Kutatap lekat mata itu sampai ia tak mampu berkutik sedikit pun. Jangankan bergerak, bahkan ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Aku semakin yakin, jika perempuan itu sebetulnya tak mendapatkan tempat di hati Pak Gio. Hanya basecamp ternyaman untuk sekedar mencari sandaran. Tak jauh berbeda dengan pos kamling. Ngoahahahaa
“Makasih, Nia. Kalau gitu kita pergi dulu,” ujar pria di sampingku. Belum puas menuntaskan kekesalanku pada si ulat bulu itu, Pak Gio malah mengajakku pergi. Ia menarik tangan ini, meski mataku belum lepas menatapnya.
Padahal aku belum mencabuti bulu-bulunya yang bikin gatal. Kali ini dia selamat, tapi lain kali tidak akan kuampuni!
Sebelum pulang, kami menyempatkan diri mampir di sebuah restoran. Energiku habis setelah bertemu dengan siluman itu, alhasil cacing-cacing dalam perutku meminta jatah. Kami duduk di meja paling pojok di dekat jendela. Menikmati hidangan sekaligus lalu lalang kendaraan di luar.
“Pak, boleh saya tanya sesuatu?” tanyaku memulai kebisuan di antara kami. Pak Gio hanya mengangguk tanda ia mengizinkan.
“Apa Pak Gio menyukai Nia?” tanyaku hati-hati. Aku menggigit bibir bawah, sembari menunggu jawaban apa yang akan diucapkan olehnya.
Pak Gio tampak berpikir. Terdengar ia menghela napas, lalu menatapku. “Tentu saja, Nia sangat menarik dan cantik. Semua laki-laki pasti akan menyukainya,” balasnya santai. Ia melempar senyum sebentar, lalu kembali memakan kentang goreng di hadapannya.
Jawaban yang netral menurutku, belum disebut jawaban secara personal. Itu artinya Pak Gio menutupi sesuatu. Ia belum sepenuhnya menganggap Nia adalah bagian penting di hatinya.
“Apa Pak Gio akan menjawab hal yang sama jika yang saya tanyakan itu adalah saya?”
Seketika Pak Gio tersedak mendengar pertanyaanku. Kenapa? Apa saya terlalu lancang menanyakan itu?
Ia menyedot jus mangga miliknya. Kemudian menumpuk kedua tangannya di atas meja. “Apa yang kamu dapatkan dari jawaban saya? Untuk bersaing atau memuaskan hati?”
“Tinggal jawab kenapa sih? Giliran Nia aja langsung dijawab,” balasku kesal.
“Tak semua wanita terlihat menarik dari fisiknya,” jawab Pak Gio tanpa menatapku.
Krompyaaang!
Gelas-gelas kaca ... tunjukkan padaku. Siapa diriku ini ....
Sakit? Jangan ditanya. Sakitnya tuh persis kayak kondangan di acara pernikahan mantan. Giliran makan rendang, taunya lengkuas. Rasanya itu loh, enggak hati enggak mulut. Sama-sama ambyar!
Eh aku kan enggak punya mantan. Cuma punya kenangan bersama dia yang belum pernah tersampaikan mengucap kata sayang. Eaaak! Dan sekarang terulang lagi. Duh, kenapa nasibku jalan di tempat terus. Enggak pernah pacaran, sekalinya nikah sama kanebo kering.
Jadi nyesel nanya begituan. Tanpa berniat merespons, aku hanya menunduk. Mengacak-acak makanan di depanku.
“Dan enggak semua laki-laki tertarik dengan perempuan dari fisiknya, bisa dari hati dan perilakunya.” Seketika aku terkejut mendengar kelanjutan dari ucapan Pak Gio.
Lagi-lagi jawabannya ngambang. Bikin mumet!
“Pak, bisa enggak sih jawabnya itu yang to the points aja. Nggak usah bersayap gitu,” rutukku.
“Apa? Bersayap? Emang burung?”
“Bukan, semacam pengganjal, eh.” Refleks aku menutup mulut ini cepat. Apanya yang diganjal? Ban becak?
“Tau ah! Ribet ngomong sama kamu, bikin mules!” Pria itu bangkit dari tempat duduknya.
“Mau ke mana, Pak?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...