Dinginnya angin malam tak ada tandingannya, dan dinginnya AC tak cukup membuat tubuh ini adem. Namun, dinginnya sikapmu mampu membekukan hati, kulit, hingga daging dan menusuk tulang. Aku tak sanggup!
“Mau ke mana kamu? Bawa-bawa bantal segala,” tanya Pak Gio saat aku berniat keluar dari kamar membawa bantal.
“Oh ini, buat teman ngobrol, Pak. Lumayan, daripada ngomong sendiri. Nanti dikira gendeng lagi,” jawabku santai.
“Emang udah gendeng,” balasnya lirih. Namun, masih bisa kudengar ucapannya tadi.
Mending aku gendeng, daripada situ waras tapi enggak peka sama perempuan! Lihat saja, bakal habis digulai sama emak-emak LovRinz biar tahu rasa!
“Bapak ngomong sesuatu?” ucapku pura-pura tak mendengar.
“Hah? Enggak kok, ya sudah sana ngobrol. Jangan lupa, ajak tuh bantal ghibah. Biar kayak emak-emak LovRinz!” katanya sambil meletakkan ponsel yang sedari tadi ia mainkan.
Ebusyeet! Sejak kapan Pak Gio bergaul dan hafal kelakuan emak-emak LovRinz?
“Siap, Bos. Enggak usah disuruh, kalau soal ghibah perempuan jagonya. Apalagi soal duit!” jawabku kesal. Dasar, kanebo kering!
Tanpa menunggu jawabannya, aku keluar dan merebahkan diri di sofa depan televisi. Mending aku tidur di sini, daripada tidur di kamar, tapi pisah ranjang. Hiks.
Aku mencari channel berlogo ikan terbang. Sinetron terfavorit di sepanjang waktu, dari mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi.
Aku mulai menikmati kisah yang disuguhkan dengan judul—Suamiku Ternyata Seorang Laki-laki. Ish! Ngeselin banget judulnya. Kenapa bukan, ‘Suamiku Ternyata Kanebo Kering.’ Eh aku dong?
Di tengah-tengah asyik menikmati konflik yang mulai memanas, aku sedikit terganggu dengan kehadiran Pak Gio yang sedari tadi mondar-mandir lalu buka tutup laci dan lemari. Seperti sedang mencari sesuatu.
“Duh ... Pak Gio cari apa sih? Pusing tahu lihatnya. Kalau mau cari hatiku ya di sini, Pak,” celetukku sambil menunjuk ke arah dada. Pak Gio memutar bola matanya malas.
“Cari apaan sih?” tanyaku lagi.
“Em, cari ... ponsel. Ya, cari ponsel. Kamu lihat enggak?”
Aku mengernyitkan dahi. “Pak Gio sehat?” ucapku sambil menempelkan punggung tangan di keningnya.
“Apaan sih?” Pak Gio menyingkirkan tangan ini cepat.
“Itu yang Bapak pegang apa? Tempe?” Aku menunjukkan benda pipih yang tengah dipegangnya. Seketika wajah Pak Gio memerah.
“Efek sumuk jadi lupa. Kalau gitu saya mau tidur di sini aja, sana kamu yang tidur di kamar,” pintanya. Kesambet setan apaan nih orang, tiba-tiba baik begitu? Memang ada ya, amnesia yang disebabkan karena sumuk?
“Heh! Udah minggir sana, malah bengong,” seru Pak Gio membuyarkan lamunanku.
“Kalau sumuk tinggal nyalain AC, Pak.”
“AC-nya mati! Sudah sana enggak usah bawel!” Belum sempat aku menjawab, Pak Gio mendorongku sampai ke kamar dan segera menutup pintu.
Baiklah, Bambwang! Memang tugasku untuk selalu mematuhi perintah majikan rasa suami. “Eh tapi, tadi Pak Gio bilang di kamar sumuk dan Ac-nya mati. Ini dingin kok, aneh!” Aku berbicara sendiri.
Omegod! Aku mencium bau-bau modus. Jangan-jangan Pak Gio itu sebenarnya tidak tega kalau aku tidur di luar, tapi dia gengsi. Sepertinya ada rasa yang mulai meledek pikirannya. Eciyeee
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...