22. Nonton (2)

21.8K 2.1K 55
                                    

Dunia, tempat luas yang terlalu sempit.
- Nath
.


.
.

Aku masih betul-betul dongkol karena pertemuan tak terdugaku dengan Elgar di Wonjo kemarin. Ya, memang, maksudnya dia ingin bertemu dengan ayah.  Tapi kenapa harus pada saat aku bersama Ayah? Ini sudah di Bandung, bukan lagi di Bogor. Kenapa  lag-lagi bertemu dengan Elgar dan Elgar? Akibatnya, tadi pagi saat ayah mau pergi ke bekerja, aku malah diam saja.

"Neng, ayah pergi dulu, ya?"

Aku tak bersuara. Langsung saja menjabat  ayah dan mencium tangannya. Kemudian aku melengos ke dapur untuk cuci piring bekas sarapan.

Mungkin ayah merasa aneh dengan sikapku. Sebelum mengambil kunci motornya di atas lemari pendingin, beliau sempat bertanya ada apa denganku.

"Ga tau," jawabku singkat.

Ayah tak melanjutkan pertanyaanya lagi. Beliau langsung mengambil tas kerja, lalu pergi.

Setelah suara motor ayah tidak terdengar, tanganku yang sedang menggosok pantat piring dengan spons berhenti. Lalu menoleh, menatap ke luar jendela. Ada rasa tidak enak dalam dadaku.

Ya Tuhan... tidak seharusnya aku bersikap seperti itu pada Ayah.

Meskipun kehadiran Elgar kemarin membuat quality time-ku dengan Ayah terganggu, tapi bukankah seharusnya aku tidak perlu marah? Wajah Ayah kemarin kentara memancarkan aura senang karena akhirnya bertemu dengan murid kesayangannya. Seharusnya aku juga ikut senang.

Tapi... ah, entah lahㅡ

Aku menghabiskan waktu dengan bersih-bersih rumah sambil memikirkan hal itu.

Hari sudah sore ketika suara motor ayah  di teras rumah terdengar dari dalam.

"Assalamualaikum?" Ayah meletakkan sepatunya di rak dekat pintu masuk. "Neng, Ayah pulang," kata beliau.

Aku yang sedang duduk bersantai di atas sofa langsung bangkit dan menghampiri Ayah.

"Wa'alaikumussalam." Aku meraih tangan ayah. "Yah..." kataku menyambutnya dengan lirih.

Ayah tersenyum dengan wajah kebapakkannya. Dia mengusap kepalaku tanpa kata-kata kemudian melangkah ke dalam kamar dan berganti baju, mandi, serta melaksanakan  solat ashar.

"Kamu masak apa, neng?" tanya  Ayah sambil menggeser kursi untuk duduk. Kami mau makan. Sepertinya Ayah juga sudah selesai dengan semua rutinitas sorenya.

Aku mengambil piring dan nasi lalu meletakannya di depan Ayah. "Sayur bayem sama ikan nila goreng, Yah. Ga lupa tempe tahu juga dong," ujarku sambil menyengir.

Aku mengambil tempat dudukku sendiri di sisi samping. Sambil memandangi ayah yang sedang mengambil lauk pauk, aku memutuskan untuk bicara.

"Maaf ya, Ayah. Tadi pagi Aca udah bersikap ga enak ke Ayah."

Suaraku benar-benar lirih.  Aku menunduk, tapi mencoba melirik reaksi Ayah. Beliau hanya tersenyum tanpa melihatku.

"Kamu tuh," kata ayah memulai. "Tanpa kamu minta maaf juga ayah mah sudah maafin kamu, Neng." Ayah menyambung dengan suaranya yang menenangkan.

Ingin menangis  saja rasanya. Tapi aku mencoba tersenyum pada Ayah. Kalau bukan karena Ayah juga, mungkin sekarang aku sudah mati.

Beliau lah yang selalu ada di sampingku. Aku meringis dalam hati sambil menyesali perbuatanku tadi pagi.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang