Insiden ngidam dadakan kayak tahu bulat di kafe tadi, sukses membuat Pak Gio murka. Sepertinya sebentar lagi aku bakal dicincang habis-habisan olehnya. Meskipun ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Namun, raut wajahnya tampak begitu menyeramkan. Diam seribu bahasa. Dari bahasa Indonesia sampai bahasa planet.
Kami berdua melaju kencang dari kafe. Semoga saja aku nggak diturunin di hutan untuk santapan binatang buas. Duh! Mampus aku!
Namun, semua terjawab saat kami berhenti di depan rumahnya. Ia bergegas keluar dari mobil dan membuka pintu untukku.
"Cepat turun!" ucapnya seraya menarik tangan ini kasar. Mati aku! Beneran dia bakal cincang, tumis dan kasih kucing tubuh ini.
Aku yang tak bisa melawan, hanya menurut saja ke mana lelaki itu akan membawaku.
"Aw! Kalau mau berhenti nyalain lampu sein dulu kek, jadi nabrak, kan? Aliran emak-emak sein kiri beloknya kanan nih," rutukku saat Pak Gio berhenti secara tiba-tiba. Membuatku menabrak tubuh kekarnya dari belakang. Ia hanya membalikkan tubuhnya, lalu menatapku dengan tatapan menyeramkan.
"Kenapa berhenti, Pak? Gak ditarik lagi? Ditarik sampai ujung dunia juga aku rela kok, Pak." Aku menyodorkan tangan kanan ini padanya.
"Astaga Salma! Kamu ini makhluk apaan sih? Ditarik-tarik kasar gitu bukannya protes malah ketagihan," ungkapnya kesal.
"Yang jelas bukan makhluk astral, Pak."
"Ah sudahlah, pusing saya lama-lama sama tingkah kamu."
"Ish! Jangan pusing-pusing, Pak. Nanti lama-lama yang ada di otak Bapak Cuma saya seorang gimana?" Aku menaik-turunkan alis bermaksud menggodanya.
Ia mendelik dan mengepalkan tangannya. Seolah ingin meninjuku. "Udah sana masuk! Pokoknya saya gak bakal ngajak kamu keluar lagi, bikin malu." Ia mengusap wajahnya kasar. Sedangkan aku hanya menunduk malu.
"Terus ngapain coba kamu pakai bilang lagi ngidam bayi kita? Gimana kalau ada yang kenal saya? Bisa anjlok reputasi saya gara-gara kamu!" ucapnya lagi tampak geram. Entah mengapa aku semakin suka melihatnya marah, lucu sekali wajahnya. Kayak badut di acara ulang tahun.
"Iya, Pak. Maaf, saya nggak bermaksud mempermalukan Bapak, kok," sesalku pada pria kaku itu.
"Ya sudah sana masuk. Masak kek, beres-beres rumah atau apalah terserah kamu. Saya mau ke kantor lagi," ujarnya sambil berlalu.
"Tunggu, Pak!" Seketika langkahnya terhenti, tanpa menoleh ke arahku.
"Apa?"
"Katanya mau ke kantor? Kok malah mau masuk ke rumah?" Tanpa menjawab ia berbalik dan berjalan menuju mobilnya.
***
Pukul empat sore. Setelah selesai membereskan rumah sebesar ini sendirian, hayati lelah. Gini amat nyari duit.
Andai aku punya suami orang gedongan. Nggak muluk-muluk, cukup kayak Pak Gio saja. Pasti hidupku tak perlu susah payah kerja. Tinggal nunggu jatah bulanan plus jatah harian tanpa gerah hati dan gerah body. Duh mulai ngelantur lagi.
Daripada ngelantur terus kesambet setan herbivora, lebih baik aku baca novel favoritku yang judulnya Bakso Ular. Jangan tanya penulisnya kayak apa, cetar dah pokoknya.
Cantik? Woiya jelas!
Siapa sih?
Umi Ghani dong, siapa lagi? Emang ada penulis sengklek yang bikin novel judulnya Bakso Ular? Itu novel apa buku resep? Kalau ada lagi penulis kayak gitu, bungkus kirim ke Tegal.
"Salma ...."
"Eh, Pak Gio sudah pulang?" ucapku basa-basi. Bener-bener memedi nih, suka nongol tiba-tiba.
"Kamu masak, kan?" tanyanya sambil melonggarkan dasi yang ia kenakan, kemudian membuka kancing di pergelangan tangannya. Seketika aku mengangguk pasti.
"Bagus, tolong hangatkan makanannya. Sebentar lagi Kakek saya pulang."
"Kakek Sanjaya?"
"Kamu tahu dari mana, Kakek saya bernama Sanjaya?" tanyanya heran.
"Jangankan nama kakek Bapak, nama mantan Bapak juga saya tau," jawabku sambil terkekeh.
Ia hanya menggelengkan kepala, kemudian berlalu tanpa permisi. Astaga! Apa dia sedang PMS? Dasar kanebo kering!
"Cepat Salma! Kerjakan yang saya perintahkan, jangan banyak ngatain Bos sendiri dalam hati. Bisa kualat!" teriaknya terdengar jauh. Namun, masih dapat kudengar dengan jelas.
Apa dia bisa membaca isi hatiku? Omegod!
Sekonyong-konyong aku berlari ke dapur mengerjakan apa yang menjadi perintahnya. Namun, di saat aku tengah menyajikan beberapa menu makanan yang kubuat. Samar-samar terdengar suara Pak Gio memanggilku.
Tanpa pikir panjang, aku bergegas mencari sumber suara. Yang ternyata berasal dari kamarnya. Aku menelan ludah kuat-kuat, apa yang akan dilakukan Pak Gio jika aku masuk ke kamarnya?
Jangan-jangan ini akal bulus Pak Gio? Gimana kalau ternyata dia Cuma mau mengambil kesempatan dalam kesempitan? Duh, ini sih ujian terberat dalam sejarah hidupku. Gimana ini? Masuk, nggak, masuk, nggak, masuk! Oke masuk.
"Pak Gio ...," panggilku lirih.
"Salma! Bukain pintu kamar mandi, saya kekunci!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu.
"Loh, kenapa bisa kekunci, Pak? Apa yang harus saya lakukan?" ucapku panik.
"Dobrak aja dari luar!"
"Apa dobrak? Saya nggak sekuat itu, Pak."
"Coba dulu, Sal!"
"Oke, akan saya coba." Tanpa membuang waktu, aku mundur beberapa langkah. Mata ini fokus pada pintu kamar mandi di hadapanku.
"Hiyaaaaaaa!"
Braaaaaakk! Bunyi pintu yang beradu dengan tubuhku begitu memekakkan telinga, bersama dengan tulangku yang terasa remuk. Bukan pintunya yang roboh, justru aku terpental saat ternyata pintu itu terbuka dari dalam.
"Eh, sory Sal. Saya baru sadar, kalau pintunya bukan ditarik ke dalam cara bukanya. Tapi didorong keluar," ujar pria sialan itu tanpa berdosa.
"Bapak ngerjain saya?" ucapku marah.
"Sory, saya benar-benar lupa. Baru kemarin pintunya diperbaiki, saya masih suka lupa kalau sekarang cara bukanya didorong bukan ditarik," balasnya sambil meringis.
"Makanya di pintunya kasih tulisan DI-DO-RO-NG gitu! Biar gak lupa, sampai makan korban gini kan. Sakit tau!" Aku mengumpat. Sangat menyesal telah membuang waktu demi sesuatu yang unfaedah!
"Iya iya maaf, sini saya bantuin." Pak Gio membantuku berdiri. Sepersekian detik mata kami beradu.
Harum tubuh Pak Gio membuatku dag-dig-dug tak karuan. Terlebih dengan posisi kami yang saat ini tak berjarak, tentu saja membuatku semakin salah tingkah.
"Hayooo ... ketahuan, kan?" Suara seseorang membuat kami tersentak kaget. Terlihat beberapa orang berdiri di tengah pintu, menyaksikan kami berdua dalam keadaan setengah berpelukan.
Seketika melepaskan pegangan kami satu sama lain. Lalu menatap wajah-wajah penuh selidik.
"Oh, jadi bener yang dikatakan Pak Salim, kalau Mas Gio masukin perempuan di rumahnya sendiri, dan sekarang perempuan itu sedang hamil?" ucap salah seorang di antara mereka.
Mendengar itu aku dan Pak Gio saling melirik penuh tanda tanya. Kami sama-sama shock. Apa maksud perkataan pria berambut putih itu?
"Ada apa ini? Jangan asal bicara, Pak. Ini rumah saya, seenaknya kalian masuk ke sini tanpa permisi dan berbicara sesuatu yang tidak ada buktinya," jawab Pak Gio tak terima.
"Sudah ketangkap basah masih aja ngelak, kami sedang menggerebek kalian," balas pria itu lagi. Berbeda dengan yang lain, hanya diam menatap kami tak suka.
Kami digerebek? Omegod! Auto pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...