17. I Hate You

25.4K 2.6K 28
                                    

Tahu diri saja lah!
-Nathasya

Tiga minggu setelah acara debat, aku mulai fokus untuk menyiapkan ujian semester. Jadwal ujian berlangsung selama 10 hari. Namun ujian yang sesuai dengan jadwal akademik hanya perlu 4 hari  lagi. Ini karena ada beberapa dosen yang mencuri start UAS selama kelas perkuliahan biasa. 

Usahatani adalah matakuliah terakhir yang diujikan. Aku segera keluar  dari ruangan setelah menyelesaikan soal esai di lembar jawaban dan langsung menyusul Andi dan Alana yang sudah keluar lebih dulu.

Aku menyejajari langkah Andi. "Finally semester ini selesai juga."

Alana mengapit lenganku. "Lebay amat lo," komentarnya pada Andi.

"Eh kenyataan. Beneran lega gue, Al. Emang lo engga?"

Mata Alana memutar malas tapi mulutnya memilih diam saja.

"Gue juga," kataku.

"Nah, bener kan, Nath? Rasanya awan mendung di atas kita itu langsung lari kalo ujian udah kelar gini," kata Andi dengan tangan  menyilang di atas kepalanya.

"Gak sepersonifikasi ataupun sehiperbola itu juga sih."

Alana terkekeh. "See? gue bilang juga apa. Lebay mah lebay aja. Ngeles mulu."

Andi mendengus. "Udah khatam gue. Ga perlu les lagi."

"Astaga gue lupa ngomong sama siapa," kata Alana langsung berjalan mendahului kami. Dia berputar dua kali seperti mencari sesuatu di bawah sepatunya.

"Sama orang ganteng dong. Langsung catet, Al! Biar ga lupa."

Alana mengangkat kepala. Aku menoleh dan menyipitkan mata pada Andi. "Pengen muntah!" Kami menyahut kompak.

"Ganteng banget malah Ndi kalo gue tutup mata gini," kata Alana sarkas dengan mata terpejam berapi-api.

"Eh, syalun!"  Andi mengumpat lirih.

Kami langsung mengambil tempat di meja sudut seperti biasa tak lama setelah sampai di kantin kampus. Sudah kebiasaan kami kalau selesai ujian pasti makan dulu di kantin, lalu pulang untuk ganti baju kemudian pergi hang out tanpa tujuan dan sampai lelah. Ritual akhir semester ala para Kalong.

"Eh, apa kabar soal Mbak Yumi yang ngajakin ke Lombok?" tanya Andi ketika duduk di sisi kursi  yang panjang.

"Mereka bakal tetep pergi meskipun kita ga ikut," infoku.

Alana membuka tasnya lalu mengeluarkan ponsel. "Gue pengen ikut deh kalo gretongan mah," katanya.

"Gue juga." Andi memandangku. "Lo gimana Nath?"

Aku berpikir sejenak lalu menggeleng. "Kayaknya gue ga ikut deh."

Alana mengetik sesuatu di ponselnya sebelum bereaksi, "Kenapa, Nath?"

"Gue mau QT sama Ayah dulu sebelum ngurusin gaun resepsi Kak Fara di Bali." 

"Yah," keluh Alana. Dia menunduk. "Gue jadi inget Bundo sama Abah di Padang. Keknya gue juga bakal langsung pulang aja deh ke Pariaman."

Aku menggeleng tidak setuju. "Lo berdua ikut aja ke Lombok. Mumpung gratis."

Andi berdecak. "Tapi heran gue, manusia sejenis Andra yang suka diskonan dan tawar-tawar buat diri sendiri aja ternyata bisa royal juga sama orang lain. Gue jadi curiga kalo Mbak Yum pake pelet," tuduhnya.

"Kalo iya gue bakal suruh dia pertebal peletnya biar Andra makin licin ngeluarin duit," aku menyahut semangat.

"Yeuh, kalo soal gituan aja ijo banget mata lo, Nath." Alana berkomentar sebelum beranjak untuk memesan makan dan minuman.

The DozentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang