Bagi saya, perempuan itu makhluk Tuhan yang paling unik, contohnya suka tiba-tiba marah tanpa sebab.
- Elgar
.
.
.
Saya mendahului Nathasya supaya bisa membukakan pintu mobil untuknya. Sekilas dia tampak terkejut. Tapi setelah itu ekspresinya berubah cepat dan justru tersenyum pada saya.
"Romantis banget jadinya?" ucapnya lebih terkesan menggoda.
Saya tidak mau merespon dan langsung pergi ke pintu sebelah. Duduk di belakang stir dan dia di sebelah saya rasanya bukan hal baru. Tapi kenapa sekarang rasanya agak berbeda, ya? Ada rasa canggung diantara kami atau hanya saya?
Amazing bukan? Seorang Nathasya bisa membuat saya banyak memikirkan hal-hal remeh seperti ini.
Saya diam... atau malah bengong? Sampai suara Nathasya mengudara di dalam mobil.
"Kita gak jadi pergi, Mas?"
"Jadi."
"Kok diem?"
Iya ya, kok saya diam saja dari tadi? Saya langsung menyalakan mesin mobil. Ketika kaki hampir menginjak pedal gas, sebuah tangan mengulur ke arah saya.
Saya menoleh, melihat Nathasya dengan tatapan bingung.
"Ga mau gandengan?" Nathasya menunjuk tangannya yang terangkat dengan dagu. "Mumpung saya yang nawarin, loh, Mas?"
Saya masih diam.
"Yaudah." Dia hampir menarik kembali tangannya. Spontan, cepat-cepat saya menyambut tangannya tanpa suara.
Dia menatap saya sambil nyengir. "Cieee gandengan..."
"...."
Okay, i know. Natahsya, play the game again.
"Udah halal nih sekarang, cieee... bisa gandengan," katanya pada saya. Seolah-olah yang menikah itu hanya saya saja.
Saya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menggenggam tangannya lebih erat.
"Mas," panggilnya tiba-tiba.
Saya berdehem menanggapinya. Sementara mata fokus pada jalan raya.
"Sejak kapan suka saya?"
Pertanyaan itu membuat saya menolehkan kepala padanya.
Saya mengangkat sebelah alis penasaran. "Tiba-tiba ada kuis dadakan?"
Nathasya tersenyum. "Ya tiba-tiba aja pengen tau soal itu, Mas."
Saya memilih diam. Tapi dia terus mendesak.
"Pertama kali saya lihat kamu, kamu masih SD."
Matanya membesar setelah saya memulai cerita.
"SERIUS?!"
Suaranya meninggi karena terkejut.
Saya terkekeh. "Serius. Waktu itu saya sudah kelas 12 SMA. Kamu sering samperin bapak ke sekolah. Jadi saya lihat kamu beberapa kali."
"Jadi maksudnya Mas suka saya dari sekecil itu? Mas bukan pedofil kan?" Tatapannya ngeri.
Saya segera menyanggah.
"Bukan begitu sayang."
"Jadi? Saya pernah denger lho kak Fara nyebut Mas gamon sama bocil."
Ini mengundang gelak tawa saya yang tercampur dengan alunan merdu suaranya Tulus di dalam mobil.
"Saya memang pernah cerita soal ini ke Fara. Mungkin dia melihatnya berbeda. Lagipula setelah saya lulus SMA, sudah berapa lama saya tidak melihat kamu? Baru saat kuliah. Sayapun terkejut bisa bertemu kamu lagi di kampus. Entah sejak kapan, mungkin mulai saat itu saya memperhatikan kamu."
Nathasya tidak banyak merespons. Tapi senyum di bibirnya tak pudar sedikitpun. Saya melihat ke jalan, sambil sesekali melirik wajahnya yang terlihat merona.
"Kenapa?"
Nathasya menggelengkan kepala.
"Engga. Cuma lucu aja."
"Lucu gimana?"
"Lucu deh pokoknya, Mas."
Kalau sudah begini, saya tidak ingin melanjutkan apa-apa. Karena yang akan terjadi, bisa-bisa dia yang tiba-tiba marah tak jelas, mirip perempuan. Lebih baik cari aman demi mempertahankan rumah tangga yang harmonis ini.
"Iya," kata saya.
Di pemberhentian lampu merah, saya mengecup punggung tangannya.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dozent
Literatura FemininaSudah mewanti-wanti supaya tidak bertemu dosen menyebalkan yang kalau sudah beraksi minta dijambak dan dicakar-cakar, nyatanya takdir tidak begitu baik. Kalau sudah begitu, mau tidak mau aku harus berhadapan dengan yang kuhindari.