Aku menelusuri bangunan tinggi nan megah ini. Meski tak tahu ke mana akan mencari Saga. Celingukan, bagai anak ayam yang kehilangan induknya.
Berdiri di depan lift, tiba-tiba laki-laki tengil itu muncul di sana. Ia mengenakan tas punggung yang cukup besar.
Ebusyeet, kenapa dia yang rempong? Sudah kayak mau pergi camping, pakai acara bawa tas segitu gedenya lagi.
"Maaf, Bung. Mau ke mana ya? Kok bawa tas begituan?" Aku menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kok keren? Saga dengan santainya keluar dari mesin berbentuk kubus itu. Lalu menyugar rambutnya yang sedikit gondrong, kemudian membetulkan switer yang ia kenakan.
"Ya mau ikut kamu ke Jakarta lah, masa mau kampanye," jawabnya enteng. Seperti tak ada yang membebani hatinya, bahkan ia tampak antusias melakukan keinginannya.
"Serius?" tanyaku memastikan.
"Sepuluh rius! Kamu pikir aku cowok apaan yang tega membiarkan cewek pulang sendiri dari Bali ke Jakarta."
Nyes! Lagi-lagi Saga berhasil membuatku terpana dengan celetukannya. Meski terdengar bercanda, entah kenapa aku merasakan ketulusan dari setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Dengan cepat ia meraih tangan ini dan menarikku kembali ke tempat di mana motornya terparkir. Tanpa membuang waktu, kami pergi ke bandara. Dan aku hanya menurut saja dengan semua permintaan pria yang baru beberapa hari kukenal.
Aku merasa aneh dengan semua yang terjadi padaku. Di satu sisi Tuhan mengirimkan makhluk bernama Gio, laki-laki yang kini telah mendapat tempat di hatiku. Meski kutahu sifat dan sikapnya yang sangat bertolak belakang denganku. Akan tetapi hati terlanjur mencinta, terlanjur berharap jika dia-lah pria yang menjadi cinta terakhir dalam hidupku.
Namun, di sisi lain. Saga hadir membawa warna-warni yang indah saat aku tengah dilanda gundah. Ia mengenalkan cinta dengan cara sederhana di saat aku hampa oleh cinta yang tak kunjung mendapatkan haknya. Andai saja aku lebih dulu mengenal Saga, mungkin aku akan melabuhkan hati ini padanya.
***
Tiba di bandara. Saga menitipkan motor miliknya, lalu menggandengku masuk menyusuri tempat ini. Ada desiran halus saat tangan Saga menggenggam erat tangan ini. Salah satu sudut bibir ini sontak tertarik melihat adegan itu. Lalu pandanganku beralih menatap Saga dari sisi kanan yang tengah fokus mengahadap ke depan.
Suasana di tempat ini begitu ramai, ribuan orang berlalu lalang. Datang dan pergi terus bergulir. Suara Announcer atau pengisi suara--yang bekerja mengumumkan berbagai informasi terkait penerbangan, menambah keriuhan di tempat ini.
Aku dan Saga duduk menunggu jadwal keberangkatan pesawat yang akan mengantar kami ke tempat tujuan. Entah bagaimana kita bisa langsung mendapat tiket, pria itu dengan mudahnya mengatur segala keperluan perjalanan kami. Bodo amat lah! Yang terpenting adalah, aku bisa cepat pulang.
"Boleh aku tanya sesuatu?" Aku memecah kebisuan di antara kami. Sontak pria itu menoleh, lalu membetulkan posisi duduknya menghadap padaku. Praktis, membuatku risih dan gugup.
Omegod! Ini cowok makannya apaan sih? Nggak ada jaim-jaimnya sedikit pun. Hatiku kan jadi cenat-cenut, kayak lagu Smash.
"Hei ... kenapa malah bengong? Oh ... pasti kamu gerogi ya dekat-dekat aku?" ungkapnya begitu super sekali!
Aku semakin geli melihat ekspresinya yang 'iiieuh beud dah!' Terlebih saat alisnya naik-turun, lalu mata kirinya berkedip nakal. Fix! Dia jelmaan buaya darat cacingan. Hih!
"Nggak jadi!"
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa, tiba-tiba otakku langsung kosong liat muka kamu!"
Sontak ia terbahak. Apanya yang lucu coba? Hih! Jadi pengin lihat isi kepalanya. Jangan-jangan isinya bukan polo, tapi isi sosis.
"Itu artinya mukaku sudah mengalihkan pikiranmu, sampai-sampai kosong begitu. Untung nggak sampai amnesia. Aku siapa? Apa kamu suamiku?" cerocosnya begitu menggelikan. Dan anehnya, dalam hati ingin tertawa melihat tingkah pria tengil itu. Dasar Sagu!
"Jadi nanya nggak nih?" tanyanya dengan nada menawar. Seolah sesuatu yang ada dalam dirinya tengah dilelang.
"Nggak!"
"Yakin?" Aku mengangguk pasti.
"Emang mau nanya apa sih? Oh, jangan-jangan kamu mau nanya perasaanku sama kamu, ya?" ungkapnya lagi semakin membuat telingaku sakit.
Aku memutar bola mata malas. Bisa-bisa kepalaku beneran kosong, saking ngeblank-nya ngadepin makhluk aneh sepertinya.
Cukup lama kami bercakap, tingkah konyolnya semakin menjadi. Membuatku tak bisa menahan tawa, benar-benar sangat menghibur.
Di tengah percakapan kami, tibalah jadwal keberangkatan pesawat kami diumumkan. Dengan cepat kami mulai mengantri untuk menaiki pesawat.
Perlahan aku masuk dan duduk di kursi kelas ekonomi Y 013. Aku duduk di ujung dekat jendela pesawat dan segera memakai sabuk pengaman.
"Salma," panggil seseorang saat aku sudah tak sabar menunggu pesawat ini segera lepas landas.
Aku sedikit terkejut melihat siapa yang memanggil namaku barusan. "Pak Gio," ucapku lirih. Kedua mata ini masih terpaku menatap sosoknya di sana.
Kemudian sosok Nia ternyata juga ada di belakang Pak Gio. Praktis aku membuang muka. Kenapa mereka mengikutiku terus? Menyebalkan!
"Ayo, Gi, kita duduk di sana." Aku mendengar Nia mengajak Pak Gio untuk duduk entah di mana. Pergilah! Aku tak ingin melihat kalian, bikin sakit mata. Terlebih hati ini, perih!
"Maaf, bisa kita tukeran tempat duduk?" Praktis aku menoleh ke sumber suara. Kulihat Pak Gio mengajak bicara Saga.
"Sorry, nggak bisa, Bro. Sesuatu yang sudah dibuang dan bakal dimiliki orang lain, nggak bisa diambil lagi," jawab Saga tegas. Dalam hati aku tertawa geli.
Apaan banget coba? Nggak jelas! Emang aku barang rongsokan, dibuang? Berarti dia mungut rongsokan dong? Omegod!
"Apaan sih? Cuma tukeran tempat duduk doang, cepet minggir!" pinta Pak Gio sambil menarik lengan Saga. Namun, pria di sampingku ini tak mau kalah.
"Udah deh, Gi. Ngapain sih pakai acara tukeran tempat, kan ada aku. Ayoo!" sahut si ulat bulu seraya menarik tangan Pak Gio. Alhasil pria itu menurut.
Tanpa sengaja mataku dan mata Pak Gio bersirobok, meski hati ingin menolak. Namun, tatapan ini seakan bertemu magnet. Merekat dan saling menyatu. Ada kegelisahan di bola matanya. Pun dengan hatiku yang semakin perih kala mata kami bertemu. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada takdir kami.
Takdir memang seperti ini, sangat menarik. Semula kau ingin berkelana ke utara, tapi dia malah membuatmu terbang ke selatan, bahkan berpindah dengan sukarela.
Bahkan takdir itu lucu. Ada saja caranya mempertemukan dua orang yang tak punya urusan dengan cara yang seolah kebetulan. Pun sebaliknya, setelah urusan itu menjadi sangat penting oleh hati yang meminta digenggam. Justru kekecewaan merampas dan melepaskan segalanya.
Tak terasa mataku terasa panas, bersiap memuntahkan buliran bening yang kini sudah di pelupuk. Dengan cepat aku menghentikan pertemuan netra yang menjalarkan rasa sakit hingga ke hati. Nyeri.
"Kau baik-baik saja?" Saga bertanya, seolah dia sangat tahu bagaimana hatiku. Aku hanya menggeleng dan tersenyum padanya, seketika ia membalas senyumku.
Sepanjang perjalanan hati dan pikiranku tak menentu. Rasa mabuk yang biasa kurasakan saat di pesawat, seakan hilang. Aku bahkan tak merasa takut, seperti saat pertama kali menaiki transportasi udara ini.
Bagaimana Pak Gio? Apa dia juga tengah galau seperti yang tengah kurasakan? Atau justru dia sangat bahagia, sebentar lagi sandiwara kita akan segera berakhir. Dan secepatnya memberitahu Kakek tentang kehamilan Nia. Ah kenapa aku tak bisa tenang? Bukankah aku ingin cepat pulang dan mengakhiri segalanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...