Apa kabar emak ya? Sejak aku ke Jakarta, beliau sama sekali tak mengabari anak gadisnya ini. Beberapa kali menghubunginya, tapi nomornya tidak aktif. Ibu macam apa dia, anaknya pergi nggak dicariin.
Boro-boro khawatir, mencari kabarku saja tidak. Miris sekali nasibku. Tiba-tiba ponselku berdering, muncul nama Bibi Ai di sana. Segera aku menggeser logo telepon berwarna hijau ke atas.
“Halo Salma!” panggil seseorang dari ujung telepon terdengar cempreng. Aku seperti mengenal suara itu, tapi sangat yakin kalau itu bukan Bibi Ai.
Sedikit menjauhkan ponsel dari telinga, karena suara makhluk di sana hampir membuat gendang telingaku pecah.
“Iya halo, Anda siapa?”
“Anda gundulmu! Ini emak elu, nggak kenal sama suaranya?” tanya makhluk yang mengaku sebagai emakku. Pantas saja aku seperti mengenal suaranya.
Panjang umur, baru juga diomongin langsung muncul. Sudah kayak jin botol.
“Oalah Emak ... maaf, kirain siapa. Makanya salam dulu, Mak. Jangan main nyerocos aja kayak kenalpot bocor.”
Emak terkekeh. “Bisa aja lu ah, centong nasi. Eh, betewe apa kabar, Neng? Emak nyariin elu tauk!” jawab emak. Ampun dah, anak sendiri dikatain centong nasi.
Jangan heran gaes, emak ane makhluk campuran dari berbagai spesies. Asal Semarang, tinggal di Bandung, menikah sama orang Medan, tapi ngomongnya logat orang Betawi. Eta terangkanlah!
“Salma baik, Mak. Emak sendiri gimana kabarnya? Salma pikir Emak nggak nyariin, Salma teleponin nomornya nggak aktif.”
“Emak baik. Eh, mana mungkin anak perawan emak satu-satunya yang cantiknya kayak Cinta Laura nggak dicariin. Buktinya sampai nyusul ke Semarang, kan elu pamitnya jenguk Paman. Malah Emak susulin nggak ada,” cerocosnya panjang kali lebar. Pasti mulutnya maju mundur syantik, seksi beud kayak pantat ayam.
“Oh jadi Emak di Semarang? Pantesan pakai nomor Bibi.”
“Iya, Neng. HP emak yang belum lunas terpaksa ditarik lagi gara-gara nunggak mulu,” jawabnya terdengar menyedihkan. Jujur, dari lubuk hati yang paling dalam. Aku ingin sekali tertawa, tapi takut kualat.
“Apalagi HP yang setorannya gede, panci seminggu sekali sepuluh ribu aja doyan nunggak.”
Emak terbahak mendengar sindiranku. Ini nih yang nggak bisa aku lupain dari wanita yang sudah melahirkan dan merawatku. Beliau nggak pernah marah disindir-sindir, nggak ngaruh mau diapain juga. Sudah kayak adonan bantet, atos!
Kami itu seperti sahabat bagaikan kepompong. Sama-sama sengklek, jadi dari sanalah kesengklekanku berasal.
“Bisa aja lu ah, emak kangen, Neng. Elu di mana sih? Pulang ngapa,” rengeknya. Pasti sambil gigit baju, trus guling-guling di atas rumput.
“Salma lagi kerja, Mak. Biar bisa ngelunasin tunggakan panci emak, oke? Nanti Salma telepon lagi, ya? Banyak kerjaan, daaah ... Assalamu’alaikum,” ucapku sebelum akhirnya menutup telepon.
Aku belum siap menceritakan semua yang terjadi, sejak aku datang ke Jakarta sampai hari ini. Bisa ribet ngomong sama emak, biarlah nanti saja kuceritakan.
Samar-samar aku mendengar suara benda terjatuh. Jangan-jangan kakek? Bergegas aku pergi ke kamar kakek untuk mengeceknya.
Benar saja, saat aku datang kakek sudah tergeletak di lantai, ia tak sadarkan diri. Aku panik, bingung harus melakukan apa. Beberapa kali menyadarkan kakek, tapi ia tak merespon.
Dengan cepat aku meraih telepon rumah beserta notebook di sampingnya yang kebetulan berada di kamar ini. Lalu mencari nomor kantor Pak Gio.
Untung saja nomor itu berada paling atas. Tanpa membuang waktu, segera menelepon Pak Gio.
“Ya, selamat pagi?” ucap Pak Gio dari ujung telepon. Tentu saj, aku sudah sangat hafal dengan suaranya.
“Pak, cepat pulang. Kakek tiba-tiba pingsan.”
“Apa? Oke-oke, secepatnya saya pulang. Sementara kamu jaga Kakek dulu. Saya akan panggilkan dokter,” jawabnya terdengar buru-buru. Seketika kujawab iya, sebelum akhirnya telepon terputus.
***
Tak lama seorang pria dewasa berkacamata, tubuh tinggi tegap dan mengenakan jas putih khas dokter datang tergesa-gesa.
Untung saja kakek sudah berada di atas ranjang, aku dibantu salah seorang pekerja dekorasi pelaminan. Yang terpaksa datang lagi untuk membongkar, katanya disuruh kakek. Aku terancam batal kawin! Hiks.
Dokter segera mengecek tensi, kemudian memeriksa kondisi pria tua yang terbaring lemah di ranjangnya. Tak lama Pak Gio datang.
“Gimana keadaan Kakek? Coba jelaskan Salma, kenapa Kakek bisa pingsan seperti itu?” Pak Gio memberondong pertanyaan, ia terlihat khawatir.
Tentu saja, kakek adalah orang tuanya sejak ditinggal ibu dan ayah kandungnya. Pasti Pak Gio sangat khawatir melihat orang yang sangat dicintainya terbaring lemah. Aku bisa merasakan itu.
“Saya nggak tau, Pak. Tiba-tiba pas saya ngecek ke kamar, Kakek sudah tergeletak di lantai,” jelasku.
“Tensi Kakek tinggi, sepertinya beliau sedang memikirkan sesuatu yang cukup mengganggu istirahat dan pola makannya, sampai tensinya naik. Itu sebabnya Kakek sampai jatuh.” Dokter tampan itu menjelaskan yang terjadi dengan pasiennya.
“Tapi Kakek nggak apa-apa, kan, Dok?” tanya Pak Gio.
“Insya Allah nggak apa-apa, asal dijaga pola makannya. Terlebih pikirannya, jangan sampai mikir yang berat-berat. Saya buatkan resep obatnya, nanti tolong ditebus, ya?” balas pria yang berprofesi sebagai Dokter itu.
“Saya nggak butuh obat, bosan minumnya,” celetuk kakek yang tiba-tiba sudah membuka mata. Kami bertiga sontak menoleh ke arahnya.
“Loh kenapa, Kek? Kakek harus sembuh, kalau nggak minum obat gimana Kakek mau sembuh?” Pak Gio menghampiri sang kakek dan membantunya duduk setengah tidur.
“Kakek cuma pengin kamu nikah, itu saja. Pasti Kakek langsung sembuh,” jawabnya terdengar mengejutkan.
Sepertinya ada bau-bau modus di sini. Namun, aku tak mau ikut campur. Biarlah waktu yang akan menentukan drama apa yang sedang dimainkan oleh kakek. Dan biarkan Pak Gio yang menghadapinya, aku cukup menyaksikan sambil makan Pilus Garuda.
“Maksudnya, Kakek mau Gio nikah sama Salma?” Pak Gio bertanya setengah memastikan. Cukup mewakili pertanyaan dalam isi kepala ini. Dalam hati aku berdoa, semoga Mas Anang dkk bilang ‘Yes’.
Seketika kakek mengangguk pasti. Reaksi Pak Gio berubah tegang, sejenak berpikir. Mungkin ia dan Mas Anang CS sedang berunding. Tak lama ia pun bilang ‘Yes’. Dan aku? Nggak perlu sujud syukur, cukup koprol dalam hati sambil ketawa jahat.
“Makasih, Gio. Kamu benar-benar cucu kakek yang terbaik,” ucap kakek bangga.
“Iya, Kek. Gio ngelakuin ini demi kesehatan Kakek,” jawabnya sambil memeluk sang kakek. Baeqlah, saya cukup tau diri. Yang cuma jadi umpan, tapi dapatnya harta karun. Ngoahahaa...
“Ya sudah, sana bilang sama pekerja di luar. Biar dekorasinya jangan dibongkar, acaranya besok kita langsungkan,” titah kakek. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Pak Gio menurut. Meski raut wajahnya terlihat terpaksa.
“Dan kamu Salma, tolong bawakan kakek makan, kakek lapar.” Kini gantian kakek menyuruhku. Aku pun menurut dan segera keluar meninggalkan kakek bersama Dokter pribadinya.
Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Jiwa detektifku meronta-ronta. Masih berdiri di depan pintu, aku tak benar-benar menutup pintu kamar. Bermaksud menguping pembicaraan mereka.
“Ingat, ya, Kek. Ini pertama dan terakhir kalinya Rey berbohong cuma buat tujuan Kakek menikahkan mereka,” ucap pria bernama Rey itu. Yang tak lain adalah dokter pribadi kakek.
Aku menutup mulut ini cepat, sebelum keceplosan. Cukup mencengangkan ucapan dokter itu, sudah kuduga. Dasar kakek nggak ada akhlak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...