Ketika jiwa berubah sendu, tertawa hanya sebuah cara untuk menghilangkan kepedihan. Malam telah menjadi saksi kerapuhan hati saat siang berpura-pura tegar.
Aku tak selemah pasir pantai yang mudah terombang-ambing oleh ombak. Dan aku tak sekuat baja maupun setegar karang, yang tak mudah dihancurkan. Namun, aku bisa rapuh dan jatuh saat tidak ada yang mampu menopang rasa sakit ini.
Terkadang pantai adalah sebuah sinema di mana hamparan pasir, deru ombak dan semilir angin sebagai tokoh utamanya. Seharian ini aku telah menjadi saksi kisah mereka.
Tidak ada yang lebih indah, daripada melihat kegigihan laut yang menolak berhenti mencumbui bibir pantai. Meski berkali-kali harus menjauh terbawa arus. Dan aku belajar tentang ikhlas, seperti buih di lautan yang tidak membutuhkan pantai.
Keindahan tak berhenti hingga ketika matahari terbenam yang melahirkan senja. Setiap senja selalu menjanjikan kita awal yang baru dan mengajarkan kita bahwa, apa pun yang terjadi hari ini pasti akan berakhir indah. Serta membuat kita mengerti arti sebuah kata rela.
Kini, tinggal kegelapan malam dan hembusan angin yang menjadi temanku. Entah bagaimana perasaanku sekarang, yang jelas aku sangat takut untuk kembali bertemu pria bernama Gio.
Sejak ia membentak dan menghinaku dengan ucapannya yang kasar itu, seketika hati ini remuk. Seremuk ponselku yang sudah dilemparnya. Mana ponsel baru lunas lagi. Jahab!
Ish! Kenapa aku jadi cengeng seperti ini? Sejak kapan wonder woman main sinetron ikan terbang? Memalukan!
Aku mengelap air mata yang sudah membanjiri pipi. Tiba-tiba sesuatu membentur kepalaku. “Sial! Kenapa ada sepatu mendarat di kepala?” ucapku sambil mengelus kepala yang terasa sakit.
“Hancur hancur hatiku ... hancur hancur hatiku ... hancur hancur hatiku, hatiku hancur!” Terdengar suara orang bernyanyi. Membuatku sedikit tersentil.
Ebusyeet. Itu orang nyindir aku apa bagaimana? Kok pas banget gitu lagunya? Mana itu lagu almarhum Olga Syahputra lagi. Kan aku merinding.
Seorang pria bertubuh tinggi semampai mengenakan kaos berwarna merah dan celana jeans hitam, tampak berdiri menghadap laut sembari berteriak seperti orang kesurupan.
“Mas ... ngapain, Mas? Kok teriak malam-malam di atas laut,” sapaku pada pria itu.
Ya, kami sedang berada di jembatan yang terbuat dari bambu. Bentuknya memanjang, kira-kira sepuluh meter dari tepi sampai ke tengah laut.
Ada banyak lampu kecil setiap beberapa meternya. Membuat jembatan ini terlihat cantik. Hampir seharian aku duduk di sini, memandangi laut dan menikmati hembusan angin.
Seketika ia menoleh. Lalu menatapku penuh selidik, dari atas sampai bawah. Mungkin dikira aku Nyi Roro Kidul. “Apo?” katanya.
Aku mengernyitkan dahi. Antara takut salah dengar atau pria itu yang salah mengucapkan kata? “Saya enggak bagi-bagi angpau. Saya cuma nanya, Masnya lagi ngapain teriak-teriak di tengah laut kayak orang kesurupan?”
Kini, giliran pria itu yang mengernyitkan keningnya, lalu membuang napas kasar. “Bukan angpau. Maksud saya ‘apa’. Ada apa?” jelasnya.
“Oh ... ini punya situ?” Aku menyodorkan sebuah sepatu merk sneaker warna hitam padanya.
“Kok ada sama kamu?”
“Mana saya tahu, ya kali ada sepatu terbang sendiri terus kena kepala saya?”
“Hehe ... bukan gitu. Tadi aku udah ikhlas banget buang sepatu itu ke laut. Eh malah balik lagi,” balasnya sambil meraih benda itu.
“Kenapa dibuang? Nanti sebelahnya ngiri loh ....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...