Dua puluh menit kemudian. Sebuah mobil cantik berwarna hitam berhenti tepat di depan masjid. Aku menunggui pemilik dari mobil itu turun, mungkinkah seorang pangeran yang Tuhan ciptakan untukku? Auto gigit baju. Antara deg-dengan dan otak yang menolak pikiran ini.
Mimpi jangan ketinggian woi!
Biarin aja sih! Omongan orang julid aja nggak pernah aku gubris, apalagi bisikan setan!
Namun, aku terperanjat saat ternyata Bibi keluar dari mobil itu. Beberapa kali mengucek mata, meyakinkan bahwa, apa yang aku lihat tidaklah salah.
"Salma!" teriak wanita berusia empat puluh tahun itu. Wajahnya sedikit berubah, lebih terawat dan masih terlihat muda. Berbeda saat beberapa tahun lalu kita bertemu, Bibi belum seperti ini.
Jadi ART saja bisa merubah penampilan dan naik mobil keren. Gimana kalau jadi model? Kupikir wajah cantik Bibi hanya karena pakai kamera Oppo. Suka lihat story-nya di WhatsApp. Ternyata benar! Ponselnya Oppo, tampak jelas benda pipih yang sedang digenggamnya.
Aku semakin semangat menggantikan posisinya sebentar lagi. Bibi yang sudah tua saja bisa kelihatan muda, apalagi aku. Pasti kembali jadi zygot.
"Salma," panggilnya lagi, seketika membuyarkan tatapan takjub di depanku.
"Ini beneran Bibi Ai?" tanyaku sambil menatapnya dari ujung rambut sampai kaki. Untung nepak!
Namanya Bibi Aisyah, tapi dia lebih suka dipanggil Ai. Biar keren katanya. Beliau adalah saudara emak yang paling dekat denganku, karena Cuma Bibi Ai satu-satunya adik emak.
Mereka dua bersaudara?
Bukan!
Terus?
Sembilan bersaudara. Namun, Cuma emak dan Bibi Ai yang masih hidup. Yang tujuh keguguran waktu masih di dalam kandungan. Kata nenek, sembilan kali hamil, Cuma dua yang lolos hidup. Beruntung aku bisa lahir dari rahim emak. Meskipun sengklek otaknya, tapi berkat dia aku bisa hidup. Tentunya atas izin Allah.
"Iyo, Salma. Iki bibi, kamu apa kabar? Masya Allah, ayune ... Nduk," ucapnya kagum. Aku meraih tangan dan menciumnya dengan takzim.
"Alhamdulillah baik, Bi. Bibi juga cantik, Salma kalah cantik malah," balasku tulus. Kali ini aku nggak bercanda gaes, tulus dari hati yang paling dalam. Sedalam sumur tetangga.
Memang aku kalah cantik dari Bibi, tapi tetap menang muda. Cantik bisa dipermak, tapi usia tak bisa dirubah. Ngoahahaaa ... apelu?
"Bisa aja kamu. Ya udah, yuk, kita pulang. Keburu malem, katanya kamu lapar," ajaknya. Seketika aku menurut. Kami masuk mobil dan melaju ke rumah majikan Bibi.
Sepanjang perjalanan kami mengobrol tanpa henti. Tak lupa berkenalan dengan Asep-supir majikan sekaligus teman kerja Bibi.
Keduanya bercerita tentang majikan mereka. Namanya Gio Sanjaya-pengusaha muda dan ahli waris dari sang kakek bernama Sanjaya. Kakek Sanjaya hanya memiliki satu orang putra. Namun, harus kehilangan sosoknya akibat kecelakaan bersama menantunya.
Alhasil Bos Gio menjadi anak yatim-piatu di usianya yang masih 1 tahun saat itu. Bersama kakeknya, Bos Gio hidup dan tumbuh menjadi seorang yang sangat dihormati.
Mendengar cerita mereka, pikiranku mulai kotor. Andai saja dia jodohku, aku akan sangat bahagia. Menjadi Nyonya Gio, pasti hidupku akan berkecukupan.
Mimpi jangan ketinggian woi!
Brisik! Heran, ternyata bukan Cuma manusia saja yang julid, setan pun bisa julid.
***
Tiba di depan rumah megah dan sangat indah. Bergegas turun dari mobil, netra ini tak berkedip. Gila! Ini sih bukan rumah, tapi istana. Apa aku sanggup membersihkan rumah sebesar ini?
"Salma, ayo masuk," ajak Bibi sambil menggandeng tanganku.
"Bi, ini nggak salah masuk?" Aku bertanya tanpa melepas pandangan ke seluruh tempat ini.
"Nggak salah masuk ggiman. "Kali aja Bibi salah masuk rumah. Ini bukan rumah keluarga A6, 'kan?"
"A6? Opo kui? Tipe HP?"
"Bukan! Itu loh, keluarga artis yang sering bikin drama sama keluarga KD."
"Oh, kecuali Raul Lemos?" Seketika kami terbahak. Ternyata Bibi hafal juga berita yang lagi viral, dari dulu memang kita selalu nyambung dalam segala hal.
"Udah jangan kebanyakan bercanda, Bibi kasih tau. Pokoknya kamu harus jaga sikap selama di sini, Bos bibi itu orangnya gak suka bercanda. Dia juga disiplin dan nggak suka dibantah," terang Bibi. Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
Auto penasaran dengan sosok Bos yang Bibi maksud. Sehoror itukah?
Aku dan Bi Ai masuk, tampak seorang laki-laki tengah duduk di depan TV sambil menelpon. Pembicaraan yang cukup serius membuat aku dan Bi Ai berdiri di belakangnya. Menunggui beliau selesai menelpon.
Tak lama ia mematikan teleponnya dan berbalik menghadap kami. Kedua bola mataku seakan melompat keluar saking terkejutnya melihat sosok laki-laki yang tadi sore kutemui, kini berada di hadapanku. Diakah Bos Gio yang Bibi maksud? Omegod!
Mulut kamu bau petai!
Suara itu kembali terngiang di telingaku. Mati aku! Kenapa bisa ketemu dia lagi sih?
"Apa kita pernah ketemu?" tanyanya penuh selidik. Aku hanya diam, merasakan hawa panas yang dihasilkan oleh rasa malu sepuluh kuadrat
"Anu, Mas Gio. Kenalkan, ini ponakan saya yang sebelumnya saya ceritakan. Salma namanya," ucap Bibi mengalihkan pembicaraan. Bibi menyenggol lenganku, seolah menyuruhku untuk memperkenalkan diri.
Perlahan mengangkat wajahku, berusaha menatap seorang Bos yang sudah dikeroyok massa karena ulahku.
Aku melempar senyum termanis, sembari berdoa. Semoga ia lupa dengan wajahku. Apalagi dengan bau petai yang keluar dari mulutku.
"Saya Salma, Pak."
"Ya, saya tahu."
"Kok bisa tahu, Pak? Bapak peramal, ya?"
"Jelas saya tahu, tadi Bibi kamu sudah menyebutkan namamu," jawabnya ketus. Wajahnya datar, kayak talenan.
"Oh iya. Hehe ... Bapak suka minum es, ya?" tanyaku hati-hati.
"Kenapa?"
"Pantes, di dekat Bapak aku kedinginan." Seketika kepala Pak Gio keluar tanduk. Tatapannya berubah tajam, setajam nyinyiran tetangga.
"Maafin Salma, ya, Mas. Dia itu suka asal kalo ngomong," celetuk Bibi sembari menyenggol lenganku untuk kedua kalinya.
"Kamu bisa masak?" tanya pria berbadan tegap itu.
"Bisa, Pak."
"Bagus! Saya lebih suka makanan yang dimasak sendiri. Jarang sekali makan di luar. Sebisa mungkin kamu harus menguasai semua makanan kesukaan saya. Belajarlah sama Bibi kamu," jelasnya terdengar serius. Aku hanya mengangguk pelan.
"Satu lagi, saya itu vegetarian," sambungnya.
"Apa? Ve-"
"Ve-ge-ta-ri-an!" ujar Pak Gio mengeja kata yang sama sekali tidak kupahami.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Artinya, saya gak makan daging."
"Oh, berarti bukan vegetarian, Pak. Herbivora," balasku sambil cekikikan.
"Maksudmu?" Ia tampak bingung. Terlihat mengernyitkan dahi.
"Herbivora itu pemakan tumbuhan, kalo pemakan daging namanya karnivora," jelasku menahan tawa. Bisa kulihat wajahnya yang sangat kesal.
"Terserah kamu! Yang penting bukan pemakan petai!" jawabnya sambil berlalu.
SEKAKMAT!
Auto nyanyi lagu afgan-Sadis!
Sial! Kupikir pria kaku bak kanebo kering itu sudah melupakan hal yang berhubungan dengan petai. Nyatanya dua kali mempermalukan aku!
Sakit!
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...