Mataku masih enggan membuka, aku seperti sudah sangat lama tertidur. Hingga mata ini terasa lengket. Namun, telingaku mampu mendengar keadaan sekitar. Tidak ada suara apa pun selain bunyi yang belum diketahui wujudnya.
‘Nit ... nit ... nit ....’
Begitu bunyi yang kudengar. ApaApa tidak ada orang? Di mana aku? Kenapa badanku sakit semua? Hingga sulit sekali untuk digerakkan. Meski sekedar menggerakkan satu jari, tubuh ini seperti lumpuh.
Perlahan membuka mata. Beberapa detik kemudian, sebuah cahaya mampu menyapa pupil mataku. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat langit-langit sebuah ruangan yang cukup terang.
Berusaha menyapu keadaan sekitar. Aku langsung memastikan, jika diriku berada di klinik atau rumah sakit. Tampak besi panjang berdiri di sisi kiriku lengkap dengan infusnya.
Apa yang terjadi pada diriku? Namun, aku sedikit terkejut mendapati seseorang di sampingku tengah terlelap. Wajahnya sedikit terbenam oleh selimut yang menutupi setengah badanku. Ia duduk di kursi, akan tetapi setengah badannya ia jatuhkan di atas ranjang dimana aku berbaring. Tanganku dipegang erat olehnya.
Pak Gio ... benarkah itu dia?
Berusaha menggerakkan tangan agar ia terbangun. Rasa penasaran membuatku begitu ingin memastikan laki-laki itu. Tak lama ia terbangun, seketika hati ini merasa senang. Ada rasa rindu, seakan sudah sangat lama kami tak berjumpa. Dia benar-benar Pak Gio.
“Salma, kamu sudah sadar?” ucapnya tampak bahagia. Ia beranjak dari tempat duduknya, lalu tangannya menyentuh wajah ini dan menatapku lekat. Mata Pak Gio mengembun, membuatku tak kuasa menahan air mata.
Pak Gio memeluk tubuhku yang tengah terbaring lemah, aku cukup tenang berada dalam dekapannya. Kami menikmati suasana haru ini, hingga akhirnya tangis kami pecah di sana.
Tak lama ia melepaskan pelukannya, lalu mengusap pipinya yang sudah banjir air mata. “Apa kamu butuh sesuatu?” tanyanya.
Aku melempar senyum seraya menggeleng pelan. “Apa yang terjadi dengan saya, Pak?” tanyaku lirih.
“Lusa kemarin, bus yang kamu tumpangi kecelakaan. Hampir semua penumpang tewas. Beberapa orang kritis, termasuk kamu,” jelasnya.
Ya, aku baru ingat. Terakhir aku menaiki bus berniat pulang ke Bandung, tapi di tengah perjalanan mengalami kecelakaan. Dan setelah itu aku tak ingat apa pun lagi. Syukurlah, Allah masih memberiku umur panjang.
“Ini akibatnya, kalau kamu pergi tanpa izin dari suami,” ucapnya sedikit membuatku terkejut. Pak Gio masih menganggapku istri?
“Hei, mengerti tidak?” ucapnya lagi membuyarkan lamunanku.
“Emm ... sa-saya—“
“Permisi?” sapa seseorang memotong ucapanku. Seketika Pak Gio menoleh ke sumber suara.
Muncul seorang wanita mengenakan seragam suster, disusul pria berperawakan tinggi besar. Ia mengalungkan alat stetoskopnya di leher. Mereka menghampiri dan memeriksaku.
Setelah berbincang sebentar terkait kesehatanku, mereka berlalu. Sebuah mukjizat telah tersemat di kehidupanku yang kedua ini. Bisa selamat dan melewati masa kritis selama dua hari terakhir, adalah kuasa Allah yang tak pernah bisa terbaca oleh kacamata manusia.
Benturan keras di kepala dan luka serius di bagian punggungku, membuat tim dokter harus bertindak melalui operasi tulang belakang. Kini, aku masih sangat lemah dan tak mampu bergerak bebas.
Tak lama setelah dokter beserta perawat tadi pergi, aku kembali terkejut melihat kakek datang bersama Emak, Nia dan satu orang pria. Aku langsung teringat saat pria itu semakin mendekat, wajahnya tak asing. Dia ada bersama Pak Gio saat aku pertama kali bertemu dengannya di jalan. Ya, aku yakin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...