Kami makan malam bersama, aku dan Pak Gio duduk berseberangan. Kakek duduk di antara aku dan Pak Gio. Dan emak duduk di sebelahku. Tidak ada obrolan apa pun selama kami menyantap hidangan yang ada. Hanya terdengar bunyi dentingan piring dan sendok saling bersahutan.
“Gio, Salma ....” Suara kakek memecah keheningan di antara kami. Aku dan Pak Gio menoleh ke arah kakek, sepertinya ada hal yang akan beliau katakan.
“Iya, Kek?” Tanpa sengaja aku dan Pak Gio mengatakan itu secara bersamaan.
“Kompak amat? Udah kayak regu koor,” celetuk emak enggak jelas alias gaje.
Aku menyikut lengan emak pelan, lalu memberi isyarat kepadanya untuk diam. Beliau hanya meringis, menampakkan giginya yang masih rapi karena pakai gigi palsu.
“Ada apa, Kek?” tanya Pak Gio lagi.
“Kakek ingin sekali menimang buyut, kapan kalian punya anak?” ucap kakek terdengar menggelitik.
“Gimana mau punya anak, Kek. Wong kita—“ jawabku terpotong saat Pak Gio tiba-tiba tersedak. Oh tidak, lebih tepatnya pura-pura. Hampir saja aku keceplosan.
“Pelan-pelan, Nak Gio,” ucap emak seraya menuang air putih ke dalam gelas, lalu memberikannya pada suamiku.
“Makasih, Mak,” katanya sambil meraih gelas itu dan meneguknya perlahan.
“Kamu tadi mau ngomong apa, Nak?” tanya kakek padaku.
“Emm ... maksud Salma, gimana kita mau langsung punya anak. Wong kita baru main sekali,” jawabku ngelantur. Modyaar! Kenapa aku jawab begitu ya? Entahlah, pasti gara-gara telur Pak Gio tadi pagi.
Kulihat kakek dan emak senyam-senyum penuh arti. Pasti pikiran mereka langsung ngeres, mesti disapu nih. Pakai ayat kursi!
Berbeda dengan wajah Pak Gio yang memerah, entah menahan amarah atau menahan kentut. Sungguh aku seperti anak kucing kejepit pintu. Tuh kan, kucing lagi? Lama-lama aku berubah jadi kucing yang doyan nyolong telur.
“Waah ... syukurlah kalau udah main. Bisa secepatnya jadi,” kata emak sambil terkekeh, “memangnya langsung bisa main, Neng?” lanjutnya.
Seketika aku dan Pak Gio terhenyak mendengar pertanyaan emak. Mata kami sama-sama melotot. Obrolan macam apa ini? Ingin kuteriak ... inginku menangis, tapi air mata sudah tiada lagi!
“Enggaklah, Mak. Pak Gio masih suka salah masuk.” Refleks aku menjawab pertanyaan konyol emak dengan jawaban yang sangat amazing!
Apanya coba yang salah masuk? Masuk ke mana? Astaghfirullah ... salah lagi, kan? Duh, ya Allah ... mulut ini suka blong kalau lagi kurang suntikan. Suntikan dana maksudnya.
Kini, giliran emak dan kakek yang terbelalak mendengar jawabanku. Pak Gio hanya memijit pelipisnya, mungkin dia sedang berpikir ke mana ia akan memasukkan telurnya. Supaya tidak digondol kucing lagi.
“Salah masuk ke mana, Sal?” tanya emak terdengar sungkan.
“Di kolong, Mak.”
“Kok di kolong? Kalian main apaan?”
“Main petak umpet,” jawabku sambil tersenyum geli. Kain lap yang sedari tadi anteng di meja, tiba-tiba mendarat di wajahku.
Pak Gio beranjak dari tempat duduknya, lalu pamit ke kamar tanpa mengajakku.
“Sana susul suamimu, mungkin dia mau ngajakin kamu petak umpet lagi,” bisik emak. Dasar emak sama anak, sama-sama sengklek dan enggak ada akhlak!
***
Saat aku masuk kamar, Pak Gio tengah duduk setengah tidur di atas ranjang sembari membaca buku. Ia sama sekali tak terusik oleh kehadiranku.
Tanpa berniat basa-basi, aku langsung naik di sisi kanannya. Mungkin Pak Gio sudah ikhlas seranjang denganku. Jangan-jangan benar kata emak, Pak Gio mau ngajakin petak umpet. Ngihaaaa
“Mau ngapain kamu?” tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Matanya masih fokus menatap buku yang dipegangnya.
Aku celingukan mencari sesuatu yang belum jelas wujudnya. “Ngomong sama siapa, Pak?” kataku sambil membetulkan posisi bantal.
“Sama setan! Memangnya di sini ada orang lain selain kita?” balasnya terdengar nyolot.
Aku terbahak mendengar leluconnya, bisa ngelawak juga kanebo kering. Jadi makin gemas akutu. Pak Gio memutar bola matanya malas, kemudian menutup bukunya cepat, ia terlihat kesal.
“Maaf, Pak. Habisnya Bapak ngomong sama saya, tapi matanya ke arah buku. Ya ... bukan salah saya dong nanya gitu.” Aku mencoba beralasan, rasa-rasanya kami tak akan pernah bisa akur. Ada saja yang membuat kami berdebat.
Jadi pengin makan telur!
“Enggak usah kebanyakan alasan, cepat turun! Gantian kamu yang tidur di sofa,” titahnya terdengar serius.
Aku menghela napas panjang. Baeqlah, Bambwang! Kali ini aku tak ingin berdebat denganmu, hayati lelah.
Namun, baru saja akan turun, aku dikejutkan dengan munculnya binatang bernama kecoak. Binatang yang paling aku benci! Setelah cicak dan katak. Sangat menjijikkan!
Sekonyong-konyong aku kembali naik ke atas ranjang sambil histeris. Mendengar aku berteriak menyebut kecoak, Pak Gio ikut histeris. Kami histeris berjamaah sambil loncat-loncat di atas ranjang.
Dan semprulnya, kecoak itu malah ikut naik ke atas bersama kami. Untung binatang menjijikkan itu tak ikut-ikutan histeris juga.
“Huwaaaaa ... gimana ini, Pak?”
“Lempar pakai bantal!”
“Udah! Tapi malah ngejar, Pak!”
“Bodoh sekali kamu!”
“Bapak yang cemen! Masa laki-laki takut kecoak!”
“Ah diam kamu!”
Di tengah situasi genting ini kami masih sempat meracau tak jelas. Sambil terus menghindari hewan kecil itu. Entah kenapa jadi banyak binatang datang ke kamar ini, apa mereka mau mengintipi kami? Tadi pagi kucing, sekarang kecoak, besok apa lagi? Dasar binatang enggak ada akhlak!
Kami masih histeris di atas ranjang, lompat sana lompat sini. Hingga akhirnya posisiku dibopong Pak Gio, saat kecoak itu akan merambat di kakiku.
Bersama itu pintu kamar terbuka, berdiri dua orang tua di sana—kakek dan emak. Tentu saja mereka terkesima melihat adegan kami, bak Romeo and Juliet.
Menyadari keberadaan mereka, seketika Pak Gio menurunkan tubuhku cepat. Untung jatuhnya masih di kasur, aman! Terlebih kalau jatuh di pelukannya, pasti lebih romantis.
“Eh, Kakek ... Emak, ada apa datang ke sini?” tanya Pak Gio salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya, bisa gatal benaran, bisa enggak.
“Justru kakek yang nanya, kalian kenapa teriak-teriak? Bikin kaget saja,” jawab kakek. Disusul gerakan manggut-manggut dari wanita di sebelahnya.
“Emm ... itu, Kek. Ta-tadi ada ... kecoak,” balas Pak Gio ragu-ragu. Kini, giliran aku yang manggut-manggut.
“Yaelah cuma kecoak doang teriaknya udah kayak kucing kawin!” jawab emak ikut menimpali.
Kucing lagi! Mending kucingnya kabur, tinggal kawinnya, eh!
Sekate-kate banget emak, masa anaknya disamain sama kucing kawin?
Kakek tersenyum kecil sambil geleng-geleng kepala. “Ya sudah lanjutkan lagi mainnya, tapi jangan kencang-kencang kalau teriak. Enggak enak sama tetangga,” jawab kakek sebelum akhirnya mereka pergi.
Aku dan Pak Gio saling melirik. Sama-sama bingung, kami seolah bertanya, ‘main apaan?’ Ada yang bisa jelaskan? Nanti saya kasih telur deh, sekilo. Komplit sama kreseknya!
Tiba-tiba pintu kembali terbuka. Muncul kepala emak di sana. “Jangan lupa kunci pintunya!” ucap emak lalu kembali menutup pintu.
Astaghfirullah ... untung emak sendiri. Kalau bukan sudah kutampol pakai duit segepok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...