12. Sandiwara ketiga

359 22 1
                                    

Bagai es campur, kini campur aduk jadi satu. Antara bahagia, bingung, lucu dan aneh. Jadinya mules.

Entahlah, aku bingung harus mengekspresikan perasaan ini seperti apa. Yang jelas diri ini tak bisa menolak rezeki tak terduga ini. Mubazir!

Cinderella saja bisa berdansa dengan pangerannya hanya sebelum jam 12 malam. Sedangkan aku, berlaku seumur hidup gaes. Kayak E-KTP.

“Salma,” panggil seseorang terdengar jauh. Aku mencari sumber suara, yang ternyata berasal dari bawah tangga. Siapa lagi kalau bukan memedi ganteng—Pak Gio.

Ia melambaikan tangan, seakan memberi isyarat agar aku mendekat. Aku yang tadinya sudah di depan kamar kakek, tak jadi mengantarkan makanannya. Kutaruh nampan berisi makanan lengkap dengan minum dan obat kakek di atas meja.

“Ada apa, Pak?” tanyaku pada pria itu saat sudah di hadapannya. Bukannya menjawab Pak Gio menarik tangan ini buru-buru. Ia menyeretku hingga ke samping rumah, yang terdapat taman dan kolam renang besar.

“Duh, Pak. Jangan ditarik-tarik gini dong, emang saya kambing? Nggak usah ditarik juga saya rela ngikutin Bapak ke mana pun kok.” Aku menggerutu manja padanya.

“Diam! Saya mau bikin kesepakatan sama kamu,” jawabnya terdengar berbisik. Seperti takut ada orang lain yang mendengar percakapan kami.

“Kesepakatan apa?”

“Begini, saya tahu Kakek sedang bersandiwara cuma buat menikahkan saya sama kamu. Makanya saya mau menuruti kemauannya karena suatu alasan yang enggak bisa kutolak.” Ucapannya sontak membuat aku terbelalak.

Mati aku! Sandiwara apa yang dimaksud Pak Gio? Apa sebenarnya Pak Gio tahu jika kakek hanya pura-pura sakit supaya dia mau menikah dengan aku? Omegod!

Aku menelan ludah yang tiba-tiba terasa kering. “Emm ... sandiwara apa, ya, maksud Bapak?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Jadi, entah kenapa saya yakin kalau Kakek itu cuma pura-pura sakit demi untuk menikahkan kita,” jelasnya. Pak Gio menarik kursi kayu dan menghempaskan pantatnya dengan cepat.

Bukan entah lagi dodol. Memang iya! Duh, bagaimana ini? Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya, atau diam dan pura-pura tidak tahu. Aku memilin ujung kaos yang kukenakan, bagai anak kecil yang takut ketahuan sudah mencuri uang bapaknya

“Ah, itu cuma perasaan Bapak saja, enggak boleh suuzon sama orang tua, Pak. Dosa!”

“Apa pun itu, saya tetap enggak mau nikah sama kamu Salma. Kita enggak selevel,” ungkapnya tegas. Sungguh teganya dirimu, Pak. Biasanya ngomong enggak enak itu di belakang, ini enggak ada perasaan banget ngomong depan orangnya. Seketika hati ini terpotek-potek. Hiks!

“Ya ... gimana dong? Justru saya yang dirugikan di sini, jadi kambing guling,” balasku sok-sokan jadi korban.

“Kambing hitam maksudnya?” tanya Pak Gio terlihat mengernyitkan dahi.

“Kambing hitam guling-guling, eh. Tau ah, terus maksudnya Bapak mau bikin kesepakatan apa sama saya?” tanyaku mengalihkan.

“Gini, saya mau kita nikahnya pura-pura.”

“Nikah pura-pura?” Refleks aku mengulang ucapan Pak Gio dengan keras.

Ya ampun! Kenyataan pahit apa lagi ini? Beban seakan bertambah berat, aku harus mengetahui akal busuk kedua kubu. Dasar, kakek sama cucu sama-sama enggak ada akhlak!

“Jangan keras-keras Salma!” bisik Pak Gio dengan menutup mulutku cepat.

Kini, tubuh kami saling menempel hampir tak berjarak. Ia memelukku dari belakang sambil membekap mulut ini. Entah kenapa jantungku berdebar-debar tak karuan, ada desiran aneh di dalam sana.

Oh ya ampun, perasaan apa ini? Mengapa tubuhku terasa panas dingin dan kaku. Semoga saja dia tak mendengar suara detak jantungku yang semakin kencang.

“Dengar Salma, saya bakal kasih apa yang kamu mau. Asal kamu sepakat kita pura-pura nikah,” bisik Pak Gio lagi.

Dengan cepat aku melepas dekapan hangat dari Pak Gio. Enggak kuat, lama-lama tubuhku bisa krispi terus-terusan berada dalam pelukannya.

“Saya enggak mau, Pak. Dosa, nikah kok buat main-main. Kasihan kakek,” tolakku dengan tegas. Meskipun aku bersedia menikah dengan Pak Gio, bukan berarti aku menghalalkan segala cara. Kecuali kepepet, beda lagi urusannya.

“Ini juga demi kebaikan Kakek Salma, saya cuma enggak mau kesehatan Kakek drop lagi. Ayolah, please ... kali ini saja saya minta tolong sama kamu.” Pak Gio memohon padaku. Aku bisa melihat ada keseriusan di wajah tampannya.

Sejenak aku berpikir, sungguh ini kenyataan yang sulit. Namun, akhirnya aku ‘yes’. “Oke, Pak. Saya mau, tapi dengan satu syarat.” Tanpa pikir panjang aku menodong sebuah syarat untuknya.

“Apa?”

“Arti pura-pura maksud Bapak itu, kita menikah tapi tidak memberikan hak dan kewajiban layaknya seorang pasangan suami istri bukan?” tanyaku memastikan. Seketika ia mengangguk pasti. Bagus!

Awalnya pura-pura, tapi akan kupastikan kepura-puraan itu menjadi awal pernikahan kita yang sakinah mawadah warahmah. Eaaakk!

“Syaratnya adalah, Bapak harus mengakui saya sebagai istri di mana pun Bapak berada saat kita bersama-sama. Itu saja cukup, gimana? Deal?”

Pak Gio tampak bingung, ia menggaruk kepalanya yang mungkin gatal karena banyak dosa. Berani-beraninya mengajak perempuan seperti Salma untuk bersandiwara. Jangan harap Anda bisa memperdayaku Kisanak! Justru Anda yang tak bisa berkutik saat Salma mulai mengeluarkan jurusnya. Ngoahahaa....

“Gimana, Pak? Deal or no deal?” ucapku memastikan sembari mengulurkan tangan ini.

“Oke, deal!”

***

Aku mematut diri di depan cermin. Memandang wajah ayuku dengan riasan khas pengantin, masih tak menyangka hari ini akan menjadi hal bersejarah dalam hidupku.

Gadis ndeso yang tak pernah merasakan manisnya dipuja seorang lelaki, yang tak pernah merasakan kisah kasih dengan seorang lelaki mana pun.

Kini, sederet masalah membuatku terjebak dengan sebuah pernikahan tanpa saling mencinta. Bahkan, aku bingung menjelaskan apa itu cinta. Entahlah, aku tak mengerti scenario apa yang telah Tuhan gariskan untukku.

Biarlah Tuhan juga yang akan menuntun dan menunjukkan baik atau tidaknya semua keputusan ini.

Suasana dan busana yang kami kenakan, persis seperti yang ada di mimpiku kemarin. Kami berdiri saling berhadapan setelah Pak Gio berhasil mengucapkan ijab kabul atau sumpah pernikahan yang sangat sakral di hadapan Allah.

Semoga saja Pak Gio tahu itu. Artinya, ia benar-benar mengucapkan sumpah itu dengan ikhlas meski nanti praktiknya berbeda.

“Ayo Salma, salim sama suamimu,” pinta kakek. Pak Gio tanpa sungkan mengulurkan tangannya.

“Aw!” teriak Pak Gio saat aku mencubitnya keras. Ia terlihat meringis kesakitan. Sontak mereka yang hadir di acara ini terheran-heran melihat tingkahku.

“Sakit, ya, Pak?” tanyaku sambil cengengesan.

“Sakitlah! Kamu apa-apaan sih?” Pak Gio mengelus-elus bekas cubitan di tangannya.

“Berarti ini enggak mimpi, kan, Pak?” Aku memastikan. Takut ternyata mimpi lagi. Seketika semua yang hadir tertawa, membuatku merasa malu.

“Kelihatan banget suka mimpi nikah sama pangeran tuh!”

“Jomlo ngebet nikah jadi gitu.”

“Ciyee jadi Nyonya Gio gara-gara digerebek.”

“Menang banyak tuh cewek!”

Apelo? Masalah buat Anda?

Aku bisa mendengar bisikan-bisikan setan di antara para tamu di belakang, di atas, samping kanan dan kiri. Untung suasana hati lagi bahagia, kalau tidak sudah kumakan kalian semua.

Lihat saja, setelah jadi Nyonya Gio. Akan kubeli mulut mereka, biar enggak seenaknya nyinyir orang.

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang