berwarna merah. Jika biasanya adalah draft skripsi kakak tingkat, maka kali ini berbeda. Sangat tipis dengan tampilan dijilid seperti tugas biasa lalu aku merasa mengenalinya.

Welah! Itu hasil laporan punyaku, Kevin dan Aditiya. Kok dicoret-coret begitu? Bencana!

Tiga detik setelahnya, Elgar menatapku dengan malas. Tapi, cenderung datar. Apalagi tangannya mulai mengetuk-ngetuk permukaan meja. Perasaanku mendadak tidak enak dan aku tahu jika kehadiranku kali ini akan berakhir dengan bencana. Lalu Elgar menggelengkan kepalanya sekali sebelum berkata, "Kamu gak dengar tugas yang saya kasih minggu kemarin? Mau main-main sama saya?"

Aku berusaha menelan ludah dengan susah payah. Kalau Elgar sudah berkata mau main-main sama saya, itu artinya masalah yang terjadi cukup, bahkan sangat serius. Yang berari juga, vonis mati!

Minggu lalu, saat mendengar Elgar izin rasa sukurku melimpah ruah sampai ingin kusedekahkan. Hari itu sebenarnya aku juga tidak masuk karena mendadak diare. Entah apa yang aku makan. Pokoknya senanglah Elgar tidak masuk. Kan tidak enak dilihat presensiku dinodai kata izin gara-gara diare.

Kemudian sorenya, yang kurasa seperti kilat dan petir yang berashut-sahutan, Haris menginfokan kalau Elgar memberi tugas. Jadi, mana bisa aku lupa atau pura-pura tidak tahu.

"Maksud Bapak?" Bodoh. Harusnya aku iyakan saja!

"Ck, kamu masih tanya?!" Elgar melempar hasil laporanku dengan suara meningkat 2 oktaf.

Untuk kedua kalinya juga, aku ingin menghilang saja dari bumi. Terserah mau dibawa kemana. Asal tidak berhadapan sama Elgar yang sedang kalap ini. Ngeri! Siapapun di luar sana, kalau aku ada salah, ada khilaf, atau ada hutang, tolong dimaafkan, diikhlaskan dan bayarin hutangnya.

"Maaf Pak, saya gak ngerti." Bodoh! Sekarang diam itu adalah emas. Kenapa malah jawab Elgar?

"Kepala kamu isinya apa? Saya tanya, Otak kamu ditinggal di mana?" Suara Elgar meninggi setengah oktaf lagi. Pedes. Fix, bakal kusobek itu mulut.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang