Kami sibuk menata hati yang terasa diubek-ubek. Sesekali saling menatap, tersenyum, tanpa melepas genggaman ini. Sungguh tak pernah terbayangkan, jika pria di sampingku itu akhirnya memiliki perasaan yang sama.
Sekaku apa pun hatinya, ia masih memiliki kelembutan. Sedingin apa pun lemari es, mesinnya pasti panas. Kalau nggak percaya, coba saja pegang. Buat jemur sepatu juga bisa.
Namun, tak dapat dipungkiri. Hati sebenarnya menolak rasa bahagia ini. Karena di luar sana ada seseorang yang menunggu kepastian dengan dalih mengandung benihnya.
Tiba-tiba aku teringat Saga, pria yang baru beberapa hari kukenal itulah yang sudah membuat Pak Gio menyadari perasaannya padaku. Pak Gio sempat memberitahu kenapa ia menyadari perasaannya dan bertekad menyusulku ke bandara.
‘Cepatlah susul istrimu ke bandara, jika tidak kamu akan kehilangan dia untuk selama-lamanya. Dan aku yang akan menggantikan posisimu.’
Begitu pesan yang dikirim ke ponsel Pak Gio.
Aku tersenyum tipis, antara geli sekaligus tersanjung dengan kelakuannya yang absurd. Namun, cukup membuat hatiku berbunga-bunga. Dasar Sagu!
Andai saja aku lebih dulu mengenalnya, mungkin aku lebih tertarik dengan Saga yang sifatnya lebih cocok denganku. Akan tetapi, cinta tak bisa memilih. Semua datang tanpa menyapa, bahkan tanpa disadari. Ia muncul seperti angin yang tak bisa dilihat. Namun, bisa dirasakan.
Sedang apa dia sekarang? Semoga saja dia tidak pergi ke laut untuk membuang sepatunya lagi. Aku kembali tersenyum mengingat itu.
“Hei, kamu kenapa senyam-senyum? Mikirin laki-laki gila itu, ya?” tebaknya begitu ‘uwwu’. Begitu mungkin kalau sudah kecanduan cinta Salma, yang dalam hati dan pikiran saja tahu. Gimana sama ‘dalam-dalam’ yang lain?
“Saga maksud Bapak?” jawabku santai.
“Bodo amat namanya siapa. Bener, kan, lagi mikirin dia?” tanyanya lagi. Aku gemas melihat wajahnya, tampak sekali jika pria itu cemburu pada Saga.
“Dikit,” balasku singkat. Sementara hati tengah tertawa puas. Rasain!
“Kamu suka sama dia?”
“Semua perempuan pasti suka sama dia. Udah cakep, baik lagi.”
Aku sengaja memuji Saga demi untuk membuatnya semakin cemburu. Aku ingat saat Pak Gio memuji si ulat bulu tanpa memikirkan perasaanku, sekarang giliran aku. Balas dendam sudah dimulai, Pak.
“Sudah diam, istri macam apa kamu. Lagi sama suami malah mikirin laki-laki lain,” rutuknya. Aku hampir tertawa, tapi dengan cepat kutahan. Bisa-bisa aku ditalak nanti.
“Jadi sekarang maunya, yang ada di otak saya cuma Pak Gio aja nih?” balasku sambil terkekeh. Seketika ia memutar bola matanya malas, tampak kesal dan menghembuskan napasnya kasar.
Pak Gio tak membalas apa pun lagi. Hanya memasang raut wajah yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kembali berubah wujud semula—menjadi kanebo kering!
Sepanjang perjalanan hingga sampai ke Jakarta tak ada obrolan apa pun. Apa dia marah? Ish, kayak anak perawan lagi datang bulan.
“Pak ... tungguin! Tega banget ninggalin perempuan bawa dua koper gini!” rutukku. Aku berjalan setengah berlari mengejar Pak Gio sambil membawa koper.
Pria itu menghentikan langkahnya tanpa menoleh, lalu mengambil satu koper miliknya dan kembali berjalan.
What? Gitu doang? Dasar aneh, sebentar baik sebentar cuek. Fix! Tadi itu Pak Gio benar-benar kesambet. Dan sekarang setannya sudah pergi, makanya kembali ke sikap aslinya. Tau gini, mending aku pulang sama Saga tadi. Astaghfirullah ... sabar Salma.
“Siang, Mas Gio ... Mbak Salma, senang sekali kita bisa ketemu lagi,” ucap Asep saat kita bertemu di halaman bandara yang sangat luas ini. Entah bagaimana dia bisa tahu hari ini kami pulang, mungkin Pak Gio sudah mengabarinya.
Terik matahari cukup membuatku kepanasan. Aku hanya mengangguk dan tersenyum seraya mengibas-ngibas tangan karena sumuk.
Sementara pria yang dipanggil Mas Gio itu tak membalas, hanya perintah untuk membawakan koper milikku dan miliknya. Lalu masuk mobil tanpa mengajakku.
***
Di tengah perjalanan tiba-tiba ban mobilnya bocor, terpaksa kami turun. Jalanan cukup ramai, banyak pedagang angkringan di tepi jalan. Ada gerobak nasi goreng, martabak, cilok, cireng, cimol de el el. Seketika perutku lapar.
“Pak, saya mau makan dulu. Lapar,” pamitku tanpa mengajaknya. Males!
“Hei, tunggu!” ucapnya saat aku baru melangkah.
“Kenapa? Bapak mau ikut?” tanyaku sambil berbalik menghadapnya.
“Tidak!” balasnya seraya menggeleng.
Omegod! Ada yang jomlo nggak? Angkut aja tuh orang.
“Lalu? Kenapa Bapak menghentikan saya?”
“Emang kamu punya duit buat bayar?” balasnya begitu menohok. Ia mengambil dompet di sakunya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan.
Seketika aku melongo. “Nih, saya cuma nggak mau kamu ngutang!” ujarnya seraya memberikan uang itu padaku. Aku meringis seraya mengambil uang itu dan berlalu pergi ke tempat penjual nasi goreng.
“Nasi goreng dua, Bang. Makan di sini,” ucapku saat sudah berdiri di belakang Abang nasi goreng itu.
“Buat siapa aja, Mbak?”
“Buat saya aja, kenapa?”
“Wah, cantik-cantik kok makannya banyak,” jawab pria yang wajahnya mirip artis Korea itu. Ya, kulitnya putih bersih, mata sipit kayak lubang kancing. Padahal cocok kalau jadi personil boyband, tapi sayang nasibnya cuma jadi kang nasi goreng.
“Lagi broken heart, Bang. Cepet bikinin, daripada saya makan orang,” balasku kesal.
“Siap! Pedas nggak, Mbak?” tanyanya sambil menggoreng pesanan milik pembeli lain.
“Pedas dong, bila perlu pedasnya kayak mulut tetangga, Bang. Yang kalau ngutang imut banget kayak kocheng oranye, giliran ditagih sangar kayak wewe gombel. Mana mulutnya kayak petasan lagi,” jawabku panjang lebar.
“Bisaan aja kalo curhat, Mbak,” sahut kang nasi goreng itu sambil terkekeh.
“Tetangga emang gitu, Mbak. Lagi seneng diomongin, lagi susah apalagi. Susah emang, enggak punya tetangga sepi. Punya tetangga berisik banget,” imbuhnya.
“Lah, kenapa jadi ikutan curhat, Bang?”
Ia meringis, tampak giginya yang putih dan gingsul. Kok ada manis-manisnya ya? Jadi haus.
Tiba-tiba Pak Gio datang, dengan cepat ia menarik tubuh ini untuk duduk di kursi kayu panjang. Tak lama ia duduk menghadapku. “Kalau mau makan, makan saja. Enggak usah ganjen gitu,” celetuknya memecah kebisuan di antara kami.
Aku mengernyitkan dahi, menangkap sinyal yang dihasilkan oleh ucapannya barusan. Sepertinya bau-bau kecemburuan mulai terendus di sini.
“Makanya, jagain yang benar. Biar enggak keganjenan sama orang lain,” balasku sambil terkekeh. Ia hanya melotot menatapku, lalu membuang muka.
Tak lama pesananku datang. Satu piring nasi goreng petai dan es teh manis. Kami makan bersama alias sepiring berdua. Meski awalnya Pak Gio menolak, tapi aku terus memaksanya. Alhasil malah nambah dua piring.
Petai kan juga termasuk sayuran, jadi belum termasuk vegetarian sejati kalau belum cobain petai. Kuyakin sebentar lagi pria kaku itu akan ketagihan dengan yang namanya petai. Selain mencegah kanker, petai juga meredam setres dan depresi. Cocok buat Pak Gio yang otaknya sudah oleng stadium sengklek.
Mungkin sebentar lagi dia akan menyusulku. Hingga kami menjadi pasangan yang serasi dan fenomenal. Mendapat gelar pasangan tersengklek 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...