8. Sandiwara kedua

422 28 3
                                    

“Lepasin,” bisik Pak Gio seraya melepaskan tanganku, “nggak usah GR. Saya terpaksa bilang gitu di depan Jessica buat manasin dia aja, ngerti?” sambungnya.

“Iya, saya tahu kok. Tahu banget malah, makanya saya dukung, Pak. Biar total bikin dia darah tinggi, lagian saya paling nggak suka orang kayak gitu. Enak aja ngatain saya pembantu!” jawabku kesal, sejenak menatap mantan kekasih Pak Gio yang tengah menghentakkan kakinya karena kesal melihat kami. Kemudian pergi meninggalkan tempat ini. Rasain!

“Emang kamu pembantu, ‘kan? Kenapa marah?” ucap Pak Gio tanpa ragu.

Deg! Iya juga ya? Kenapa aku harus marah? Aku menepuk jidat, merasa malu.

“Mbak, tolong servis dia, ya. Buat dia—“ kata pria yang mengenakan kemeja hitam itu pada salah seorang karyawan salon.

Aku berdecak sambil melipat kedua tangan, merasa gemas dengan sikap Pak Gio. Servis, emang aku AC rusak? Pakai diservis segala.

“Gengsi amat, Pak, Cuma bilang cantik doang,” sahutku sambil terkekeh. Ia memutar bola matanya malas. Lalu duduk di sofa yang ada di pojok.

Sedangkan aku mulai melakukan ritual demi ritual. Dari mulai creambath, perawatan wajah dan lain-lain. Sumpah, ini sangat melelahkan. Mending rebahan sambil nonton sinetron azab deh. Heran sama orang-orang yang hoby nyalon berjam-jam.

Namun, semua itu terjawab ketika diriku melihat bayangan sendiri di depan cermin. Gileee lu, Ndro ....

Sungguh tak percaya dengan penampilanku sendiri. Sekarang lebih mirip artis Syifa Hadju. Apelo?

Rambutku lebih indah dan bergelombang, bagai ombak di lautan. Wajahku bersih dan glowing, bagai wajan baru yang terkena minyak. Duh Gusti, kuyakin bakalan banyak yang ngejar-ngejar aku nanti.

Sekarang aku tahu kenapa orang-orang betah nyalon. Aku tak berhenti menatap takjub bayangan sendiri.

“Gimana, Mbak? Suka?” tanya karyawan bertubuh kurus tinggi itu.

“Suka, Mbak. Saya suka banget, makasih ya?” jawabku sambil terus memandangi bayangan sendiri di dalam cermin. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum puas.

Pun dengan Pak Gio yang ternyata sudah ada di belakangku. Ia sempat melongo melihatku di depan cermin. Sepersekian detik ia pura-pura mengalihkan pandangannya.

“Gimana menurut Bapak? Saya cantik nggak?” tanyaku sambil memutar tubuh ini di depan Pak Gio.

“Apa sih, B aja. Udah ayok, kita pergi,” balasnya. Ia berlalu tanpa menungguku. Baeqlah, mungkin kamu nggak kuat lama-lama menatapku, tapi nanti saat kita sudah sah pasti kamu nggak bakal sanggup jauh-jauh dariku, Bambwang!

***

Aku kembali dibuat senang bisa berada di mall. Tempat yang sama sekali tak pernah aku kunjungi. Hanya bisa melihat dari luar, itu pun tak sebesar ini.

Karena pandanganku yang tak bisa berhenti menyapu seluruh isi gedung bertingkat-tingkat ini. Aku sampai tak fokus melihat ke depan, seorang anak kecil tak sengaja menabrakku dan Pak Gio secara bersamaan.

Minuman yang ia bawa harus tumpah mengenai baju kami.

“Hei! Hati-hati kalau jalan!” seru Pak Gio memarahi anak itu.

“Ma-maaf, Om, Tante ... aku nggak sengaja,” ucapnya begitu ketakutan.

“Jangan kasar gitu, Pak, sama anak kecil. Dia nggak sengaja kok,” bisikku pada pria yang wajahnya terlihat kesal.

“Nggak apa-apa, Dek. Lain kali hati-hati, ya?” Aku berusaha menenangkannya. Seketika ia mengangguk, mengerti apa yang aku maksud.

“Duh, maafin anak saya, ya, Mbak?” Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiri kami mengaku sebagai orang tuanya.

“Nggak apa-apa kok, Bu. Namanya juga anak kecil,” kataku lagi. Kemudian mereka pergi.

“Nggak usah bete gitu, Pak. Aku cari baju ya? Biar kita nggak masuk angin, Bapak tunggu di sini.” Ia hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya aku pergi mencari benda yang kumaksud.

Tak butuh waktu lama, aku langsung menemukan benda itu dan memberikannya pada Pak Gio. Ia pun menurut meski wajahnya masih sangat bete. Kami sama-sama pergi ke toilet untuk berganti baju.

Kini, aku sudah berganti baju mengenakan kaos berwarna putih. Sangat pas di badanku. Tak lama Pak Gio muncul mengenakkan kaos berwarna hitam yang kubelikan tadi. Keren!

“Tunggu Salma, apa-apaan ini?” Pak Gio memperhatikan baju yang kupakai.

“Kenapa?”

“Baju kita sama?”

“Enggak.” Aku menggeleng.

“Ini apa? Pa-pa.” Ia mengeja tulisan di kaos yang dikenakannya, lalu beralih pada kaos yang kupakai, “ ma-ma?” ucapnya tampak shock. Seketika aku tertawa.

Kini aku baru sadar kalau baju yang kami pakai adalah couple atau sepasang. Bahkan tulisannya sangat keren, Mama-Papa. Yasalam, kupikir tulisan begitu Cuma ada di mug keramik yang biasa buat ngopi atau ngeteh manja gitu.

“Nggak lucu! Mending aku pake baju basah daripada pakai baju ginian, kamu sengaja, ya?”

“Ish! Mana saya tahu, Pak. Yang milihin penjualannya kok, beneran.” Aku berusaha meyakinkan pria unyu di depanku. Ingin sekali aku tertawa, tapi urung kulakukan. Bisa-bisa dia tantrum di sini lagi.

“Udahlah, ini keren, Pak. Kita jadi kompak,” ucapku sambil terkekeh. Kulihat orang-orang mulai menatap aneh pada kami. Sesekali mereka berbisik dan tertawa kecil.

“Keren apaan? Yang ada aneh! Dahlah, kita pulang aja!” balasnya masih tak suka.

“Eh jangan dong, Pak ... kita kan baru masuk ke sini,” sergahku. Namun, ia tak mengindahkan permintaan itu. Bahkan Pak Gio berlalu tanpa memperdulikan aku.

“Kalau Bapak pulang, saya akan buat nama Bapak dicoret sebagai ahli waris Kakek Sanjaya!” teriakku kencang. Seketika langkahnya terhenti. Aku bahkan tak perduli dengan tatapan orang lain. Bodo amat!

Tak lama Pak Gio melanjutkan langkahnya. Sial! Nggak mempan ancamanku? Omegod!

Kini, aku kehilangan jejak pria menyebalkan itu. Bisa-bisanya ninggalin gadis cantik sepertiku di tempat umum seperti ini. Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang.

Kemudian aku melihat seorang satpam tengah duduk di depan sebuah meja yang lebih mirip seperti mimbar dengan microphone kecil menjulang di atas meja itu. Bergegas aku ke sana.

“Selamat siang, Pak?” sapaku pada pria yang mengenakan seragam satpam itu.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” jawab pria bernama Kusnardi itu. Tampak jelas nama yang tertera di baju seragamnya.

“Iya, Pak. Boleh saya minta tolong?”

“Boleh, minta tolong apa?” Tanpa menjawab, aku membisiki sesuatu pada Pak Kusnardi.

“Baik, Mbak,” ucapnya saat setelah aku membisikinya.

“Sip!”

“Pemberitahuan kepada saudara Gio Sanjaya. Ditunggu istrinya yang sedang hamil di lantai dua. Hampir pingsan karena lelah mencari Bapak. Terimakasih,” ucap Pak Kusnardi terdengar menggema di seluruh penjuru mall. Kita lihat, apa pria itu akan tetap meninggalkan aku? Ngoahahaa

Benar, beberapa menit kemudian Pak Gio muncul dari eskalator tak jauh dari sini. Ia bergegas menghampiriku dengan wajah yang tak bisa dijelaskan.

“Anda Pak Gio?” tanya Pak Kusnardi saat Pak Gio datang. Seketika ia mengangguk. Dan aku memasang tampang seperti orang yang sedang sakit, lemas dan pura-pura mual.

“Kalau istrinya lagi hamil jangan ditinggal-tinggal dong, Pak. Kasihan, kalau terjadi apa-apa gimana?” ucapnya lagi.

“I-iya, Pak. Tadi saya salah menggandeng. Saya pikir istri saya, ternyata istri orang,” jawab Pak Gio. Jiaah salah gandeng istri orang, bisa aja pentol korek.

“Ya sudah, kami permisi dulu, Pak. Terimakasih,” lanjutnya sambil menggandengku.

Siap-siap Salma! Kau sudah membangunkan singa kelaparan. Hatiku kebat-kebit tak karuan. Siapa saja tolong bantu aku!

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang