Part 1 . Awal Pertemuan

2.4K 49 2
                                    


Bau busuk tiba-tiba menyeruak di indra penciuman. Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahku sambil menutup hidung. Aku yang merasa berdosa, kali ini berusaha seperti tak terjadi sesuatu.

Di belakang terdengar saling tuduh. Kurasa kentutku lebih ganas dari virus apa pun. Dapat menyebabkan fitnah dan gangguan pernapasan!

Sial! Pasti gara-gara tadi pagi makan sambal petai level 10 bikinan emak. Ke manapun aku pergi, pasti emak bawakan bekal sambal petai kesukanku. Alhasil perutku seperti diremas-remas, mulas! Terpaksa buang angin di dalam bus. Ampuni Baim ya Allah ....

Hari ini aku datang ke ibukota bermaksud menemui Bibi sekaligus menggantikan posisinya sebagai ART (Asisten Rumah Tangga). Tempo hari, adik dari ibuku itu mengabari, jika dirinya akan mengundurkan diri. Lantaran akan mengurus Paman yang tengah sakit keras.

Berhubung sedang menganggur, aku memutuskan untuk menggantikannya. Kecil kalau Cuma beres-beres rumah, sudah biasa!

"Mau ke mana, Neng?" Laki-laki berbadan ceking rambut gondrong menghampiriku.

"Maaf, Bang. Nama saya bukan Neneng," jawabku sedikit menarik bibir. Menampakkan deretan gigiku yang rapi tentunya.

Laki-laki itu mengernyitkan dahi, seolah tak mengerti apa yang kuucapkan. Kemudian tersenyum geli. "Saya bukan manggil Mbaknya Neneng, tapi Neng itu panggilan untuk perempuan," jelasnya.

Aku meringis sambil manggut-manggut. "Ooh ... saya mau ke Jakarta, Bang."

"Jakartanya mana?"

"Yaa ... Jakarta."

"Iya, Mbaknya mau ke Jakarta mana?" tanyanya lagi. Ini orang kepo banget, dibilang Jakarta masih nanya aja. Hih!

"Situ pura-pura tuli apa gimana sih? Orang aku udah jawab ke Jakarta masih nanya aja!" rutukku pada laki-laki yang badannya bau asap rokok campur keringat.

Ia menghela napas berat, tampak kesal dengan menggaruk kepala sampai rambut gondrongnya awut-awutan.

"Ya sudah turun kalau begitu."

"Loh, kok ngusir? Anterin dululah, enak aja main nyuruh turun anak gadis orang," balasku tak terima. Beberapa penumpang terdengar kasak-kusuk.

"Lu jangan bikin gue kesel, gue cipok baru tau rasa!" ancamnya sungguh menjijikkan. Nggak pernah ngaca kayaknya nih makhluk.

"Hidih, amit-amit. Ya Allah, mimpi apa semalem, mau dicipok bekicot." Aku menepuk jidatku beberapa kali. Penumpang lain terbahak.

"Sialan nih cewek, ngatain gue bekicot!"

"Trus apaan kalau bukan bekicot?"

"Kodok!" Aku tak bisa menahan tawa. Pun dengan penumpang lain yang semakin riuh. Mungkin mereka pikir kita lagi ngelawak.

"Kalian mau saya turunkan di sini juga?" teriaknya pada penumpang lain. Seketika mereka diam.

"Mau ke Jakarta, kan?" Kali ini siluman bekicot itu bertanya padaku. Aku hanya mengangguk pasti.

"Ya udah turun, ini udah sampai Jakarta bawel!"


"Beneran?"

"Iya."

"Ngomong kek dari tadi," ucapku ketus sembari menenteng beberapa barang bawaanku, seketika turun dari bus jurusan Tegal-Jakarta.

Ya, aku anak blasteran-Semarang-Medan. Emak orang Semarang, Almarhum Bapak orang Medan, dan kami tinggal di Bandung. Lah trus kenapa jurusan busnya Tegal-Jakarta, Munah?


Sabar, Bambwang! Ini mau dijelasin. Sebenarnya aku mau ke Semarang jenguk Paman, tapi nyasar sampai Tegal. Belum sempat jenguk, aku telpon Bibi malah suruh ke Jakarta. Repot banget hidupku!

Hiruk pikuk jalanan kota Jakarta begitu ramai. Panas, berpolusi dan sangat macet! Aku melangkah tanpa tahu ke mana akan pergi. Benar juga kata kondektur bus tadi, aku akan pergi ke Jakarta bagian mana, ya? Duh tolol banget sih aku?

