Terungkap

181 10 2
                                    

Setelah makan, Asep masih belum selesai mengganti ban mobilnya. Alhasil aku dan Pak Gio pergi ke taman sebentar, daripada bosan menunggu ban mobil yang enggak ada akhlak sama sekali. Majikan pulang, bukannya disambut malah kesambet.

Kami duduk di kursi panjang dekat kolam air mancur, memandangi keadaan sekitar. Suasana cukup ramai, banyak anak muda tengah berkumpul atau sekedar nongkrong dan berselfie ria.

Tak sedikit pasangan yang membawa anaknya, mereka bak keluarga harmonis. Meski family time mereka hanya bermain di taman, tak mengurangi kualitas waktu yang mereka ciptakan. Tampak membahagiakan.

Kulihat Pak Gio hanya sibuk pada ponselnya, ia tampak serius. Entah apa yang membuatnya begitu fokus, mungkinkah sedang berbalas chat dengan Nia? Hati ini kembali teremas mengingat perempuan itu. Perempuan yang kini posisinya mungkin akan lebih diuntungkan dengan kehadiran jabang bayi di dalam perutnya.

Meski kenyataan itu belum seratus persen benar. Namun, hati ini tetaplah terluka dan gelisah. Bagaimana jika semua itu benar? Haruskah semua rasaku pupus?

“Pak, boleh saya tanya sesuatu?” tanyaku. Seketika ia menoleh dan mengangguk.

“Silakan,” jawabnya. Ia mematikan benda pipih yang sedari tadi dipegangnya, lalu memasukkan itu ke dalam saku kemejanya.

“Bagaimana dengan bayi yang dikandung Nia? Benarkah dia anak Pak Gio?” Aku memberanikan diri bertanya demikian.

Cepat atau lambat semua harus segera diatasi. Hatiku butuh kepastian, memperjuangkan atau mundur.

Sejenak ia menatapku lekat, lalu menunduk. Seolah mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan itu. Tak lama ia kembali menatap mata ini.

“Jika semua itu benar, apa yang akan kamu lakukan, Sal?” jawabnya dengan nada bertanya.

Apa ini? Kenapa Pak Gio malah balik bertanya? Apa dia sebenarnya mengakui jika anak itu adalah anaknya?

“Pergi.” Dengan tegas aku menjawab pertanyaannya. Meski hati ini sungguh sakit. 

“Bagaimana jika saya tak mengizinkan kamu pergi?”

“Itu artinya Anda egois!” Aku beranjak dari sisinya. Berdiri membelakangi Pak Gio, berusaha menutupi gemuruh napas yang mulai tak beraturan. Sesak!

Tahan, Salma! Kamu harus kuat!

“Hati itu ibarat burung, Pak. Jika Anda tidak bisa menjaga dan merawatnya, biarkan ia terbang bebas mencari tempat lain,” sambungku.

“Saya akan melepasmu jika kamu yang mau, tapi bukan berarti saya akan melepaskan cintamu begitu saja,” jawabnya terdengar serius.

Tak terasa air mataku lolos, saat kelopak mata ini terpejam. Mendengar jawaban Pak Gio itu seperti meminum air susu bercampur racun. Tampak lezat dan nikmat, tetapi perlahan mematikan.

Cinta itu seperti teka teki yang tidak ada akhirnya. Terus mencoba memecahkannya meski sudah tahu bahwa, tidak akan ada jawaban untuk menyelesaikannya.

Pada akhirnya, toh kamu harus memilih. Ibarat petualangan, kamu bisa bertahan dan memperjuangkan atau menyerah dan mengakui kekalahan.

Aku mengelap pipi yang sudah basah oleh air mata. Kemudian mengatur napas agar tak kentara telah menangis, lalu berbalik menghadap pria yang sudah berdiri di sana dengan kedua tangannya berada di dalam saku celana.

“Lalu apa yang akan Pak Gio lakukan dengan mempertahankan dua orang wanita sekaligus?” tanyaku seraya mendekat. Aku menantangnya lewat pertanyaan itu.

Ia bergeming, matanya masih menatapku. Tak lama kedua tangannya berada di pundak ini. “Saya bukan orang yang mudah untuk mengucapkan janji, tapi saya tahu apa yang harus saya perbuat untuk mempertahankan orang yang sangat penting dalam hidup saya. Setidaknya beri saya waktu dan kesempatan untuk membuktikan itu semua,” ujarnya terdengar serius.

Ada rasa lega dan terenyuh mendengar ucapannya. Selama aku mengenal Pak Gio, ia adalah pria yang sangat serius dalam segala hal, termasuk prinsip hidup dan ucapannya. Kuyakin ia bisa memegang apa yang sudah ia ungkapkan.

Aku mengangguk pelan seraya tersenyum, seketika ia membalasnya. Hingga suara Asep berdeham membuat kami tersentak kaget. Tangan Pak Gio yang masih berada di pundakku, buru-buru ia lepaskan.

“Maaf, Mas. Ban mobilnya sudah beres,” ucapnya malu-malu. Mungkin laki-laki berambut klimis itu tak enak sudah mengganggu adegan romantis kami.

Hadeuh ... enggak sopir enggak mobilnya, semua enggak ada akhlak!

***

Setibanya di depan rumah, terlihat seorang laki-laki mengenakan seragam satpam membuka gerbang saat setelah Asep membunyikan klakson. Rupanya dia satpam baru—Pak Ahmad namanya.

“Itu, ‘kan, mobil Dokter Rey. Kenapa ada di sini? Apa Kakek sakit, Sep?” tanya Pak Gio pada supir pribadinya saat kami turun dari mobil.

“Tadi pagi belum kok, Mas,” jawabnya. Tanpa menjawab Pak Gio bergegas masuk, pria tampan itu terlihat khawatir dengan sang kakek. Aku pun segera menyusulnya.

Namun, aku terheran-heran saat melihat Pak Gio berdiri mematung di ambang pintu kamar kakek. Apa yang terjadi di dalam?

Tanpa membuang waktu aku langsung menghampirinya. Seketika terkejut mendapati pemandangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Tampak tubuh ringkih kakek terbaring setengah duduk. Bukan itu yang membuatku shock, tapi perempuan di sampingnya. Ia tengah menyuapi kakek begitu lembut.

“Nia ....” Lirih aku menyebut nama itu. Nama yang telah menjadi tembok besar dan penghalang untuk aku memiliki cinta Pak Gio seutuhnya.

Pak Gio menyadari keberadaanku, mungkin ia bisa mendengar ucapanku barusan. Ia menggenggam erat tangan ini, seketika mata kami beradu. Pak Gio mengisyaratkan padaku untuk tetap tenang. Aku pun mengangguk.

Saat ini, bukan saatnya untuk gegabah. Bukan saatnya melakukan sesuatu berdasarkan emosi dan logika, aku harus tenang dan bersabar. Bukan karena takut, hanya saja ada kakek yang harus dijaga perasaanya.

Kami masuk bersama-sama, hingga mereka—Kakek, Nia dan Dokter Rey menyadari keberadaan kami. Bisa kurasakan suasana di sini akan sangat menegangkan.

Entah kenapa aku merasa kakek menyimpan banyak hal yang sama sekali tidak bisa kupahami. Wajahnya lesu dan tatapannya dingin padaku. Ada apa? Perasaanku mendadak tak enak. Sepertinya sesuatu akan terjadi.

“Apa Kakek sakit?” tanya Pak Gio memecah keheningan di dalam ruangan ini. Ia mendekat ke arah sang kakek. Nia yang sedari tadi di samping kakek langsung beranjak dan berdiri di samping Dokter Rey.

Kakek terdiam, ia bahkan tak merespons atau bahkan menatap Pak Gio. Aku semakin yakin sesuatu telah terjadi di sini, ada yang mengganggu pikirannya.

Tanpa diminta, Dokter Rey dan Nia meninggalkan kamar. Kini, hanya ada aku, Pak Gio dan kakek. Aku masih berdiri memandangi dua pria itu.

“Kakek—“ Ucapan Pak Gio terhenti saat kakek mengangkat satu tangannya, seolah menyuruh Pak Gio untuk diam.

“Kakek sangat kecewa denganmu Gio,” ucap Kakek tanpa menoleh. Matanya masih memandang lurus entah ke mana.

Mendengar itu, kegelisahan hati semakin bertambah. Mungkinkah Kakek tahu sesuatu? Apa Nia memberitahu tentang kehamilannya pada kakek?

Sepertinya Pak Gio juga sepemikiran denganku. Wajahnya tampak pucat, terlihat menelan ludah kuat-kuat. Lalu matanya beralih menatapku.

“Kakek pikir kamu adalah laki-laki baik, ternyata kakek salah,” ucapnya lagi. Masih menerka-nerka apa yang sebenarnya akan kakek sampaikan pada cucunya itu.

“A-apa maksud Kakek?” Pak Gio berusaha memastikan penuturan sang kakek.

Seketika kakek menatapnya penuh tekanan. “Mengapa kamu bisa melakukan hal serendah itu dengan Nia sampai ia mengandung darah daging kamu Gio?” ungkapnya terdengar menyayat hati.

Tubuh ini seketika lemas, bersama luka hati yang semakin menganga. Bagai luka yang sengaja disiram air garam. Perih! Sungguh, ini lebih sakit daripada saat mengetahui semua itu sendiri.

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang