"Salma, kamu ngapain?" tanya Pak Gio saat dia masuk bersama perempuan gatel itu.
Aku tengah menangis di pojokan sambil memeras korden yang basah oleh air mata dan ingus. "Kayaknya ada yang benjol, Pak. Kepala saya ketimpa besi itu," jawabku sambil menunjuk besi yang sudah tergeletak di lantai.
Entah bagaimana aku bisa mencukil besi itu dari tempatnya. Pakai acara mendarat di kepala lagi. Untung nggak sampai amnesia.
"Kok bisa?" Pak Gio menghampiriku, "mana yang benjol?" imbuhnya.
"Di sini, Pak." Aku menunjukkan bagian yang benjol. Bukan di kepala, tapi bagian dada.
"Kok yang ketimpa kepala yang benjol di situ?" balasnya sedikit sungkan.
Aku meringis. "Yang benjol hati saya, Pak. Awas loh jangan ngeres," jawabku malu-malu. Padahal ngakak, si ulat bulu tampak kesal.
Rasain! Biar dia tahu bagaimana keromantisan kita. Orang sengklek emang gitu kalau romantis-romantisan.
"Kamu ini! Sudah sana, bikin minum dulu," titahnya.
"Buat siapa, Pak?" tanyaku pura-pura tak tahu.
"Buat Nia."
Aku melongok ke sisi kanan Pak Gio. "Oh iya ada orang, maaf enggak kelihatan. Kok kalian bisa bareng?"
"Iya, kebetulan ada proyek baru di sini. Mau enggak mau Nia nyusul," jawab Pak Gio. Disusul anggukan si ulat bulu tampak senang.
"Oh."
"Ya udah, kamu duduk gih. Aku siap-siap dulu," ucap Pak Gio pada perempuan di sampingnya. Seketika dijawab anggukan sebelum akhirnya Pak Gio pergi ke kamar.
Kini, tinggal kami berdua. Saling menatap satu sama lain, menyimpan sejuta rasa yang hanya kita saja yang tahu.
"Ehem ... by the way, kamu panggil suamimu, Pak? Bukannya kemarin kamu panggil Mas, ya?" celetuknya memecah keheningan di antara kami.
"Emang kenapa? Kan dia calon Bapak dari anak-anak saya nanti, wajarlah. Biar nanti terbiasa," balasku santai. Aku melipat kedua tangan ini, menyombongkan diri.
Ia tersenyum sinis. "Enggak usah terlalu berharap gitu deh, kamu pikir aku enggak tahu kalau kalian itu nikah pura-pura?"
Deg! Kok ulat bulu itu bisa tahu kalau pernikahanku sama Pak Gio hanya pura-pura? Mungkinkah Pak Gio bercerita padanya? Ah, kenapa tidak. Mereka sangat dekat. Tak menutup kemungkinan, jika Pak Gio menceritakan hal itu.
Namun, aku enggak boleh terlihat tak berdaya di depan pelakor sepertinya. Bisa-bisa dia besar kepala. "Heh, Munah! Kalau sekolah itu makanya sampai selesai, jangan cuma mampir doang sampai gerbang. Mana ada pernikahan pura-pura yang buku kawinnya itu asli dan tercatat secara agama dan negara?" balasku tak mau kalah.
"Justru Anda yang jangan kebanyakan berharap! Tahu enggak, sekarang lagi musim dekat lama ujung-ujungnya ditinggal nikah. Karena yang dekat itu kalah sama yang cepat," lanjutku. Ada rasa puas telah membuatnya bungkam. Si ulat bulu hanya menahan emosi, tampak wajahnya yang memerah dan bibirnya pletat-pletot kayak pantat ayam terkena balsam.
"Kita lihat saja nanti, siapa yang bisa merebut hati Gio. Aku atau kamu!" balasnya sambil melotot.
"Saya enggak takut sama pelakor abal-abal kayak kamu, cinta bisa tumbuh karena sebuah ikatan yang jelas. Bukan sekedar dekat, tapi tanpa kepastian," jawabku tegas.
Apelo? Ngoahahahaa
Salma dilawan! Aku sudah biasa adu mulut mah, kecil. Biasa ikut rapat panitia 17 Agustusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...