Aku menyeka keringat yang perlahan menetes ke area pipi. Gedung-gedung pencakar langit menjadi fokus penglihatanku. Sungguh takjub dengan pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Maklum, wong ndeso!

"Copeeet!" teriak seseorang di sampingku.

"Bilang copetnya jangan di kuping dong, Bu. Sakit nih!" rutuku pada wanita setengah baya.

"Lah gimana sih! Itu copet bawa kabur tas kamu loh, malah marah-marah sama saya!"

"Hah? Masa sih?" Benar saja, tas model sling bag atau slempang milikku tidak ada. Pasti aku lupa memakainya, tadi kutaruh di atas koper, "trus mana copetnya mana?"

"Cari sendiri!" Tanpa permisi ibu itu pergi sambil melengos.

"Yah, gimana dong ...," rengekku lirih. Bingung harus berbuat apa.


Kugunakan insting untuk mencari keberadaan copet itu. Dengan cepat berlari ke arah matahari terbenam.

Cukup jauh kaki ini berlari, dari kejauhan tampak seorang laki-laki mengenakan jaket berwarna hitam tengah memegang tas di tangannya. Seketika mata ini mengenali benda itu.

"Toloooong ... ada copeeet!" Tanpa pikir panjang aku meneriaki laki-laki itu sambil menunjuk ke arahnya. Sekonyong-konyong pria bertubuh tinggi kekar itu dikeroyok massa.

"Hei apa-apaan ini? Woi! Saya bukan copet!"

"Halah! Mana ada maling ngaku!"


Bug!

Di dalam kerumunan terdengar percakapan antar copet dan beberapa orang itu. Disusul dengan suara baku hantam yang cukup keras. Melihat itu aku tak tega dan berusaha menghentikannya, ngeri juga kalau copet itu sampai mati. Bisa-bisa aku yang disalahin lagi.

"Stop! Udah-udah, berhenti!" teriakku. Seketika mereka berhenti.

"Gimana sih, tadi nyuruh gebukin. Sekarang suruh berhenti," ucap salah seorang bapak-bapak.

"Saya nggak nyuruh nggebukin kok, kalian aja yang nafsu!" ucapku tak mau kalah. Lalu menghampiri pria yang sudah babak belur dikeroyok. Tak lama mereka bubar.

"Ganteng-ganteng kok nyopet!" sindirku pada pria bertubuh kekar itu sembari merebut tas milikku.

"Hei! Jaga bicaramu!" Jari telunjuknya mengarah ke wajahku. Tangan satunya memegang ujung bibirnya yang berdarah.

"Apa? Kamu pikir saya takut?" Aku berkacak pinggang, menantang pria di hadapanku.

"Asal kamu tau aja, justru ini tas saya yang nyelametin dari copet aslinya. Ngerti gak?"

"Oh, ya?" ucapku tak percaya. Pria berwajah tampan itu tampak kesal. Lalu datang dua orang laki-laki. Yang satu masih muda dan satunya lebih tua.

"Enaknya diapain nih copet, Bro?" tanya pemuda itu sambil menarik baju laki-laki yang lebih tua di sampingnya.

"Kasih tu cewek aja, serah kek mau diapain," jawabnya sinis menatapku. Mampus aku!

"Ja-jadi, bu-bukan kamu copetnya?" tanyaku tak enak hati.


Ia menarik satu sudut bibirnya, lalu melipat kedua tangan.

"Lu pikir muka gue ada tampang copet?

Aku meringis sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Rasa maluku kini lebih besar. Memang gak ada tampang copet sih, lebih cocok jadi suamiku.

"Kenapa diem?" ucapnya lagi.

"Maaf, Mas. Saya gak tau copet aslinya, pas liat Masnya bawa tas saya yaa ... saya pikir Masnya copet," sanggahku.

Tiba-tiba jantungku berdebar saat pria itu mendekat, tatapannya bernafsu. Bak singa buas yang akan menerkam mangsanya. Astaghfirullah ... mau ngapain coba?

Semakin aku mundur, ia semakin maju. Lebih dekat dan sangat dekat. Aku memejamkan mata, pasrah! Ampuni Baim, ya Allah ....


"Mulut kamu bau petai!" bisiknya.

Demi Tuhan, rasanya ini kayak saat jempol kaki nggak sengaja nabrak kaki kursi. Makcleng!


Aku semakin merapatkan kedua mata ini, sungguh tak ingin melihatnya lagi, malu! Andai aku punya kekuatan menghilang, sudah sedari tadi kugunakan.

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang