“Satu ... dua ... tiga!” Aku membuka kain yang menutupi matanya.
“Ini kamu yang buat?” tanya Pak Gio. Matanya menyapu seisi ruangan ini, ia seperti orang linglung. Antara takjub, heran atau justru tak suka.
“Iya, sengaja seharian Pak Gio saya kirim ke atas genteng supaya enggak bisa mengacaukan rencana kejutan ini. Apa Pak Gio suka?” Aku begitu leluasa memandangi wajahnya dari samping hanya dengan pantulan cahaya lilin. Masih tampan!
Ia menoleh dan menatapku. “Lumayanlah, terimakasih,” balasnya sembari menyunggingkan senyum. Aku membalas senyumnya, debaran di dada semakin membuatku tak karuan.
Dengan cepat aku menarik tangannya ke arah meja. Kami berdiri di tengah lilin-lilin itu. Harum bunga mawar menyeruak di indra penciuman.
“Mau ngapain sih?” tanya Pak Gio tampak gugup.
“Mau jaga lilin, Pak. Bentar lagi duit kita banyak,” jawabku kesal. Dasar kanebo kering! Enggak ada romantis-romantisnya jadi manusia.
“Ayo tiup lilin, supaya babi ngepetnya enggak ketahuan orang!” imbuhku. Pak Gio hanya tertawa kecil. Lalu meniup lilin-lilin yang bertengger di atas kue tart.
Aku mengambil kotak lalu memberikannya pada Pak Gio. “Apa ini?” tanyanya. Seketika menepuk jidat.
“Itu hasil ngepet malam ini, Pak. Buka dong.” Tanpa menjawab, ia meraih kotak itu dan membukanya.
“Apa ini? Kamu kasih saya hadiah kanebo kering?” tanyanya terheran-heran. Pak Gio mengambil benda yang namanya biasa kujadikan perumpamaan dengan jiwanya.
“Iya, karena hidupmu terlalu kaku seperti benda itu. Pak Gio tahu bagaimana menggunakan kanebo itu supaya bisa digunakan untuk mengelap?”
“Air,” balasnya cepat.
“Ya, begitu pun hatimu, Pak. Anda memerlukan seseorang yang bisa menjadi air untukmu, supaya hatimu bisa lembut kembali. Seperti halnya saat kita ingin merasakan kelembutan Allah. Berwudhulah, lalu salat. Pasti hatimu terasa lebih tenang, di sanalah Allah hadir.
Hening! Netra kami beradu. Dalam kegelapan, entah mengapa semua terasa damai. Kami seolah berbincang lewat sebuah pandangan yang tersalur sampai hati.
Pak Gio mendekat, jarak kami hanya sejengkal. Bisa kurasakan hembusan napasnya yang terasa hangat menerpa wajah. Harum tubuhnya semakin membuatku gemetar. Duh, kira-kira Pak Gio mau ngapain ya? Apa dia mau menciumku? Omegod! Mana tadi siang makan petai lagi. Gimana ini?
“Nyontek di mana kata-katanya?” bisiknya.
Aku memutar bola mata malas. “Enak saja! Saya bukan sekretaris Bapak yang nyontek di google! Gini-gini saya juga bisa romantis, emangnya Pak Gi—“ Ucapanku terhenti kala jari telunjuknya menempel di bibir ini.
“Apa kamu mendengar sesuatu?” tanya Pak Gio terdengar serius. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Jiwa penakutku meronta, mana gelap begini. Suara apa yang Pak Gio dengar?
“Su-suara apa, Pak? Sa-saya—enggak dengar,” jawabku sambil celingukan. Takut jika tiba-tiba Mbak Kunkun nongol.
“Suara detak jantungmu,” jawabnya seraya meletakkan telapak tangannya di dadaku.
Mampus kau Salma! Ketahuan kan kalau jantungmu sudah kayak orkes dangdut koplo. Asyik buat jogetan.
Bergegas aku menepis tangannya. Lalu menjauh dari pria kaku itu. “Apa yang kamu rasakan?” katanya.
“Maksudnya?” jawabku pura-pura tak mengerti.
“Katakan saja apa yang kamu rasakan, jangan kelamaan dipendam. Nanti busuk!” ucapnya terdengar menyudutkan. Kenapa jadi dia yang nodong? Hih!
“Apa Bapak ingin sekali saya mengatakan apa yang sedang saya rasakan?” Seketika ia mengangguk.
Entah kenapa tiba-tiba tenggorokanku terasa kering dan suara mendadak hilang. Mana tangan sudah kayak es batu, dingin!
“Sa-saya ... saya ... saya ....” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Pak Gio tampak mengejek dengan senyuman yang tak bisa diartikan.
“Ya, enggak perlu ngomong juga saya sudah tahu,” ucapnya sambil terkekeh.
Benarkah Pak Gio tahu? Duh, malu sekali. Apa gelagatku gampang ditebak? Untung gelap, jadi wajahku yang mungkin sudah seperti tomat tak terlihat.
Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Ish! Menyebalkan, jangan-jangan itu si ulat bulu. Bergegas aku keluar untuk mengecek.
Namun, aku merasa lega saat ternyata yang datang adalah Beni. “Ada apa? Mengganggu saja!” ucapku kesal.
“Wah ... maaf, Mbak. Udah nanggung, ya?” balasnya sambil terkekeh.
“Iyalah, tinggal sebentar lagi malah ada pengganggu. Ada apa cepat? Mau lanjut nih.”
“Ini, Mbak. Ada titipan, katanya buat Pak Gio.” Beni memberikan sebuah kotak kecil padaku. Dengan cepat aku meraihnya.
“Dari siapa?”
“Tadi ada kurir datang, Mbak.”
Aku sedikit heran dengan jawaban Beni. Perasaan dari tadi enggak ada yang datang, apa aku yang enggak dengar ya? Mungkin saking khusuknya menikmati suasana romantis bersama Pak Gio.
“Oh, ya sudah. Makasih, ya?” ucapku yang langsung dijawab ‘iya’ oleh Beni. Sebelum akhirnya ia pergi.
Rasa penasaran membuatku ingin membuka kotak itu. Dari siapa kira-kira? Mungkinkah dari Nia? Ah sudahlah, mending aku beri tahu Pak Gio dulu.
“Siapa yang datang?” tanya Pak Gio saat tiba-tiba muncul.
“Beni, Pak. Dia ngasih ini, katanya buat Bapak.” Aku memberikan kotak itu padanya.
Pak Gio meraihnya, lalu segera membuka kotak itu. Seketika matanya membulat sempurna menatap isi di dalam kotak itu. Aku semakin penasaran melihat ekspresi Pak Gio yang begitu terkejut.
Kurebut kotak itu dari tanganya. Tak lama terlepas saat aku melihat sebuah benda yang sangat membuat tangan ini gemetar dan lemas.
Kelanjutan part di cerita ini ada di novel yes...
Untuk pemesanan hubungi nomor ini 👉 087764545401Ada GA untuk 50 pembeli pertama. Dapat diskon juga loh..
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...