Siasat Nia

471 41 3
                                    

Aku harus menanyakan hal ini langsung dengan Sandy. Sebenarnya apa yang membuat ia berbohong mengenai ibunya. Mungkinkah Nia yang memaksa?

“Halo, Nak? Apa masih di sana?” ucapnya membuyarkan lamunanku.

“I-iya, Bu. Masih kok, ya sudah saya tutup dulu. Nanti saja saya telepon lagi, assalamu’alaikum,” pamitku.

“Baik kalau begitu, waalaikumsalam.”

***

Sudah pukul sembilan malam, tapi Pak Gio belum juga pulang. Ke mana dia? Kenapa lama sekali? Apa dia masih bersama Nia? Duh, kenapa hatiku gelisah begini?

Aku mondar-mandir seperti orang gila. Duduk di sofa, tiduran sambil lihatin cicak kawin, bikin ngiri! Dilanjut berdiri lalu jalan ke arah pintu mengintip ke luar. Kali ini aku tak mau mengintip di bawah jendela, trauma! Takut ketiban besi lagi.

Masih belum muncul. Aku kembali tiduran sembari mengutak-atik benda pipih yang sedari tadi kupegang. Lagi-lagi hanya berkutat di beberapa aplikasi. Buka Facebook, lanjut Instagram, Twitter dan Tik-tok. Padahal cuma scroll, enggak ada yang menarik untuk kunikmati, pikiran ini entah ke mana.

Kenapa enggak aku telepon saja untuk memastikan keberadaannya. Oh tidak, lebih tepatnya apa masih bersama si ulat bulu itu? Ya, bergegas aku mencari nomor Pak Gio dan meneleponnya.

Tersambung, akan tetapi panggilanku ditolak. Kenapa? Apa Pak Gio sedang sibuk? Beberapa kali kuulangi, tetap saja direject. Hatiku semakin tak tenang.

Aku menarik napas dalam-dalam, mengontrol kegelisahan yang sudah menjalar di seluruh tubuh. Terutama hati, ia mulai merasakan aura kegalauan. Seumur-umur baru pernah aku merasakan hal seperti ini. Menyiksa!

Jari ini iseng mengintip story di WhatsApp, mataku tertuju pada satu nama—Kanebo Kering. Kuklik stori-nya, seketika mata ini membulat sempurna demi apa yang terpampang di layar ponselku. Sebuah foto dua tangan yang saling menggenggam. Sangat jelas, jika itu tangan seorang pria dan wanita. Apakah itu tangan Pak Gio dan Nia?

‘Genggam tanganku dan jangan pernah kau katakan, ‘aku menyerah’, tapi bisikanlah ‘aku akan tetap bersamamu’.’ Begitu bunyi caption yang tertulis di sana.

Aku memejamkan mata yang terasa perih bersamaan dengan hati yang bergemuruh menahan sesak. Mengapa Pak Gio bisa membuat stori seperti itu? Apa itu suatu pertanda, jika dia memilih Nia?

Haruskah aku menyerah? Menyerah untuk sesuatu yang belum pernah kuperjuangkan, bahkan aku belum pernah mengungkapkan perasaan ini. Perasaan yang entah sejak kapan bersemayam di benakku.

Suara mesin mobil dari luar bisa kudengar. Sepertinya Pak Gio sudah pulang. Tanpa ingin mengecek dan menyambutnya, aku pergi ke kamar bermaksud tidur. Malas sekali rasanya.

Kurebahkan tubuh ini di atas sofa. Lalu memaksa agar mata terpejam, meskipun aku belum mengantuk. Lalu terdengar langkah kaki memasuki kamar.

“Salma ...,” panggilnya. Aku tak berniat membuka mata.

Namun, bisa kurasakan suara napasnya berada di dekatku. Benar saja, tak lama tangan Pak Gio mengelus lembut kepalaku dan menutupi tubuh ini dengan selimut. Omegod! Tolong cium aku, Pak. Biar aku tahu kalau ini bukan mimpi.

Sebenarnya apa yang pria kaku itu rasakan padaku? Susah sekali ditebak. Tadi sok-sokan bikin story pegangan tangan sama Nia. Pulang-pulang perhatian gitu. Apa dia hanya ingin membuatku cemburu? Ah entahlah.

Pak Gio cuma baik dan perhatian saat dia mengira aku tak menyadarinya. Apa aku pura-pura cuek saja supaya dia perhatian terus? Menyebalkan!

***

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang