21. Quality Time

23.9K 2.3K 147
                                    

Orang paling ganteng di dunia ini, itu ya Ayah
- Ayah
.
.
.

Stasiun Bandung, Bandung, Jawa Barat.
1

6.15 WIB

"Teh, hayu?" ajak Rama menunjuk pintu keluar stasiun dengan dagunya. Aku mengangguk sebelum berjalan bersisian dengan Rama yang terlihat biasa saja padahal ada tas besar digendongannya.

"Ma, gak berat?" tanyaku.

Aku melirik tas di jinjingan Rama. Iya, itu tas milikku. Rama menyadari ke mana arah tatapan ini lantas menggeleng. "Engga atuh teh, masa segini doang berat," pungkasnya bersambung tawa.

Aku mengangguk saja tanpa suara. Ada bagusnya juga sebenarnya pulang ke Bandung dengan Rama. Dia banyak membantuku membawa barang-barang. Aku tidak ingin merepotkan, sih. Tapi apa boleh buat kalau juniorku yang manis ini memaksa?

Aku celingukan setelah melewati pintu exit.

"Neng!"

Kepala kami serentak menoleh ke asal suara. Arah pukul sepuluh, aku melihat seseorang yang sangat aku rindukan di sana.

"Ayah..."

Aku langsung berlari menghampiri Ayah dan memeluknya erat-erat. "Aku kangen sama ayah," suaraku hampir menangis.

Ayah mengangguk, menepuk-nepuk bahuku dengan sayang dan tenang. Ya Tuhan... benar-benar sentuhan yang sudah lama tidak kurasakan.

"Iya, iya. Ayah oge kangen," ungkap Ayah dengan suara kebapakkannya. "Tapi mau pelukan terus ini teh? Aca gak mau pulang?"

Sontak pertanyaan ayah membuatku malu. Aku nyengir saat melepaskan pelukan kami.

"Eh, sama Rama?"

Kepalaku berputar otomatis ke belakang. Rama berdiri tidak jauh, mengawasi interaksi kami tadi. Sial, ketahuan jadinya bagaimana manjanya aku kalau ada Ayah. Dia tersenyum lalu menyapa Ayah dengan sopan. Ya ampun, menantu idaman. Aku memerhatikan tatapan ayah padanya. Hm... jangan-jangan sudah klik, nih?

"Iya Wa, gak sengaja ketemu di stasiun Bogor. Jadi sekalian aja barengan sama Teteh."

Benar sekali. Kami memang tidak punya rencana untuk pulang bersama ke Bandung. Hanya sebuah kebetulan mempertemukan kami.

"Oh, gitu. Padahal mah kalau kamu bilang, Uwa jadi bisa legaan Nathasya ada yang jagain," ujar Ayah.

Apaan sih, Ayah. Perasaan aku sudah biasa pulang pergi Bogor-Bandung sendirian. Toh, aku baik-baik saja selama ini.

"Aku teh udah besar ih, ngapain dijagain. Kos orok wae (Seperti bayi saja)."

"Yey, kamu mah memang orok bagi Ayah."

"Ayah!" protesku mengudara. Tapi jatuhnya malah seperti merengek. Mana dilihat Rama. Kan, aku semakin malu.

"Iya Teh bener kata Uwa. Lagian yang namanya perempuan mah memang sudah seharusnya dijagain."

Uwu so sweeeeeet...! Berharap aku mengatakan itu? No! Perempuan atau bukan,  Aku bisa menjaga diri dengan baik, tidak perlu jasa orang lain.

Mengatasi marabahaya terbesar berwujud Elgar Pramudya saja aku bisa, masa yang lain tidak? Non-sense!

Eh kenapa aku sewot, ya?

Aku membasahi bibir. "Ayah pake apa ke sini?"

"Mobil," kata Ayah mengalihkan pandangannya pada mobil yang terparkir di ujung sana. Aku mengangguk. "Ma, ikut kita aja pulangnya. Sekalian."

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang