Part 2. Nyasar

894 40 3
                                    


"Astaghfirullahal'adzim ...." Aku tersentak kaget melihat wajah pencopet asli berdiri di depanku saat membuka mata.

Pria tadi sudah tidak ada. Syukurlah, semoga saja aku tak akan pernah bertemu lagi dengannya. Hampir saja harga diriku tercabik-cabik olehnya. Memang siapa dia? Berani-beraninya mempermalukan diriku? Meskipun aku malu beneran.

"Mbak!"

"Apa?"

"Katanya mau traktir saya makan?" tanya pencopet itu. Ia memegang perutnya dan memasang wajah penuh harap.

Sepertinya itu alasan dia mencopet, kelaparan! Akan tetapi sesulit apa pun keadaan kita, tak seharusnya menghalalkan segala cara untuk bisa makan. Hanya orang-orang lemah, yang memiliki pikiran picik seperti itu. Dan aku tak akan pernah mengampuni seorang pencuri!

"Dih! Kata siapa?" tanyaku heran.

"Kata Mas-mas yang tadi."

"Ngarep! Masih bagus gak aku bawa ke kantor polisi, hih!" Aku mengibas rok panjang yang kukenakan. Lalu pergi meninggalkan pria berkumis itu.

***


Azan Maghrib berkumandang. Aku masih belum tahu harus ke mana mencari Bibi. Baterai ponselku lowbat, tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa. Semoga ada malaikat yang khilaf mau membantu gadis malang ini.

Aku pergi ke masjid untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Saat tidak ada yang bisa kumintai tolong, masih ada Allah yang siap mendengarkan semua permohonan.

Meski aku bukan wanita salihah, setidaknya aku wanita tulen. Apaan sih? Duh, ngelantur kan? Aku suka gitu orangnya, suka agak oleng kalau lagi stres. Maklum, kurang kasih sayang.

"Mbak, maaf lagi ngapain di sini?" tanya seorang bapak-bapak. Ia mengenakan kopiah hitam dan sarung kotak-kotak.

"Maaf juga, Pak. Bukannya saya nggak sopan, pan ini masjid, Pak. Bukan warteg, ya mau salat lah. Masa mau makan?" balasku sambil tersenyum manis. Biar si bapak klepek-klepek, lama-lama kejang deh.

"Iya, Mbak. Ini memang masjid, tapi ini tempat untuk makmum laki-laki, Mbak," jawabnya santai. Auto nyadar, benar! Kulihat beberapa makmum perempuan berkumpul di arah sana. Fix! Aku yang kejang-kejang.


Si bapak malah ikut melempar senyum. Pasti senyumnya sambil ngakak dalam hati. Namun, aku tak mau terlihat seperti orang memalukan.

"Oh iya, Pak. Saya tahu kok, saya ke sini itu, sebenarnya nyari suami. Beneran salat di masjid apa nggak, jadi saya mastiin aja. Ya udah, saya permisi dulu," jawabku asal. Tanpa menunggu jawabannya, bergegas meninggalkan bapak itu dan bergabung dengan makmum perempuan.

Sial! Kenapa aku bisa sampai salah masuk sih? Penyakit lain, kalau lagi stres suka lupa bedain. Mana terong mana tempe. Astaghfirullah ....

***

Selesai salat aku duduk termenung di depan masjid. Orang-orang satu per satu pulang, tinggallah aku seorang diri. Clingukan bagai anak kucing ditinggal induknya.


Namun, masih bisa kudengar suara laki-laki tengah berzikir di dalam masjid. Membuatku merasa tenang, artinya aku tak benar-benar sendiri.

Tak lama seorang Ustaz keluar. Laki-laki berwajah teduh itu seketika menyadari keberadaanku yang sendirian meratapi nasib.


Aku menghampirinya. "Assalamu'alaikum, Pak Ustaz."

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ...," jawabnya begitu fasih.

"Saya mau minta tolong, Pak."

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya laki-laki yang mengenakan sorban putih di lehernya.


"Emm ... nganu, Pak Ustaz. Saya lagi kesusahan."

"Innalilahi ... yang sabar ya, Mbak. Setiap kesulitan yang Allah berikan untuk hambanya Insya Allah ada hikmahnya, sebagai hamba yang beriman. Kita wajib bersabar dan meyakini semua ketentuan Allah. Iman itu ada dua bagian, sebagian dalam sabar dan sebagian di dalam syukur. Allah berfirman dalam surat Ibrahim Ayat 5 ; 'Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.' " ujar Pak Ustaz.


Ish! Dimintai tolong malah ceramah. Gimana sih? Auto panas dingin kan badanku.

"Hehe ... iya, Pak Ustaz. Insya Allah saya ngerti, cuman ... saya lagi nggaj minta Pak Ustaz buat siraman rohani, saya mau numpang ngecas ponsel. Baterainya lowbat, Pak Ustaz ...." Aku menunjukkan benda pipih dan charger di tanganku.


Terdengar helaan napas dari laki-laki di hadapanku. Ya Allah ... aku kena azab nggak, ya? Sudah bikin seorang Ustaz kesal gitu. Ampuni Baim, ya Allah ....

"Baru baterai ponsel lowbat udah bilang kesusahan, gimana kalau suaminya digondol pelakor," ujar Pak Ustaz begitu makjleb! Sekate-kate banget nih Ustaz, untung aku belum kawin.

"Pak Ustaz bisa tolong ulangi lagi omongan tadi, saya mau putar lagu Rossa. Biar kaya di sinetron ikan terbang," balasku kesal. Pak Ustaz hanya terkekeh. Sepertinya Pak Ustaz juga hafal lagu yang kumaksud.

"Bisa aja kamu, ya sudah sana masuk ... bilang sama Pak Rudi. Numpang ngecas gitu, saya permisi dulu."

"Maaf, Pak Ustaz. Pak Rudi itu siapa?"

"Marbot di sini dong, masa mantan suami Rossa?"

"Ish! Pak Ustaz bisa ngelawak juga, tapi mantan suami Rossa itu Yoyo, Pak," ucapku sambil terkekeh.

"Terserah kamulah, saya pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamitnya sambil berlalu.


"Waalaikumsalam."

Aku kembali masuk masjid, meminta izin sama marbot bernama Pak Rudi numpang nge-cas HP. Lumayan sambil istirahat.

Selang beberapa menit, aku mencoba menghubungi Bibi. Beberapa kali tak ada jawaban, tak lama terdengar suara Bibi di seberang.

"Halo, Salma? Kamu di mana? Dari tadi bibi cemas sama keadaan kamu, Nduk," ucap Bibi terdengar khawatir.

"Iya, Bi. Salma nyasar nih, ponsel Salma juga mati. Makanya nggak bisa hubungin Bibi."

"Ya sudah, sekarang kamu di mana? Biar bibi jemput."

"Salma di masjid, Bi. Dekat Hotel ADUHAI bintang lima."

"Ya sudah, bibi langsung
ke sana, ya? Kamu jangan ke mana-mana."

"Iya, Bi. Cepat, ya ... Salma lapar."

"Iya, Nduk. Bibi tutup dulu, Assalamu'alaikum ...."

"Waalaikumsalam."

Aku kembali duduk di depan masjid, memandangi langit malam di Jakarta. Kata orang Jakarta itu keras, Jakarta itu banyak orang berkuasa. Tempatnya orang kuat lagi tak berperasaan. Malu bertanya, sesat di jalan. Jiwa lemah, tak dapat bertahan.

Seperti lirik sebuah lagu dari Bang Iwan Fals. Yang kurang lebih berkata bahwa, kota ini menampar siapa saja saudaraku yang lemah. Lemah, yang ditunjuk dalam syair tersebut tidak hanya berarti kepada mereka yang miskin. Orang kaya pun ada yang lemah-lemah dalam pengertian tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau bertahan dari serangan orang yang lebih kuat dan berada di atasnya.

Selalu begitu, yang terlemah dihajar si lemah, sedangkan yang lemah, dihajar yang lebih kuat, yang lebih kuat, dihajar yang terkuat. Benarkah?

Namun, aku bertanya-tanya. Jika Jakarta sekeras itu, mengapa Jakarta begitu padat dan ramai? Menurutku, sekeras apa pun itu, tetap saja menarik bagi banyak orang untuk datang dan tinggal.


Seolah semua kisah yang menyeramkan, malah membuat masyarakat dari daerah lain berlomba-lomba ingin mencicipi kerasnya kehidupan. Seolah kerasnya tanah di ladang yang menanti untuk digemburkan kurang keras bagi kehidupan mereka. Sehingga, semua berlomba untuk datang dan menyesakki kota ini.

Entah kenapa ada kesedihan di hatiku saat ini. Padahal bulan menyapa dengan indah, bintang pun berkelap-kelip memanjakan mata.

Namun, aku tak mampu menyapa mereka. Ada rasa nyeri yang menyeruak, membuatku hanya bisa diam menatap gelap.

Aku teringat emak, belum izin jika sebenarnya aku pergi ke Jakarta. Tempat yang selalu menjadi dongeng menyeramkan untukku. Entah apa yang membuat emak begitu benci dengan Jakarta. Mungkinkah ia memiliki kisah kelam di sini?

Jangan-jangan hutang emak banyak di sini? Segala perabot dapur dibeli dengan kredit. Emak nggak bisa bayar, makanya kabur.
Gimana enggak, di kampung pun hobi kredit. Tak menutup kemungkinan kan? Dasar emak! Nggak takut kena azab, nanti dibikin judul cerita baru tau rasa!

JENAZAH TERTIMBUN PANCI, AKIBAT KREDIT NGGAK SANGGUP BAYAR.


Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang