Sebuah Rasa

179 9 2
                                    

“Apa kamu memiliki cinta sejati?” Kali ini aku bersuara. Bukan untuk menjawab semua ucapannya, melainkan bertanya pada pria itu.

Ia menoleh padaku, lalu tersenyum. “Tentu saja, tapi dia justru pergi bersama orang yang dipilihkan orang tuanya,” jawabnya terdengar menyedihkan.

“Terus kamu diam saja?”

“Memang cinta itu sangat erat dengan perjuangan dan pengorbanan. Saat kita mencintai seseorang, seharusnya kita memperjuangkan bukan malah diam seribu bahasa. Perjuangan membuktikan betapa besarnya rasa cinta dan rasa sayang kita, dan pengorbanan menandakan besarnya rasa takut kita kehilangan sosok seperti dirinya. Namun, cinta sejati tak harus saling memiliki. Tidak bisa memilikinya bukan berarti berhenti menyayangi dan mencintainya bukan?”

Nyes! Ada yang meleleh, tapi bukan es. Ada yang bergetar, tapi bukan ponsel. Entah kenapa aku seperti mendapat jawaban dari segala kerisauan hati ini.

“Hingga aku sadar, kehidupan tetap harus berjalan sekalipun kita tak siap. Sampai akhirnya aku ikhlas menerima semua itu. Namun, merelakan dan melepaskan bukan sekadar mengurai ikatan. Tetap akan ada sisa yang tertinggal. Selesaikan dan mulailah mencari lembaran baru,” sambungnya.

“Terimakasih ... karena kamu, sekarang aku paham. Bagaimana menyikapi arti dari cinta, ternyata setiap orang memiliki masalah dan ujian yang berbeda. Meskipun judulnya sama, yaitu galau. Entah seberapa berat masalah mereka, tapi tetap. Semua itu kembali pada diri kita sendiri, bagaimana kita bisa menghadapi itu dengan tetap waras dan percaya. Bahwa, akan ada pelangi setelah badai.” Saga hanya menganggukkan kepala sambil mengangkat jempolnya.

“Apa sekarang sudah ada penggantinya?” Aku memberanikan diri bertanya seperti itu. Jiwa kepoku kumat.

“Ada, tapi masih dalam proses,” balasnya tenang.

“Siapa?”

“Kamu.” Mendadak tubuh ini mematung. Benarkah dia menyukaiku? Duh, tubuhku terasa melayang di udara sampai tembus ke langit tujuh lalu tersambar petir.

“A-a-a-aku?” Duh, kenapa aku jadi gagu begini?

Ia terbahak. Mungkin karena melihat wajahku yang sudah seperti badut.”Minum dulu. Biar nggak tegang gitu,” ucap Saga sambil menyodorkan air mineral padaku.

Dengan cepat mengambil botol minum itu dan meneguknya. Hingga perut ini terasa kembung. Iya, tak terasa air itu terkuras habis karena berpindah ke dalam perutku. Saking hausnya.

“Salma!” teriak seseorang memanggil namaku. Seketika aku menoleh ke sumber suara.

Aku terkejut melihat sosok Pak Gio sudah di sana dengan napas yang tersengal-sengal. Bagaimana bisa dia ke sini? Aku melirik ke arah Saga. Namun, ia membuang muka. Sudah kuduga! Pasti dia memberitahu Pak Gio. Sebenarnya niat nolongin enggak sih? Dasar Sagu!

Pak Gio menghampiri kami. Bisa kudengar napasnya yang ngos-ngosan seperti habis maraton. “Ikut saya sebentar, ada yang perlu kita bicarakan,” ucapnya sambil menarikku.

“Lepas, Pak. Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi.” Aku melepas tangan Pak Gio.

“Enggak ada kamu bilang? Ayolah Salma, jangan kayak anak kecil. Kita perlu ngomong.”

“Pak Gio yang bilang sendiri, kan, kita itu Cuma nikah pura-pura. Kenapa harus ribet? Lagian saya juga enggak ada masalah kok,” balasku kesal. Kulihat beberapa orang memandangi kami. Sial! Jadi tontonan gratis.

“Kalau kamu masih ingat perjanjian itu, artinya kamu enggak bisa ngebantah suamimu. Kamu sendiri yang bilang, di mana pun kita berada. Saya harus mengakui kamu sebagai istri? Jadi, ikut saya sekarang!”

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang