Kalau ketemu sama dosen killer yang mendadak baik, coba bawa ke dukun, siapa tahu beliau kerasukan
-Nathasya
Aku menatap kunci mobil Elgar kebingungan. Kunci mobil SUV mewah itu kan? Semudah ini kah Elgar ngasih kunci mobilnya ke orang lain? Iya, walaupun itu aku, mahasiswanya, tapi kan tetap saja. Nanti kalau aku apa-apakan mobilnya gimana? Aku kan punya dendam kesumat sama dia. Memang dia tidak takut? Atau lebih baik aku jual saja, ya? Harga second hand mobil mewah pasti lebih mahal daripada mobil sejuta umat yang notabenya masih baru. Kan lumayan uangnya, bisa buat jalan-jalan keliling dunia. Tapi nanti dosa. Atau aku tinggal saja kuncinya di mobil? Rasanya berada di satu tempat dengan Elgar itu lain. Masalahnya juga kalau ada yang lihat Elgar berdua sama aku pasti pikirannya macam-macam. Padahal 'kan Elgar cuma mau mengatarkan aku pulang. Tapi kalau aku tinggal kuncinya begitu saja, nanti mobilnya malah dimaling orang gimana? Sayang. Bisa-bisa aku juga dituntut nanti. Rusak masa depanku. Ini saja sudah susah, masa harus dipersusah lagi. Dari semua kemungkinan buruk itu, yang lebih buruk adalah kalau Elgar ngamuk dan aku kehilangan nyali bahkan kekuatan untuk membela diri.
Aku memutuskan pergi ke lapangan parkir. Menekan tombol di remote control untuk menemukan mobil Elgar. Yang dicari berbunyi dan lampunya berkedip dua kali di sudut parkiran.
Aku langsung masuk ke mobil, mengambil tempat di kursi depan lalu menyandarkan punggung ke sandaran setelah mengatur suhu AC.
"Haachim!"
Aku menggosok hidung untuk yang kesekian kali. Sepertinya flu kali ini akan cukup parah. Belum lewat 1 jam saja sudah meler begini. Aku langsung meraih tissue di atas dasboar untuk menyumbat lubang hidungku. Ditambah kepalaku yang mendadak terasa pusing lagi. Dibawa tidur sebentar pasti sembuh lah. Lagian Elgar belum terlihat juga batang hidungnya.
Aku memejamkan mata sambil mengatur posisi kepala, bersandar ke kaca jendela. Rasanya kok makin berat, ya?
Tidak sadar aku ketiduran. Rasanya baru beberapa detik lalu aku memejamkan mata, nyatanya sudah 15 menit yang lalu. Aku melirik sekitar dengan mata sayu dan kepala yang terasa masih berat.
Tunggu!
"Lho, Pak, ini bukan ke arah rumah saya," aku protes dengan suara parau pada Elgar yang sedang fokus menyetir.
Laju mobil memelan saat kami mendekati kawasan lampu merah.
"Memang bukan," kata Elgar kemudian menyerahkan termometer ke arah ku.
Aku meraihnya sambil mengernyitkan dahi. "Terus ini kemana?"
"Ke dokter."
"Mau apa?" tanyaku heran sambil melihat jam di pergelangan tangan.
"Periksa kondisi kamu, Ca."
Elgar meminta termometernya kembali saat mobil pelan-pelan kembali melaju.
Aku cuma demam sama flu doang. Harus ke dokter segala, ya? Berlebihan sekali manusia ini.
"Pak, saya cuma demam biasa. Minum paracetamol sama amoxicillin, terus tidur juga sembuh."
"Demam kamu makin tinggi Ca. Saya gak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa," infonya setelah melihat perhitungan suhu di layar digital termometer yang kupakai tadi. 38.5 derajat celcius, kalau tidak salah.
"Memang kenapa kalau saya kenapa-kenapa?" tanyaku ketus.
Aku merubah posisi duduk supaya lebih nyaman. Sesekali meringis tanpa suara. Kepalaku rasanya sudah seperti di ketok palu berkali-kali.
"Nanti gak ada yang bisa saya marahin kalau ada tugas yang gak beres lagi."
Aku mendengus. "Bapak niat banget nyiksa saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dozent
Chick-LitSudah mewanti-wanti supaya tidak bertemu dosen menyebalkan yang kalau sudah beraksi minta dijambak dan dicakar-cakar, nyatanya takdir tidak begitu baik. Kalau sudah begitu, mau tidak mau aku harus berhadapan dengan yang kuhindari.