Di kamar ini aku dan kakek menikmati obrolan yang tak ada ujungnya. Dari mulai pembicaraan yang serius sampai kami bersenda gurau, layaknya seorang cucu dan kakek.
Entah kenapa aku sangat klop dengan sifat kakek, hingga aku tak merasa canggung berada di dekatnya. Pun dengan dirinya yang welcome dengan sikapku. Yang mungkin orang bilang nyablak dan urakan. Namun, tak mengurangi kadar keimutan yang kumiliki. Apelo?
Perihal kakek sangat ingin menikahkan sang cucu dengan diriku yang jauh dari kata sempurna ini, karena beliau ingin sekali melihat Pak Gio menikah dan punya anak.
Mengingat usia kakek yang sudah cukup umur. Tak menampik di sisa hari tuanya ingin bisa melihat sang cucu memiliki keluarga dan kembali bermain-main dengan malaikat kecil di rumah ini. Pasalnya hanya Pak Gio satu-satunya yang ia miliki. Saudara-saudara kakek jauh, dan hampir tak saling bersua.
Sejatinya tak ada yang salah dari perasaan kakek. Tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya pada hal yang tidak baik. Meskipun kakek bukan orang tua Pak Gio, tapi beliaulah yang merawat dan mendidiknya sejak kecil.
Andai saja Pak Gio melihat ketulusan niat kakek, seharusnya ia bisa memahami perasaannya. Namun, kembali pada hati. Setiap ego seseorang tak bisa diatur semau kita. Mereka berhak menentukan apa yang diinginkannya.
Betul apa betul? Jemaah ... oh, jemaah .... Alhamdu ... lillah.
“Kakek istirahat, ya. Sudah malam, Salma juga mau beres-beres sebentar terus tidur,” ujarku pada pria yang wajahnya sudah dipenuhi keriput.
“Terimakasih, Salma. Malam ini kakek sangat senang bisa ngobrol banyak sama kamu, andai saja Gio mau menikah dengan kamu, tapi—“ ucapnya terhenti. Terdengar ia menghela napas berat, membuat hatiku sedikit teremas.
“Tenang, Kek. Ini hanya soal waktu, Pak Gio cuma sok jual mahal aja. Bukan Salma kalau nggak bisa bikin cucu Kakek itu klepek-klepek sama Salma,” jawabku asal. Berusaha menghibur kakek dan diri sendiri tentunya. Hiks.
Kakek Sanjaya tertawa kecil, membuatku sedikit lega. Semoga ia bisa sedikit terhibur. Aku menarik selimut, menutup tubuh ringkihnya. Lalu mematikan lampu dan kaluar meninggalkan kakek.
Aku berdiri di depan panggung pelaminan. Kursi panjang berwarna putih keemasan sudah menanti kedua mempelai. Hiasan bunga dan lampu kelap-kelip menambah kemewahan dekorasi yang kutaksir tentu tidaklah murah.
Aku tersenyum kecut. Merasa aneh bisa berada di sini. Siapa aku? Hingga tiba-tiba bertemu dangan Pak Gio dan kakek. Mengalami sederet masalah, sampai-sampai aku dan Pak Gio dipaksa menikah hanya karena digerebek warga. Lucu sekali rasanya.
Meski aku tak menolak jika sampai menjadi Nyonya di rumah ini. Bagai ketiban rezeki nomplok dan iseng-iseng berhadiah. Nggak tau kalau Pak Gio, mungkin baginya ini mimpi buruk.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Salma Aristia binti Luhut Pangaribuan Almarhum untuk diri saya dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas lima puluh gram dibayar tunai.”
“Sah!”
Suasana menjadi haru saat setelah Pak Gio mengucapkan Ijab Kabul disusul dengan kata ‘sah’ dari para wali dan saksi.
Tak menyangka jika kini, diriku sudah sah menjadi istri Pak Gio. Kurasa santet online yang kukirimkan padanya sangat ampuh! Ngoahahaa ....
Pria yang kini sudah menjadi suamiku berdiri gagah mengenakan beskap atau jas putih dipadu dengan kain jarik berwarna cokelat kehitaman untuk bawahan. Tak lupa belangkon berwarna hitam dan emas menghiasi kepalanya.
Nuansa adat Jawa modern menjadi pilihan kami. Aku memakai kebaya putih dengan bahan brokat. Ditambah riasan wajah dan juga tatanan sanggul khas jawa, menambah keanggunanku di hari spesial ini.
“Ayo, Salma. Salim sama suamimu,” ucap kakek membuyarkan lamunanku. Saking terpananya melihat Pak Gio, aku sampai melamun.
Aku mengangguk dan segera menyalami tangan Pak Gio takzim. Lalu memakaikan kalung bunga melati di leher suamiku, dilanjut dengan saling tukar cincin. Serangkaian momen sakral itu begitu membuatku terharu.
Tolong putarkan lagu pengantin baru!
Para tamu undangan turut berbahagia. Berbeda dengan perempuan di sudut sana. Ia berdiri sambil menangis memandangi raja dan ratu sehari yang sangat fenomenal ini. Siapa lagi kalau bukan Jessica—mantan kekasih Pak Gio. Auto nyanyi lagu Rossa. Rasain!
“Bapak kenapa berubah pikiran?” tanyaku di sela-sela menyalami para tamu dengan jarak jauh. Takut kena Covid-19.
Namun, aku dan Pak Gio tak berjarak. Karena kami telah terpapar virus cinta. Eaaak!
“Berubah pikiran apanya?” balas Pak Gio sejenak melirikku. Lalu kembali menghadap ke depan.
“Ya ... berubah pikiran mau nikah sama saya. Masa berubah jadi siluman.” Aku menyenggol lengan Pak Gio malu-malu.
“Nggak tahu, tiba-tiba pas saya lihat petai di meja makan, langsung pengin nikah sama kamu,” jelasnya sambil terkekeh.
Busyeeet! Kenapa jadi sengklek juga nih orang? Baeqlah, kami jadi serasi. Bagai kopi dengan gula. Meski jadi manis, tapi tak mengurangi rasa kepahitan dari kopi itu sendiri. Aseeek ....
“Jangan-jangan kamu guna-guna saya lewat petai, ya?” tanya Pak Gio setengah menuduh.
“Iya, Pak. Saya memang guna-guna-in Bapak, tapi nggak pakai petai kok.”
“Pakai apa?”
“Pakai surat Al-Ikhlas.”
“Kok bisa?”
“Bisalah, supaya kamu ikhlas menikahiku, eaaak!” Refleks aku menabok lengan Pak Gio. Membuatnya meringis kesakitan.
“Duduk yuk? Capek nih berdiri terus, udah kayak patung pancoran tau nggak,” keluh Pak Gio. Seketika aku setuju.
Namun, baru saja kami duduk tiba-tiba, kursi beserta panggung pelaminan ini ambruk.
“Bangun Salma! Ngapain kamu tidur di situ?” ucap seseorang menyadarkan aku.
Pinggangku terasa sakit, seperti habis jatuh dari masa lalu yang kelam. Kamvret! Jadi barusan aku mimpi? Duh, padahal bahagianya beneran. Malah tinggal sakitnya doang yang nyata. Ambyar!
“Salma!” teriak Pak Gio lagi.
“I-iya, Pak. Maaf, saya ketiduran,” jawabku seraya bangun dari mimpi dan rasa sakit akibat terjatuh. Baru ingat semalam aku ketiduran di kursi panjang ini, sampai mimpinya warbiazaah!
“Ya udah cepat sana siapin sarapan, saya mau ke kantor,” titahnya. Sekonyong-konyong aku melesat ke arah dapur.
Tak lama aku selesai menyiapkan sarapan untuk Pak Gio. Bergegas memanggilnya, supaya segera menyantap hidangan yang telah tersaji.
“Apa ini Salma?” tanya pria yang menggunakan kemeja merah dengan dasi berwarna navy blue.
“Yaa ... itu sarapan untuk Bapak.”
“Emangnya saya kambing makan beginian?” protesnya. Ia menunjukkan jarinya ke arah meja yang berisi beberapa menu yang kusiapkan.
Sepiring timun mentah, kacang panjang, sawi hijau dan wortel. Kupikir pemakan tumbuhan nggak akan sulit makan begituan.
“Maaf, Pak. Saya kesiangan, jadi bingung mau masak apa. Ya sudah aku siapakan apa aja yang ada di kulkas. Lagian Bapak, kan, herbivora. Eh salah, vegetarian bukan?” balasku santai.
“Astaga ... nggak gini juga Salma!” ucapnya terdengar gemas, ia seperti ingin menelanku bulat-bulat, “ya sudahlah, saya langsung berangkat kantor saja. Seleraku sudah hilang!” ucapnya sambil berlalu.
Salah lagi! Apa salah dan dosaku Sayang .... untung semalem cuma mimpi, kalau enggak, sudah aku kasih jatah dia. Biar nggak marah-marah terus. Hih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...