23. Kembali

18.1K 1.7K 51
                                    

Aku cukup puas bisa menghabiskan waktu beberapa minggu bersama Ayah di Bandung. Ya, meskipun ada beberapa insiden karena ulah oknum bernama Apta Elgar Pramudya. Ah, lupakan dia! Gak penting.

Biasanya aku tidak punya waktu sebanyak ini bersama Ayah saat liburan semester karena aku sendiri memilih untuk stay di Bogor atau Jakarta bersama Bi Lia.

"Jangan lupa diminum obatnya. Jaga kesahatan ya, Neng?Telepon ayah kalau udah sampai."

Kata-kata yang ayah ucapkan sebelum aku masuk ke dalam kereta pagi tadi mendadak terlintas di kepalaku setelah aku gak sengaja melihat sebuah apotek saat menuju tempat tinggal Bi Lia dan suaminya, Om Alan. Obat, ya? Aku mengeluarkan botol putih dari dalam tas dan mendapati diri meringis dalam hati.

Kapan gue gak lagi bergantung sama benda kimia ini?

Masih teringat beberapa bulan yang lalu saat aku bandel dan coba-coba buat gak meminum obat ini sebelum tidur. Aku harus berakhir mendengar suara Andi memanggil-manggil namaku dengan cemas dan terburu-buru di depan toilet wanita di gedung B fakultas keesokan harinya.

"Nath! Nathasya lo gak papa?! Nath buka pintunya!" Andi bahkan tidak peduli karena beberapa orang yang menggunakan toilet menatapnya aneh. Tidak hanya memanggil, dia juga menggedor pintunya cukup kencang.

Aku meringkuk di samping closet -gemetaran, merasa ketakutan, berkerigat dingin, ada rasa sesak dan debar jantung yang tidak normal di bagian dada, mencoba meraih pengait pintu dan membiarkannya terbuka. Selanjutnya yang aku rasakan ada sebuah jaket menutupi bagian kepala dan separuh tubuhku dipeluk Andi dengan begitu eratnya.

"Ndi..." suaraku bergetar hebat.

"Iya, ini gue. Ini gue, Andi. Lo aman sama gue." Andi mengeratkan pelukannya. Membiarkan hal-hal gak mengenakan yang gue rasain tadi pecah menjadi tangisan detik itu juga. Andi menungguku yang sedang kacau itu dengan sabar.

"Nath.." panggil Andi setelah beberapa menit tangisanku gak terdengar sekencang tadi.

Aku belum bisa mikir apa-apa, apalagi punya cukup tenaga dan hanya kata "hmm" dengan volume lemah yang bisa kuberikan padanya.

"Kita pulang, ya? Gue anterin."

Aku mengangguk pelan dalam pelukannya. Dia dengan sigap membenarkan jaket yang menutupi kepalaku dan membalikan tubuhnya untuk menggendongku. Aku melingkarkan tangan di lehernya selain sebagai pegangan juga mencari rasa aman. Gak peduli seberapa banyak orang yang melihat kami, Andi terus berjalan hingga aku mendengar suara pintu mobil terbuka.

Andi bahkan gak peduli sama pacar barunya yang gak sengaja lewat dan hampir kesetanan karena melihat adegan ini. Di satu sisi aku prihatin dan merasa bersalah. Tapi di sisi lain aku merasa bersyukur meliki Andi. Andi, lo emang selalu jadi penyelamat gue.

Aku menatap langit Jakarta yang sedikit mendung. Iya, aku sudah meninggalkan Bandung tadi pagi karena harus bersiap untuk pergi ke pernikahan Kak Fara yang tinggal menunggu kurang dari seminggu lagi. Namun, sebelum itu aku harus mengurus beberapa baju dan Pusat Butik Bi Lia yang ada di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.

"Pak, bayarnya sudah pakai Ovo, ya?" aku mengingatkan supir sebelum turun dari mobil karena sudah sampai di tempat tujuan.

Aku tersenyum dari balik jendela melihat Om Alan, dan dua keponakanku sedang menunggu di luar lobby apartment mereka.

"Ibuuuuuuu!" teriakan Kyra menyambut, membuat langkah kakiku semakin cepat untuk mendekat kepada mereka.

"Acaaaaa!" Kyla -keponakanku yang lain, juga menyambutku. Spontan aku melepaskan pegangan pada koporku, berjongkok lalu menangkap dua bocah yang lucu itu ke dalam pelukanku.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang