30. Diantara Jakarta dan Bogor

11.3K 1.1K 32
                                    

Kalau dia jodoh saya, nanti juga dapat -Elgar
.
.

Elgar

Hari itu saya membiarkan Nathasya pergi sesuai keinginannya tanpa bertanya apa-apa. Menurut saya tidak perlu mengulang jawaban yang sudah saya ketahui. Meskipun, ya, agak mengecewakan mendengar penolakan. Tapi memperhatikan wataknya yang cukup keras saya bisa mengerti. Tidak apa-apa, waktu masih ada. Saya masih bisa mencoba lagi nanti.

Jangan bodoh, saya belum mau menyerah.

Kalau mengetahui ini, Fara akan menertawakan saya sekali lagi. Itu pasti.

Sedetik kemudian akhirnya tersadar dari lamunan ketika lampu jalan berubah hijau. Saya mengingat pesan masuk saat terakhir kali berhadapan dengan Nathasya.  Sangat jarang tiga bersaudara Antara berkumpul di satu kota dalan satu waktu. Sehingga ketika itu terjadi, akhir pekan akan dihabiskan  di kediaman Papa, di Kemang.

Mbak Mun yang mengurus rumah akan selalu sama sejak saya masih kecil. Dia bekerja dari remaja sampai sekarang di rumah ini. Usianya hanya berbeda 10 tahun dari saya. Meskipun sudah terlihat beberapa kerutan alami di wajah, senyumannya akan selalu cerah saat menyambut saya di gerbang depan.

"Bapak, Mas Elgar pulang." Suara yang semangat  itu menjauh, dibawa lari ke dalam untuk memberi tahu pemilik rumah. Tidak lama kemudian, saya melihat Papa berjalan mendekat di ambang pintu. Tambahan ketika saya turun dari mobil lalu pergi memeluk Papa dengan ringan, Andra menyusul di belakang punggungnya.

"Saudaraku akhir anda datang juga." Andra berapi-api dengan tangan merentang di depan pintu. Saya menepisnya sambil mencibir, lalu ngeluyur masuk tanpa peduli.

"Alay!"

Muka Andra langsung masam.

"Dih, disambut malah ngatain."

Saya memutar mata dengan malas. Sementara Papa merespon dengan tawa. Papa terbiasa dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang kami buat. Tampaknya itu wajar? Tapi kami bahkan tidak pernah mendebat Mas Adnan, tidak pernah memprovokasinya, saya juga tidak pernah sengaja mengganggunya. Berbeda dengan si bungsu Andra. Meskipun saya diam, dia akan tetap mengganggu, berisik, provokator, dan menyebalkan. Kadang-kadang jadi anak baik dan patuh kalau ada maunya.

"Jauh-jauh sana!"

"Mas Adnan!"

Perengek. Pengadu. Dia melupakan usianya kalau sudah di rumah.

"Apa dek?" Suara Adnan menggema dari ruang keluarga.

"Egar ngusir gue."

Itu sebutan ketika Andra pertama kali bisa memanggil saya. Tapi sampai kapan dia akan terus melupakan huruf L di panggilan itu?

Ini manusiaㅡ ugh!

"Bohong Mas!"

"Enak aja. Diaㅡ"

"Sudah-sudah, kalian ini. Kalau lagi jauh aja hobi nanyain kemana ini apa kabar itu. Udah deket begini ribut terus."

Mama datang dari arah dapur sambil membawa setoples besar kripik sambal yang telah dibuat sendiri. Mama tersenyum. Saya langsung memeluknya ketika dia meletakan toples di tangannya ke samping  Mas Adnan yang sedang sibuk lesehan di atas karpet mengatur playstation.

"PS5 nih? Baru?" Aku duduk di sampingnya ambil meraba tutup toples keripik pedas lalu menyemil isinya.

"Yoi."

"Good."

"Gue duluan main ya?" Andra menyusul duduk bersila di antara kami saat mengatakannya.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang