ElgarSaya baru saja menepi sehabis bermain selancar dan gak menyangka kalau akan ketemu Nathasya di sini -Pantai Seminyak. Saya pikir justru akan bertemu dengannya 3 hari mendatang di pernikahan Fara.
Kain pantai yang dia kenakan melambai lambai saat diterpa angin. Kulit lengannya terlihat karena dia mengenakan baju tanpa lengan. Saya menatapnya sampai dia menyadari keberadaan saya.
Dia terlihat lucu karena tatapan matanya langsung berubah tidak suka setiap melihat saya. Seperti melihat setan di siang bolong aja.
Setan kan jelek, ya. Saya pikir saya gak sejelek itu.
"Hai, Ca?"
Saya menyapanya, menghentikan dia yang sepertinya bersiap kabur.
"Elgar?"
Sounds good tanpa embel-embel 'pak'. Dia membuat bibir saya tanpa sadar mengukir senyum. Kenapa gak begitu ya dari dulu?
"Ngapain?"
"Mau liat sunset, pak."
Pak.
Lagi-lagi.
Saya sebenarnya tidak pernah peduli dengan panggilan orang terhadap saya. Tapi kalau itu Nathasya, saya justru sebaliknya dan banyak peduli. Agak kurang nyaman dipanggil Bapak olehnya.
Saya duduk di kursi pantai yang kebetulan hanya berjarak 2 meter dari tempat Nathasya berdiri sekarang. Dia masih saja tidak bergerak dari tempatnya seperti patung.
"Sini duduk?" tawar saya.
"Hah?"
"Suara saya kurang keras ya?" Saya menepuk kursi kosong di sebelah dengan pelan. "Sini duduk. Katanya mau lihat sunset? Pegel berdiri terus."
Terlihat jelas kalau Nathasya sebenarnya enggan. Bukan sekali dua kali saya melihat gelagatnya yang terus berusaha menghindar. Berkali-kali. Saya sampai hapal.
"Saya gak makan orang kok, Ca. Duduk aja di sini. Saya bakalan diam kalau itu yang kamu mau."
Dia diam sambil mengamati saya. Sampai beberapa detik kemudian kakinya bergerak mendekat dan dia duduk kursi itu, di samping saya.
"Kenapa?"
Saya langsung menoleh.
"Kenapa mau diam kalau saya mau bapak diam?"
Nathasya bertanya tanpa melihat ke arah saya. Sehingga saya bebas untuk untuk mengamatinya dulu sebelum menjawab pertanyaan itu.
Dia akhirnya menoleh ke arah saya.
"Biar kamu nyaman." Jawab saya jujur.
Dia hanya mengedipkan mata dan tetap tidak bersuara. Matanya yang merespon. Mata yang tidak pernah menatap mata saya sekalipun, kini melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dozent
ChickLitSudah mewanti-wanti supaya tidak bertemu dosen menyebalkan yang kalau sudah beraksi minta dijambak dan dicakar-cakar, nyatanya takdir tidak begitu baik. Kalau sudah begitu, mau tidak mau aku harus berhadapan dengan yang kuhindari.