Bagi saya, yang namanya mahasiswa itu wajar kalau harus berdarah-darah
-Elgar
Tiga hari damaiku mendadak seperti tidak pernah terjadi setelah aku duduk di kelas Elgar untuk matakuliah Komunikasi dan Penyuluhan (KP). Kali ini tidak pakai terlambat.
"Materi kali ini cukup. Silakan kalau ada yang ingin ditanyakan."
Elgar mencopot kabel proyektor pada laptopnya. Semabari menunggu pertanyaan, dia bergegas membereskan barang-barangnya di atas meja.
"Saya pak."
Aku langsung menoleh mengikuti asal suara.
Elgar mengangkat kepala. Lalu berdiri tegap dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Siap mendengarkan.
"Ini tentang petani dan tengkulak, Pak. Saya kemarin beli cabai di pasar, harganya lebih dari Rp. 40.000/kg. Lalu saya pernah iseng main-main ke kebun cabai di daerah Cibinong, kata petani yang ada di sana, 1 kg cabai hanya dihargai sebesar Rp. 20.000 saja Pak. Saya tanya dijual kemana cabai-cabai itu, para petani yang ada di sana mengaku menjual cabai ke tengkulak. Alasannya, kalau produksi pertanian di jual langsung ke pasar, mereka harus menambah biaya transportasi yang tidak sedikit. Selain itu, menjual kepada tengkulak, membuat petani langsung menerima uang tunai tanpa repot-repot memikirkan hal lain. Terkadang, tengkulak ini menjadi sumber pinjaman modal bagi para petani. Tapi tengkulak selalu semena-mena mengambil harga. Dan menjualnya dengan keuntungan berlipat-lipat. Selain mencekik petani, harga yang ditawarkan tengkulak pada pasar juga sering kali memberatkan konsumen. Jadi hal apa yang harus kita lakukan Pak supaya bisa menghindari siklus seperti itu?"
Elgar menimbang pertanyaan Kevin yang aku sendiri tidak tahu nyambung atau tidak dengan matakuliahnya hari ini. Mungkin, nyambung kalau di sana ada peran penyuluh—
"Nath, bisa bantu jawab?"
"Heh?"
Elgar menunjukku dengan dagunya. "Iya, kamu."
Aku memposisikan tubuh lalu berdehem sebelum menjawab. "Kalau menurut saya, itu sih kebiasaan saja. Mereka ketergantungan. Seharusnya petani bisa lebih berani dan tegas dalam mengambil keputusan. Petani punya banyak pilihan untuk tidak menjual produknya pada tengkulak yang sudah menjadi kebiasaan itu. Bukankah kebiasaan dapat diubah? Sekarang itu disetiap desa pasti memiliki minimal satu penyuluh untuk mendampingi desa binaan. Penyuluh bisa membina para petani untuk membuat sebuah unit kelompok tani dan mengarahkannya. Kalau itu sudah terbentuk, petani tidak perlu lagi menjual produknya pada tengkulak. Mereka bisa langsung menjual produknya pada kelompok dengan harga yang menguntungkan dan bisa langsung tersampaikan pada konsumen. Apalagi kalau koperasi dibentuk dan bisa dijalankan dengan baik oleh warga, tentu dengan bimbingan penyuluh yang baik pula. Petani tidak perlu pusing-pusing mencari pinjaman modal pada tengkulak jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan karena koperasi kelompok tani pasti akan sangat membantu mereka."
Elgar mengangguk kecil setelah jawabanku berakhir. Dia selalu tidak bereaksi. Aku jadi tidak yakin apa yang telah kusampaikan ini benar atau justru salah.
"Bagaimana Vin? Kamu setuju?"
Tanggapan macam apa itu?
Aku melihat Kevin menggeleng. "Tidak yakin Pak. Jawaban Nathasya memang masuk akal. Tapi pelaksanaannya pasti tidak semudah membalikkan telapak tangan."
Gantian, aku melihat Elgar lari. Dosen itu benar-benar diam tanpa member kejelasan. Tangannya yang ada di dalam saku keluar lalu merapikan barang-barangnya yang belum terkemas. Kemudian benar-benar mengakhiri kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dozent
ChickLitSudah mewanti-wanti supaya tidak bertemu dosen menyebalkan yang kalau sudah beraksi minta dijambak dan dicakar-cakar, nyatanya takdir tidak begitu baik. Kalau sudah begitu, mau tidak mau aku harus berhadapan dengan yang kuhindari.