31. Old Story

9.4K 1.1K 29
                                    

Oke, nyawa gue hampir lepas dari ubun-ubun.
- Nathasya



"Jadi Nath, lu beneran gak ada perasaan gitu?"

Aku gak tahu sejak kapan pertanyaan ini jadi hantu dalam hidupku. Bahkan ketika lagi mumet-mumetnya garap data skripsi, pertanyaan itu gak bosen selalu menggema di dalam kepalaku.

Aku membanting pena karena geram pada akhirnya. Menatap monitor laptop seolah benda itu adalah mangsa empuk yang ingin kucabik-cabik dagingnya.

Akhir-akhir ini selalu dan selalu aku mempertanyakan perasaanku sendiri untuk Elgar. Keyakinan bahwa aku tidak memiliki perasaan padanya berubah menjagi keragu-raguan yang membuatku bingung sepanjang hari.

Please, gue udah pusing skripsian jangan nambahin pake pusing masalah gue sama Elgar yang sudah selesai itu.

"Lu beneran gak ada perasaan gitu?"

"BISA DIEM GAK SIH?!"

"Ca, ada apa? Kok teriak-teriak?"

Aku bahkan sampai gak sadar sudah teriak sekeras itu sampai Bi Lia yang lagi nyiram anak-anak hijaunya di kebun berlari ke kamarku.

Aku menatapnya bingung, begitupun dengan Bi Lia. Lalu aku segera sadar.

"Engga apa-apa Bi, aku tadi ketiduran terus ngigau."

Bi Lia menggelengkan kepalanya. "Astaga Nath, makanya jangan tidur pagi-pagi. Udah sana cuci muka. Bibi bikinin teh deh biar enakan. Tidur kamu sampai ngigau begitu pasti efek capek juga."

Sebelum aku bisa mencegahnya, Bi Lia sudah berjalan menjauh ke arah dapur. Ketika dirinya tak terlihat lagi dari kamar, aku menghela napas kasar.

Istigfar gue 33 kali. Demi apapun, saat ini gue pengen banget jadi Scarlet Witch biar bisa mengendalikan pikiran yang sudah seperti kapal karam ini.

Sejak hari itu dan aku kembali aktif di kampus, sekalipun aku tidak pernah lagi bertemu Elgar. Ada yang bilang, katanya dia sedang ada proyek kerjasama dengan kampus luar dan sekarang berada di Jerman. Ada yang bilang juga Elgar sakit. Lebih parah lagi beredar rumor dia berhenti.

Aku mengacak rambut, memikirkan kemungkinan ketiga sepertinya terlalu mengada-mengada. Tapi bagaimana kalau benar? Apa yang bikin Elgar berhenti? Apa mungkin karena aku?

Wah, wah nathasya, tingkat kepedean lo udah nembus langit ke sembilan ya?

Jelas itu bukan karena aku. Elgar bukan jenis orang yang seperti itu.

Serius, kepalaku semakin sakit memikirkan ini dan itu. Belum lagi deadline design scarf yang diminta Bi Lia harus jadi bulan ini.

Bisa gak sih gue menguburkan diri aja ke dasar bumi? Mau menghilang saja rasanya.

Aku merasa ketenangan hidup ini seperti sedang disulap penyihir jahat, sekali abracadabra dalam sekejab semuanya lenyap dan  hidup ini berubah seperti dikejar setan yang gak ada akhirnya.

Frustasi.

Aku ingin mengadu nasib ini, tapi itu sangat gak mungkin buat bercerita ke Bi Lia. Biarpun dia pro aku dan rakyat Bogor yang menjunjung tinggi gaya berpakaian yang bekelas, dia tetap saja akan melapor ke Mama. Sedangkan Andi dan Alana keduanya masih sibuk turun lapangan untuk penelitian. Mbak Yumi juga sibuk dengan pekerjaan kantorannya. Yah, tersisa aku sendirian di sini. Merana. Meratap pada dinding kamar yang keras dan dingin.

Bisa-bisa gue tulis lo diucapan terimakasih skripsi sebagai saksi bisu betapa lo sebagai dinding punya jasa khusus buat proses hidup gue ini.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang