Part 4. Ngidam

760 32 1
                                    

🎶Aisyah, romantisnya cintamu dengan Nabi

Dengan baginda kau pernah main lari-lari

Selalu bersama

Hingga ujung nyawa kau di samping Rasulullah

Aisyah, sungguh manis, oh, sirah kasih cintamu

Bukan persis novel mula benci jadi rindu

Kau istri tercinta, ya Aisyah Khumaira...🎶

Aku memutar lagu di ponselku yang judulnya Aisyah istri Rasulullah yang sempat viral dinyanyikan oleh pemain Fatih di Kampung Jawara.

"Sudah, to, Nduk. Jangan nangis terus ... udah kayak mau perpisahan sama pacar saja," ucap Bibi sambil mengelus pundakku.

"Dah gitu perpisahan masa lagunya Aisyah istri Rasulullah, sih?" ucapnya lagi. Seketika aku mendongak, sembari mengelap ingus.

"Lah, emang kenapa? Daripada lagu Lingsir wengi."

"Astaghfirullah ... dikira bibimu ini memedi apa?" Aku hanya terkekeh.

Pagi ini Bi Ai harus pulang, paman dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya mulai melemah, ia tak bisa berlama-lama di sini. Padahal aku belum tahu apa saja pekerjaan yang biasa ia lakukan setiap waktunya di sini. Namun, siap tidak siap aku harus bisa melakukan semuanya sendiri.

"Sudah siap, Bik?" Suara khas itu tiba-tiba muncul dari balik pintu. Dialah memedi sesungguhnya. Makhluk pemakan tumbuhan, alias herbivora.

Aku mengulum senyum seramah mungkin pada majikanku itu. Namun, ekspresi wajahnya tetap saja datar. Kalah sama Lee mineral, nggak ada manis-manisnya!

"Sudah, Mas," balas Bibi. Pak Gio akan pergi ke stasiun mengantar Bibi. Naik kereta akan lebih cepat sampai, dibandingkan naik bus. Hari ini Asep izin tidak masuk, anaknya sakit.

"Ya sudah, kita langsung jalan saja. Keburu siang." Bibi hanya mengangguk. Kemudian mulai mengangkut barang-barangnya ke dalam mobil.

"Pak, boleh nggak saya ikut ngantar Bibi?" tanyaku di sela-sela membantu Bibi mengangkut barangnya.

"Nggak usah! Saya mau langsung ke kantor," tolak laki-laki dingin itu.

"Yaah ... boleh dong, Pak. Saya kan harus mastiin Bibi bisa pulang dengan aman," rayuku sambil memasang wajah penuh harap. Bibi yang mendengar itu hanya diam saja.

Ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya setuju. Seketika aku kegirangan, persis saat mendapat THR di hari lebaran.

Kami membelah jalanan kota Jakarta yang sangat padat. Hampir semua penduduk Jakarta pergi bersamaan memulai aktivitas. Seperti bekerja, sekolah, maupun Cuma ngabisin bensin.

Suara klakson mobil saling bersahutan begitu ramai menghiasi perjalanan ini. Sementara aku, begitu menikmati.

Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke stasiun. Setelah mengantar Bibi sampai ke tempat kereta yang akan ditungganginya, ia menyuruh kami langsung pulang, karena kereta sebentar lagi akan berangkat. Aku dan Bibi cipika-cipiki dulu sebelum akhirnya berpisah. Ia menghilang di balik kendaraan panjang itu.

"Udah kan acara perpisahannya? Saya mau ke kantor, kamu pulang sendiri," celetuk Pak Gio terdengar sinis.

"Bapak kok kayak ibu tiri sih?"

"Kenapa?"

"Ada Bibi aja sok manis dan berwibawa, giliran Bibi saya udah pergi menelantarkan saya! Tega!"

"Apaan sih? Jangan kebanyakan drama, saya bersikap manis karena saya menghormati Bibimu. Jadi jangan harap saya bisa bersikap manis dengan perempuan pemakan petai kayak kamu!" Tanpa permisi ia berlalu meninggalkan gadis pemakan petai ini. Sungguh terlalu kau Roma!

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang