Permintaan dan harga itu saling berkaitan.
-ElgarAku mengatakan pada Elgar untuk memilih tempat makan yang agak jauh dari kampus. Aku tidak ingin orang lain salah paham karena kami pergi berdua apalagi sampai menjadi gosip satu kampus. Terlebih Andi yang bisa muncul kapan saja padahal dia tidak sedang diharapkan. Aku tidak ingin hariku yang sudah mumet akhir-akhir ini ditambah dengan ketidaknyamanan yang lain. Untungnya Elgar juga tidak menolak. Mungkin dia mengerti maksudku.
Mobilnya melaju dengan kecepatan sedang. Empat puluh menit sudah berlalu yang berarti tempat yang Elgar pilih bukan lagi agak jauh tapi sangat jauh dari kampus.
"Ini mau makan di mana ya, Mas?"
Aku melihat keluar, merasa tidak terlalu akrab dengan tempat ini. Bukan bermaksud berprasangka buruk pada Elgar, hanya saja bertanya tempat apa yang kami datangi tidak salah, bukan?
Aku melihat bangunan elit beberapa puluh meter di depan. Sepertinya ini perumahan.
"Kita makan di rumah saya."
Yang bener aja lo?!
"Hah?"
Aneh kalau aku tidak terkejut. Hubunganku dengannya belum sampai pada tahap yang bisa seperti itu. Ini, tapi ini...?
"Saya mengerti maksud kamu. Jadi saya pikir makan di rumah sendiri jauh lebih aman."
"...."
"Tenang aja, Ca. Saya bisa masak kok. Setidaknya makanan yang saya buat masih layak dimakan."
Bukan itu masalahnya ya tuan muda.
Masalahnya, ngapain bawa gue ke rumah?!
Aku tahu Elgar tidak punya niat lain. Dia hanya secara alami mengurusku yang kelaparan dan ingin membuatku tetap merasa aman. Aku mengerti makan di rumahnya tidak akan membuat siapapun melihat atau memergoki kami sedang berdua. Itu sama sekali tidak membuatku rugi. Tapi ini, tapi... aku benar-benar kesulitan menjelaskan situasi ini.
Elgar menurunkan kaca mobil melewati pos jaga dan aku membuang muka, tidak ingin dilihat orang lain. Setelah belokan ke kanan sekitar 20 meter, mobil Elgar perlahan berbelok lagi memasuki pekarangan rumah.
Ini pasti rumah Elgar.Aku menatap rumahnya dari dalam, sesaat terpana. Gila, elit banget ini rumah.
Bahkan rumah Kaki aja tidak akan terlihat seperti ini. Rumah Kaki lebih mirip candi jaman dulu. Beliau memang punya selera yang kolot. Tapi itu bukan masalah. Lagipula aku tidak tinggal di sana juga.
Rumah Elgar tidak begitu besar. Ukurannya mungkin tidak jauh lebih besar dari rumah Bi Lia yang kutinggali. Tetapi designnya terlihat elegan dan modern dari luar.
Aku turun dari mobil dan Elgar mempersilahkan untuk masuk. Di dalam jauh lebih hangat dengan paduan kesan furniture yang kalem dan cat dinding yang sangat maskulin. Semakin masuk ke dalam aroma candle light menyapa penciumanku. Ini bau mint yang segar dan menyenangkan.
Langkah kami sampai di dapur. Kemudian, Elgar membuka blazer abu-abunya, menyampirkannya di punggung kursi. Salah satu tangannya bergerak menggulung lengan baju hingga ke atas siku bergantian.
"Kamu istirahat aja dulu, Ca." Elgar berkata sambil mengikat tali apron di belakang pinggangnya.
Ada meja bar di sisi lain meja makan dengan bilik setinggi dada orang dewasa, memisahkan dapur dan ruangan tengah. Aku baru saja duduk di kursi tinggi sambil melihat-lihat, mendengar Elgar bicara seperti ini aku menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dozent
ChickLitSudah mewanti-wanti supaya tidak bertemu dosen menyebalkan yang kalau sudah beraksi minta dijambak dan dicakar-cakar, nyatanya takdir tidak begitu baik. Kalau sudah begitu, mau tidak mau aku harus berhadapan dengan yang kuhindari.