1. Too Late

69.9K 3.7K 68
                                    

hope you like this.

Happy Reading~~

Mahasiswa telat, silakan keluar.

Dosen telat, cukup minta maaf

lalu lanjut mengajar

-Dosen yang tidak mau (merasa pernah) salah

Kejadian di semester satu membuatku ingin menghindari seseorang untuk semester-semester berikutnya. Di semester dua, aku mewanti-wanti supaya tidak terjerumus ke dalam lubang penyakit mematikan. Tapi karena gara-gara siakad error, di semester 5 ini aku jadi mengontrak mata kuliah di sembarang kelas. Nama dosen pengampu setiap matakuliah yang kuambil baru keluar setelah KRS-ku disetujui oleh dosen pembimbing. Aku mendadak lemas saat mengamati dua matakuliah yang diisi oleh dosen yang— ahhh, ingin diri ini menghubungi Bapak PA tercinta supaya membatalkan kontrak kuliahku. Tapi apa daya? Waktu kontrak sudah habis saudara-saudara. Aku harus pasrah.

Setelah menutup pintu mobil, aku menyempatkan diri untuk mengecek ponsel dan mengetik sesuatu di grup Whatsapp.

Geng Kalong (4)

Me : Pak Elgar pa kabar?

Alana : Nath, gawat. Si Bapak baru melewati pintu.

Aku langsung menahan napas.

Andi : Tas beliau baru landing di atas meja.

Shit! Aku langsung mengantongi ponselku detik berikutnya.

Berlari adalah pilihan satu-satunya kalau tidak ingin terlambat masuk kelas. Sisa satu menit sebelum pukul 7 pagi. Aturannya yang kudengar minggu lalu, semester sebelum-sebelumnya, dan hari di mana pertama kali aku duduk sebagai mahasiswa, katanya: kalau terlambat dan dosen sudah masuk ke dalam kelas, jangan coba-coba mengetuk pintu, bersuara, apalagi minta izin supaya diperbolehkan masuk. Lebih baik segera tinggalkan pintu kelas dengan status absensi alfa. Aman.

Napasku tak teratur ketika aku sampai di depan pintu. Pak Elgar sedang fokus menyambungkan laptopnya dengan kabel proyektor. Di sisi kiri dalam kelas, Alana melambai panik dengan kedua tangannya. "Jangan masuk!" adalah kalimat yang aku tangkap dari gerakan mulut Alana.

Memilih tidak masuk adalah cara terbaik untuk mencari keamanan di tengah-tengah gempuran aturan dosen seperti Elgar. Tapi niatku tadi mau kuliah. Sayang bensin dan waktu habis karena jalanan sedikit macet kalau tidak masuk sama sekali.

Tanganku mengetuk pintu. "Permisi pak, boleh saya masuk?"

"Kelas ini?" Aku waspada ketika dosen muda bergelar Doktor itu mengangkat kepalanya.

"Iya pak."

"Nama?" katanya datar. Tapi aku paham kalau Elgar sedang menanyaiku. Tidak salah kan aku memanggilnya begitu? Di sini memang Indonesia. Tapi di Jerman sana, yang kudengar adalah tempat di mana Elgar dilahirkan, orang pasti sudah terbiasa dipanggil hanya dengan menyebut nama saja. Lagipula usia kami hanya terpaut delapan tahun. Elgar masih 29 tahun.

"Nathasya Anuradha pak," jawabku.

"Minggu kemarin, masuk?"

Sip, bakal mampus gue.

Aku mengangguk. "Masuk pak."

"Telinga kamu tidak dibawa, minggu kemarin?"

"Hah?"

"Saya tidak perlu mengulang aturan saya dua kali, kan?"

Tuh!

Aku merapatkan bibir. Betul-betul paham maksud Dr. Elgar ini. Aturan, konsistensi, serta over disiplinnya.

"Kalau kamu ingin masuk, ikuti aturan saya!"

"Tapi pak—" aku mengecek jam tanganku sekilas. "Saya Cuma terlambat 30 detik."

"Kamu yang keluar atau saya yang keluar?"

Jangan terkecoh, itu ciri khas Elgar untuk mengusir mahasiswa-nya.

"Saya saja Pak."

Aku langsung menunduk dengan bibir terkunci lagi. Aku mengaku salah. Manusia yang lahir sebagai spesies super disiplin macam Elgar mana mau menolelir 30 detik keterlambatan yang telah kubuat. Hanya 30 detik, bukan 60 menit. Bayangkan semenyebalkan apa beliau ini! Untung bapak ganteng. Banyak fans garis keras Elgar yang bertebaran di kampus ini, yang siap sedia melindungi Elgar kapan pun dan di manapun, bonus: Elgar sering dipakai cuci mata kalau anak-anak tidak ada kelas dan harus stay di kampus seharian penuh. Kalau tidak, pasti sudah kucabik-cabik mukamu Pak. Aku menghela napas. Well, menyenangkan bisa diliburkan hari ini.

"Nathasya,"

Tubuhku yang sudah berbalik kembali menghadap Elgar. Apalagi sih?

"Ya pak?" sambutku lirih.

"Kamu tahu petani kita di desa pakai pakaian seperti apa? Kamu kalau niatnya jalan ke mall, tidak usah kuliah!"

Seisi kelas tertawa mengapreasiasi ketajaman mulut Elgar. Lihat! ganteng tapi kata-katanya selalu minus. Aku mengangkat kepala lalu tersenyum segaris. Aku hanya mengenakan kemeja H&M, celana Denim dan sepatu Nike keluaran terbaru. Apa yang salah? Tote bag dari Hermes ini? Aku melirik tas hitam di tanganku.

"Saya pakai baju masih sesuai aturan kok, Pak. Masih sopan. Saya terlambat, itu masalahnya. Kenapa bapak malah lari ke baju saya? Setahu saya Bapak gak punya otoritas untuk mengatur saya harus pakai baju apa hari ini, besok, lusa, atau seterusnya." Aku diam, mengambil napas. Sekalian mencuri jeda untuk memerhatikan Elgar yang justru tidak bereaksi. "Kalau begitu, saya permisi," kataku bergegas pergi. Emosi saja bawaannya kalau sudah berhadapan dengan Pak Doktor ini. Sabar—sabar.

...

"Gara-gara lo ngelawan Pak Elgar, doi langsung bad mood parah. Anak kelas kena bala-nya," info Alana menghentikan suapan bakso yang nyaris masuk ke mulutku.

"Cuma bad mood, gak kesurupan ini. Panggil gue kalo kejadian, biar gue rukhiyah," cibirku bersiap melahap satu bulatan bakso yang sudah kutusuk dengan garpu. Tapi tidak jadi. "Oh ralat ye, gue gak ngelawan. Cuma ngasih tau aja kalau dia gak berhak ngatur-ngatur gue."

"Gila lo Nath. Salut gue sama keberanian lo." Andi yang tadi sibuk ke akademik sudah kembali lalu duduk diantara aku dan Alana.

"B aja kok." Aku menyeruput kuah bakso dengan sendok.

"Lo gak takut apa tiba-tiba doi menyalahgunakan otoritasnya sebagai dosen? Kalo tiba-tiba nilai lo anjlok mau ngomong apa?"

"Kalau dia objektif, gak bakalan," jawabku enteng.

"Kalau kebalikannya gimana?"

"Tinggal lapor ke dekanat lah. Atau gue datengin rektor sekalian."

"Nath, parah, gue makin cinta sama lo." Mata Andi berbinar meskipun aku dengan sigap berhasil menghentikan gerakannya yang siap maju memeberi pelukan penuh cinta.

"Paan si lo."

Alana manyun memerhatikan kami. Lalu tanpa izin merampas satu-satunya pentolan bakso di mangkukku. "Gue iri lo bisa sesantai ini," infonya dengan mulut penuh. "Kalo gue jadi lo mungkin gue lagi nangis-nangis depan meja Pak Elgar biar diampuni."

"Ha ha hidup itu buat dinikmati, bukan dibawa tegang."

"Yang tegang mah di kamar ya, Nath." Andi bicara padaku, tapi mengerling jahil pada Alana. Eww kalian berdua!

"Otak lo isinya sampah, ya?" Aku mulai nyinyir sambil menghabiskan sisa es teh yang tadi kupesan.

"Al, gue dikatain." Ngerengek aja terus, Alana kalau masih batu gak bakalan kasihan apalagi paham. Aku terbahak dalam hati.

"Orang kaya mah bebas," cibir Alana segera beranjak.

"Makanya kaya kalau mau bebas."

"Resek lo." Alana memukul kepalaku dengan selembar uang 100.000 yang kuberikan. Untuk bayar makan. Sekalian, titip. Malas pergi ke kasir.

TBC-

VOTE COMMENT dong kalau suka. ^^

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang