13. Client (b)

27.4K 2.6K 48
                                    

Aku gak akan munafik. Elgar dengan setelan formal nan kaku saja gantengnya sudah kurang ajar. Apalagi ini yang tiba-tiba ada di depan mata dengan setelan casual menggoda iman. Gantengnya pakai banget. Astaga... mikir apa gue?

Nathasya Anuradha sadar!

Aku kembali ke depan setelah menenangkan diri di dalam toilet dirasa cukup.

Alasan ke toilet itu bukan karena lututku lemas, perut pusing, silau terpapar pesona Elgar atau apapun itu. Masalahnya dari sekian banyak klien, kenapa harus dia banget? Kenapa manusia bernama Elgar yang harus kuhadapi sekarang? Pakai panggil Bi Lia 'Teh' segala. Seperti mereka sudah dekat saja.

Aku merengut mengingat nada sesalnya tadi. Elgar bisa menyesal? God! Tapi kalau denganku, boro-boro menyesal, biarpun tahu kalau dia salah, tetap saja ingin jadi yang paling benar. Keinginanku untuk menenggelamkan dia di Segitiga Bermuda jadi semakin besar.

"Lama banget sih kamu, Nath. Elgar udah nungguin tuh."

Bi Lia langsung bangkit dari duduknya setelah dia menangkap kehadiranku yang tiba-tiba kabur meninggalkannya. Sementara kulirik Elgar yang anteng-anteng saja. Lalu menikmati teh yang mungkin dihidangkan oleh pemilik butik ini.

"Panggilan alam. Ga bisa toleransi apalagi cepet-cepetin," bisikku di telinga Bi Lia, garing.

"Yaudah, sekarang kamu urus Elgar. Bibi masih ada kerjaan di belakang."

Aku menyorot protes. Tapi Bi Lia seolah sengaja tak acuh dan langsung melenggang pergi. Membiarkan mulutku yang terbuka langsung terkatup kembali tanpa suara. Kuingin marah, melampiaskan, tapi ku tak bisa—

"Ca?"

"Eh?" Aku mengerjab. "Maaf pak, lama ya?" Buru-buru aku mengambil tab di atas meja lalu duduk di samping Elgar. Tentu dengan jarak. Jangan lupa!

Elgar meletakkan dulu mug teh yang ada di tangannya pada tatakan kecil di atas meja sebelum menjawab, "kapan kamu gak lama? Tugas sama saya saja sering lama. Makanya telat, kan?"

"Huh?"

KAPAN TELAT? KAPAN?! Ngajak ribut ni orang? Hayu lah, sini!

"Kamu gak inget?" Elgar mengangkat dagunya lebih tinggi. "Yang saya suruh hari sabtu anter ke ruangan saya. Kamu 'kan telat 10 menit."

Kampret pangkat tak terhingga!

Sakit! Elgar Pramudya betul-betul sakit stadium akut.

Bagaimana bisa dia tahu dan bagaimana juga dia justru menyinggung soal keterlambatanku bahkan ketika dirinya saja terlambat waktu itu. Belum tahu saja dia karena tugasnya yang kelewat sialan itu, aku sampai sakit dan seharian harus disiksa dengan bersin-bersin tak bekesudahan.

Well, seharusnya aku juga berterimakasih. Ya, selain membawa racun, dia juga yang mengantarku pada orang yang punya penawarnya. Tapi tetap saja, wajah boleh pandang-able, kalau kelakuan masih minus juga percuma saja, kan?

"Gak inget--?" gumam Elgar.

Aku nyengir. Sok bodoh alias pura-pura lupa. Daripada urusan berbuntut panjang. I have no time for him at all! Except now, for my job. Just it!

Aku menunduk dan fokus pada tab. Memilih beberapa design black suit untuk kusodorkan sebagai pilihan pada Elgar. Rancangan ini belum pernah aku publish pada siapapun. Bahkan untuk lounching bulan depan, rancangan-rancangan yang ada di folder yang sedang aku acak-acak sekarang ini tidak aku ikutsertakan.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang