16. Honeymoon

534 25 1
                                    

Lama-lama aku bisa khilaf lihat tingkah emak. Benar-benar langka dan perlu dilestarikan. Bila perlu dimusiumkan. Mirip-mirip sama kutu rambut, yang hampir punah populasinya.

Tak seperti zaman dulu, hampir setiap kepala memiliki ternak kutu. Saat pekerjaan rumah sudah beres, sudah dipastikan di depan rumah balapan cari kutu. Alias PETAN.

Namun, biar kata emak kayak kutu. Aku tetap menyanyanginya, dialah manusia terhebat untukku. Wanita yang tak pernah mengenal kata lelah dan mengeluh. Perjuangannya membesarkan aku tanpa seorang suami di sampingnya, patut diacungi jempol.

Menjalani hidup sebagai seorang single parents adalah hal yang cukup sulit tentunya. Kuyakin tak semua wanita sanggup dan bisa setangguh emak. Dialah wanita perkasaku.

“Salma!” teriak emak membuyarkan lamunanku. Seketika aku menutup telinga yang terasa pengang.

“Apa sih, Mak? Sakit nih ....” Aku memonyongkan bibir seksi ini karena kesal.

“Ya abisnya lu diajakin ngomong malah bengong,” balasnya sambil menoyor kepalaku.

“Orang Salma denger, Mak.”

“Apaan coba?” tanyanya memastikan. Aku hanya meringis sambil menggaruk kepala yang tak gatal, karena memang tak tahu lagi apa yang emak katakan.

“Emak mau pulang aja, Neng,” ucapnya terlihat sedih.

“Alhamdulillah ....” Aku mengangkat kedua tangan, lalu mengusap penuh hikmat ke wajahku.

“Jadi lu seneng emak pulang? Bener-bener nih anak!” balas emak sewot.

“Eh, bukan gitu, Mak. Maksud Salma, Alhamdulillah kalau Emak pulang. Kan jadi nggak sedih lagi, nggak ingat-ingat tragedi Bapak nyolong petai,” jawabku asal.

“Halah, alasan aja lu kertas nasi!”

“Kalau Salma kertas nasi, berarti Emak karet gelangnya.”

“Buat ngikat yak? Biar saling melengkapi gitu,” balas emak girang.

“Kagak, buat nyelepet cicak.” Tanpa menunggu reaksinya, aku bergegas kabur dari hadapan wanita langka itu. Bisa-bisa aku dikutuk jadi Natasha Wilona.

***

Hari itu juga emak bersikeras pulang ke kampung. Aku dilema, antara sedih kembali jauh dari emak dan lega karena bisa dengan tenang menghadapi sandiwara cinta yang penuh dengan konflik batin ini.

Biar aku saja yang tekanan batin, emak jangan! Karena beliau sudah cukup tertekan dengan tragedi ngidam itu. Sungguh miris hidup anak dan juga emaknya. Hiks.

“Emak pulang, ya, Neng. Kamu baik-baik sama suami, jaga kesehatan dan jaga hubungan. Apalagi jaga mata, jangan suka jelalatan lihat orang cakep. Kecuali kalau kepepet,” pamitnya sambil menyisipkan pesan moral yang sangat ‘uwwu’.

“Iya, Mak. Tenang aja, bila perlu Salma jaga lilin sekalian biar tambah kaya raya,” balasku sambil tersenyum yang dipaksakan. Seketika kami terbahak.

Apa kabar Pak Gio? Jangan ditanya! Mana mungkin pria kaku itu ikut ketawa, bisa-bisa seisi terminal ini pada kejang lihat Pak Gio ketawa. Pria yang mengenakan kacamata hitam itu akan tertawa hanya saat melihatku tersiksa sampai ngompol. Anda puas?

“Nak Gio, titip Salma, ya? Bimbing anak emak satu-satunya ini, agar kembali ke jalan yang lurus,” ucap emak pada menantunya itu. Terdengar serius, akan tetapi sangat menohok! Membuatku hanya bisa tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan dari bawah.

Apa-apaan emakku ini? Bisa-bisanya ngomongin soal jalan yang lurus. Sendirinya aja masih doyan belok. Omegod! Sabar Salma ... ingat dosa.

“Iya, Mak, pasti. Emak hati-hati di jalan ya, jaga kesehatan juga,” jawab Pak Gio begitu lembut. Aku bisa merasakan ketulusan di sana.

Masya Allah, aku berasa jadi istrii shalihah yang punya suami shalih. Adem banget dengar ucapan Pak Gio. Andai saja dia bisa lembut sama aku, akan kuhormati dan kucintai sepenuh jiwa dan raga. Merdeka!

Setelah cipika-cipiki dan mengantar emak masuk bus, aku dan Pak Gio langsung pulang. Hening! Hanya itu yang bisa kurasakan selama perjalanan.

Tiba-tiba isi surat dari perempuan bernama Nia cukup menggangguku. Entah kenapa aku tak bisa melupakan hal itu, rasa penasaran begitu membuncah di hatiku. Ingin sekali menanyakan perasaan Pak Gio pada perempuan itu jika ia melihat isi suratnya.

Aih! Ada apa denganku? Kenapa jadi mikirin itu terus? Hih, bodo amatlah. Amat aja nggak pinter. Aku menutup wajah sambil geleng-geleng kepala, berusaha melupakan hal itu.

“Kamu kenapa sih? Dari tadi geleng-geleng kepala?” ucap Pak Gio memecah keheningan.

“Enggak apa-apa,” jawabku singkat. Bahkan aku tak menoleh ke arahnya. Sekali-kali mau jual mahal, siapa tahu laris manis.

“Dasar cewek aneh!” umpatnya masih fokus menyetir. Kali ini aku sedikit melirik ke arahnya.

“Masih mending aneh, daripada Bapak. Kaku kayak kanebo kering!” balasku tak mau kalah.

“Hei! Berani kamu sama saya?”

“Berani! Mau dari atas apa dari bawah?” Aku menantangnya, tak gentar meski lawan tak sebanding. Justru sangat cocok diajak petak umpet.

“Apanya?” Seketika wajahnya berubah kaget dan bingung.

“Menurut Pak Gio?” Aku menaik-turunkan alis, menunggu reaksi dan jawaban pria di sampingku.

Ya, kini aku bisa selangkah lebih maju duduk di dalam mobil berdampingan dengannya. Meski alasan Pak Gio bukan karena aku sudah menjadi istrinya, tapi karena tak mau dibilang supir pribadiku.

Iyain saja, asal dia bahagia.

“Ah sudah-sudah, pusing ngomong sama makhluk kayak kamu!”

Mataku melotot menatapnya, sebelum akhirnya melengos. Beralih memandang ke arah luar.

***

Tiba di rumah, aku berjalan mendahuluinya. Namun, dicegat dengan cepat oleh Pak Gio. “Ada apa, Pak? Saya mau masuk, minggir,” ucapku sambil menyingkirkan tubuh kekarnya.

“Masuk bareng-barenglah, kamu mau Kakek sampai curiga?” bisiknya di telingaku. Hembusan napasnya terasa hangat dan cukup menggetarkan hati ini.

Seketika mata kami beradu. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan, ada sesuatu yang tak bisa dipahami. Sepersekian detik kami tersadar dari situasi itu. Tanpa berkata apa-apa, kami masuk rumah dengan beriringan.

“Wah, sudah pulang ternyata,” ucap kakek saat kami masuk. Pria yang selalu membawa tongkat itu seperti sengaja sedang menunggu kami.

“Iya, Kek. Ayo Salma antar Kakek ke kamar, minum obat terus istirahat,” sahutku sambil mendekat ke arahnya.

“Sudah kakek katakan, kakek tidak butuh obat lagi sekarang. Melihat kalian bersama saja kakek sudah senang, apalagi jika kalian cepat memiliki momongan,” balasnya begitu serius.

Aku dan Pak Gio saling melirik. Lalu kembali menatap kakek. “Kek, anak itu rezeki dari Allah. Kita enggak bisa memaksakan kehendak-Nya, yang perlu kita lakukan adalah berdoa. Kakek enggak perlu khawatir dan terburu-buru. Jika sudah waktunya, pasti Allah izinkan apa yang menjadi keinginan kita,” jawabku berusaha memberi pengertian padanya. Padahal hati ini merasa geli bisa melontarkan kata-kata seperti itu. Berasa jadi Ustazah.

Kakek tersenyum kecil, ia seolah mengerti dan merespon ucapanku dengan baik. “Enggak cuma berdoa saja, Nak. Harus diusahakan,” balasnya lagi.

Kali ini aku mengerutkan kening, menunggu maksud ucapan kakek. Aku mulai mencium bau-bau modus dari pria tukang sandiwara itu. Siap-siap, kadal bakal dikadalin lagi!

Kakek kembali tersenyum, kali ini lebih jelas disebut tertawa yang ditahan. Ada udang di balik bakwan nih! Gurih.

“Kakek punya tiket liburan ke Bali, kakek mau kalian pergi. Itung-itung honeymoon.”

Kan, udangnya mulai kelihatan! Udah tuwir aja masih hafal honeymoon segala. Dasar aki-aki! Eh tapi, enggak nolak sih. Siapa tahu kalau aku dan Pak Gio honeymoon, pulang-pulang bawa untung. Ngoahahaha

Daripada di sini, banyak yang ganggu. Drama kucing nyolong telurlah, ada kecoak enggak ada akhlak pula!

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang