Kalau dihadapkan dengan situasi yang baru pertama kali, 'gak tahu' adalah jawaban dari segala pertanyaan.
-Nathasya
Gue... gue beneran mabok kayaknya.
Kalau saja Elgar tidak sigap menahan tubuhku, mungkin aku sudah jatuh dengan wajah bodoh dan gak tahu harus bereaksi apa. Kesakitan? Malu? Marah atau apa? Sumpah kepalaku jadi pusing.
Aku menunduk setelah ciuman itu terlepas. Kurasakan dengan perlahan jemari Elgar menggapit tanganku.
"Natahsya, mau jadi pacar saya?"
Sontak aku mengangkat kepala. "HAH!?"
Meskipun suaraku nyaris berteriak, tatapan Elgar masih terlihat sebegitu lembutnya.
Jantung gue rasanya turun ke perut.
Elgar terkekeh. Aku menunduk kembali karena betul-betul tak berani berhadapan dengannya. Lebih tepatnya aku bingung. Hal ini tidak pernah terjadi dalam hidupku. Lagi, reaksi apa yang harus aku berikan?
"Sa-saya... saya, saya ga tau."
Kukira setelah itu Elgar akan melepaskan tangannya lalu pergi begitu saja. Nyatanya dia memang melepaskan tanganku tapi tetap pada posisinya dan sekarang sedang mengelus kepalaku dengan hati-hati.
Seolah-olah kalau dia ngasih tenaga sedikit aja itu bakal nyakitin gue.
"Saya gak minta jawabannya sekarang. Pikirin aja dulu."
Elgar tersenyum lalu menjawil hidungku gemas.
"Ayo, sudah malam. Saya antar kamu pulang."
Jarak resort tempat resepsi acara pernikahan Kak Fara dengan rumah mama lumayan jauh. Elgar mana mau mengantarku dengan berjalan kaki. Aku sarankan naik taksi saja dia tidak mau. Sekarang malah menelpon seseorang supaya mengantarkan mobilnya kemari. Padahal ini sudah tengah malam. Ngapain sih dia repot-repot ganggu jam istirahat orang lain? Ya meskipun itu supirnya sendiri.
Mau protes, tapi aku malas berdebat. Jadinya sejak mobil SUV hitam yang pernah kulihat di MCD tempo hari itu datang, sampai aku masuk mobil dan pasang sabuk pengaman, aku memilih untuk tidak bersuara.
"Kok diam? Kamu gak mendadak bisu 'kan habis kita berciuman?"
WHAT?!
Aku yang tadinya lagi enak-enak melihat lampu jalan otomatis langsung berbalik menghadapnya.
"MAS!"
Elgar malah tertawa.
"Kenapa?" Katanya kelewat santai. Dia benar-benar fokus mau bicara padaku karena sampai repot-repot menepikan mobilnya dulu.
"Santai banget sih nanyanya? Gak mikirin saya marah atau gimana apa?"
Kan gue jadi ngomel. Kesel abisnya.
Elgar menatapku sambil mengerutkan dahi. "Kalau kamu marah sama saya karena tadi, yakin bakal naik mobil saya sekarang?"
Skakmat!
Aku benar-benar tidak bisa bicara lagi sekarang. Mau menyangkalpun apa yang Elgar katakan memang benar.
Kalau gue marah mungkin gue udah nampar dia dan ninggalin dia sendirian di pantai. Bodo amat mau dia itu dosen gue atau apa lah.
Aku meremat sabuk pengaman dan memilih diam lagi.
"Saya mau pulang," ujarku pelan.
Karena ketajaman nalar Elgar yang tiada tara itu, makanya tanpa banyak bicara dia langsung menjalankan mobilnya lagi untuk mengantarku pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dozent
ChickLitSudah mewanti-wanti supaya tidak bertemu dosen menyebalkan yang kalau sudah beraksi minta dijambak dan dicakar-cakar, nyatanya takdir tidak begitu baik. Kalau sudah begitu, mau tidak mau aku harus berhadapan dengan yang kuhindari.