Kepingan hati Salma

512 43 3
                                    

Sepanjang malam Saga menemaniku, mana mungkin dia bisa menolak permintaan perempuan se-unyu diriku. Ngoahahaha

Hadirnya pria sengklek itu sedikit menghibur hati. Memang benar, setiap yang pergi akan ada yang datang. Setiap yang terluka pasti ada obatnya, dan setiap yang sengklek pasti ada jodohnya.

Apa sih? Duh ... Ya Allah, kenapa aku nggak pernah bisa menghadapi kesedihan dengan sebenar-benarnya sedih? Tetap saja kesengklekanku tak pernah memudar. Apa mungkin aku terlalu banyak bercanda, makanya hidupku jadi lawakan?

"Apa kamu terlalu betah di dekatku, sampai-sampai nggak mau pulang?" celetuk Saga saat kami tengah sarapan pagi. Masih di kafe semalam, di lantai dua beberapa pengunjung juga mulai memadati seisi tempat ini.

Pancake dan Coffe latte menjadi menu sarapan kami. Makanan yang kutahu adalah roti bakar di hadapanku telah berpindah ke dalam perut. Patah hati sangat membuatku lapar, andai saja ada lima piring pancake-pancake apa lah itu ... pasti juga habis kumakan. Bila perlu sekalian sama piring-piringnya. Bagai kuda lumping kesurupan.

Mendengar celetukan pria itu, cukup membuatku kaget. Aku yang tengah menyeruput cangkir berisi kopi, terpaksa kusembur ke arah wajahnya. Beberapa pengunjung tampak kebingungan, bahkan ada yang bisik-bisik. Mungkin dikira aku ini dukun yang sedang nyembur pasiennya.

"Eh, maaf-maaf ...." Dengan cepat aku mengelap wajah Saga dengan tisu. Anehnya, laki-laki itu hanya cengar-cengir seperti habis menang lotre.

"Kamu seneng aku sembur?" Seketika ia mengangguk, "tau gitu mending aku siram sekalian!" Aku membuang tisu ke wajahnya. Lagi-lagi ia hanya tertawa, membuatku semakin geli dan salah tingkah. Malu!

Setelah makan aku pulang diantar Saga. Sebetulnya bingung dengan pria nggak jelas itu. Apa dia tidak punya keluarga atau pekerjaan? Perasaan di selalu berkeliaran di setiap waktu. Jangan-jangan dia keturunan demit juga kayak Pak Gio.

***

Tiba di depan vila. Aku turun dari motor Saga sambil menatap getir bangunan itu. Semakin sesak dan menambah pilu, dari sanalah impian dan harapanku dimulai. Namun, saat cinta mulai terlukis indah. Justru kekecewaan datang merusaknya.

"Apa mau aku antar juga sampai ke dalam?" ucap Saga membuyarkan lamunanku.

"Nggak perlu, Ga. Kamu tunggu di sini, ya ... aku ... cuma mau ambil pakaian dan pasporku aja," jawabku ragu-ragu.

Pria itu mengaitkan alisnya, seolah bingung dengan apa yang barusan kukatakan. "Paspor? Kamu mau balik ke Jakarta?"

Aku mengangguk pelan, lalu bergegas masuk. Menyudahi percakapan di antara kami, tak ingin Saga terus bertanya tentang hal itu. Perih!

Namun, belum sempat masuk ke dalam vila. Aku mendengar percakapan seseorang, yang tak lain adalah Nia dan Pak Gio.

"Nia tolong jelaskan sama aku, apa yang sudah terjadi? Anak yang kamu kandung itu bukan anakku, 'kan?" tanya Pak Gio terdengar geram. Membuatku penasaran, jantung ini berdebar kencang demi mendengar jawaban dari Nia.

Ada sedikit pengharapan, jika Nia akan mengatakan 'bukan'. Namun, lagi-lagi hanya sebuah harapan. Takut semua itu semakin menghancurkan hati.

"Ya ampun Gio, kamu itu pura-pura lupa atau pura-pura bego sih? Kamu ingat kan malam itu? Ini itu anak kamu!" jawab wanita itu tegas.

Seketika hati ini kembali remuk untuk ke sekian kalinya. Air mataku mengalir deras, merasakan sakit yang luar biasa.

"Nggak mungkin!" Pak Gio masih tak percaya dengan jawaban Nia. Mengapa, Pak? Apa kau terlalu naif untuk mengakui kelakuan bejatmu?

"Kamu pikir aku wanita murahan yang bisa tidur dengan laki-laki lain begitu, Gi?" Kali ini Nia begitu kesal. Tentu saja, siapa pun wanitanya. Ia tak akan rela dituduh melakukan hal yang akan merendahkan harga diri seorang wanita. Meski itu tidak secara langsung.

Entahlah, aku tak tahu siapa yang harus kupercaya, kepala ini terasa mau pecah saja mendengar percakapan mereka.

Perlahan kaki ini mundur, niat mengambil pakaian dan paspor kuurungkan. Biarlah nanti dipikirkan lagi, toh masih ada Saga yang akan membantuku.

Namun, baru saja dua langkah. Tak sengaja tangan ini menyenggol vas bunga yang ada di atas meja hingga terjatuh dan pecah berserakan di lantai. Karena kejadian itu Pak Gio dan Nia keluar, mereka terkejut mendapati diriku.

"Salma ... kamu dari mana aja? Saya nyariin kami dari semlam." Pak Gio menghampiriku. Memasang wajah seolah khawatir dengan keadaanku.

Tanpa berniat menjawabnya, aku masuk menuju kamar melewati dua manusia nggak ada akhlak seperti mereka. Bisa kudengar langkah Pak Gio mengekoriku.

"Salma kamu mau ke mana?" tanya Pak Gio saat aku tengah memberesi pakaian ke dalam koper. Sementara aku tak ingin menjawab pertanyaan pria menyebalkan itu. Menatapnya saja rasanya sangat muak.

Setelah semua yang diperlukan sudah kudapat. Bergegas aku keluar dan enyah dari tempat ini. Pak Gio masih berusaha menghentikan langkah kaki ini, ia seolah tak ingin aku pergi.

Sejujurnya hati ini senang, merasa berarti dan dibutuhkan baginya. Namun, kekecewaan terlanjur memporak-porandakan hatiku. Teramat sulit untuk memberinya sebuah maaf.

"Salma tunggu!" Suara Pak Gio meninggi, sontak mata ini menatapnya. Entah mengapa saat netra kami bertemu, semua rasa yang telah menyelimuti hati seolah perlahan mengikis. Aku bisa merasakan ada banyak sekali yang ingin ia utarakan padaku. Ada keseriusan di bola matanya yang kecoklatan.

Aku melepas genggaman Pak Gio, yang berada di pergelangan tanganku. "Maaf," ucapnya lirih.

"Kamu mau ke mana, Sal?" Pak Gio berdiri di depanku. Seperti tak ada lagi kecanggungan saat berada di dekat istri pura-puranya ini.

"Saya mau pulang, Pak," jawabku tanpa basa-basi.

Rasanya aku tak perlu lagi bersikap tak enak, aku bukan perempuan bodoh dan diperbudak oleh cinta. Siapa tahu Pak Gio bersikap demikian hanya untuk membuatku tersanjung, lalu dengan mudah memaafkannya. Memangnya hati ini warung kopi? Yang bisa kapan saja kau singgahi dan ditinggal pergi sesuka hati.

"Oke, kita pulang sekarang."

"Nggak perlu, saya bisa pulang sendiri." Dengan tegas aku menolaknya.

"Sok kecantikan! Sudahlah, Gi. Nggak perlu lagi kamu bersandiwara, mending kita jalani kehidupan kita yang nyata-nyata aja," sahut Nia sambil melipat kedua tangannya. Kata-kata dan gayanya itu sungguh membuatku semakin muak.

Rupanya perempuan itu benar-benar sudah berani menunjukkan taringnya. Merasa menang hanya karena dia sedang mengandung. Dasar wanita tidak punya malu!

Andai saja dia punya sedikit rasa malu dan merasa berdosa. Tentu ia tak akan merendahkan dirinya hanya untuk mendapatkan hak dan status dari suami wanita lain. Meski kutahu tak akan mudah menjadi orang tua tunggal, siapa pun wanitanya. Tentu akan memperjuangkan hak anaknya.

Tanpa berniat menanggapi ucapan siluman ulat bulu itu, aku melenggang pergi. Tak kuhiraukan lagi dua orang di belakang sana, samar-samar terdengar jika Nia berusaha menghentikan Pak Gio yang mungkin ingin mengejarku. Ah kenapa hati ini? Mengapa sakit sekali rasanya.

Saga dengan cepat menyalakan mesin motornya saat aku sudah kembali, ia bagai tukang ojek yang siap mengantar pelanggannya ke mana pun.

Maaf, Ga. Aku sudah membawamu ke dalam masalahku.

Perlahan motor Saga melaju dengan kecepatan tinggi. Hingga vila yang kutempati bersama Pak Gio dengan cepat hilang dari pandanganku. Ya, meski ragaku telah jauh meninggalkan tempat berkesan itu. Mata ini terasa berat untuk tidak memandangnya, mungkin ini terakhir kali aku ada di sini.

Beberapa menit berlalu. Lamunanku buyar saat Saga menghentikan motornya di depan sebuah apartemen mewah. "Kita ngapain ke sini?" tanyaku heran sembari turun. Terik matahari membuat mataku menyipit.

"Mau ambil pakaian jugalah," jawabnya santai sambil melepas helm full face yang bertengger di kepalanya.

"Hah? Ngapain ngambil pakaian?"

"Mau ikut kamu balik ke Jakarta," balasnya lagi. Kemudian berlalu meninggalkan aku yang berdiri mematung, antara takut salah dengar dan tak percaya dengan ucapan pria absurd itu.

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang