9. Salma Ngompol

486 25 0
                                    

“Pak, mau ngapain ke sini?” Aku bertanya pada Pak Gio. Saat sudah sampai di depan bangunan besar bertuliskan Hotel ADUHAI bintang lima.

Pak Gio masih diam dengan sejuta rasa yang tak bisa kupahami. Ia kembali menyeretku kasar. Kali ini aku tak bisa lolos dari amukannya. Ia benar-benar marah!

Pria itu tak menjawab pertanyaanku, membuat hati ini semakin gelisah. “Pak, ki-kita mau ngapain ke sini?” tanyaku lagi sembari berusaha melepaskan cengkraman tangan Pak Gio yang begitu kuat.

“Kita bikin bayi beneran, biar kamu nggak perlu lagi bersandiwara. Oke?” jawabnya begitu mengejutkan. Mampus aku!

Benarkah yang diucapkan Pak Gio? Duh Gusti, jauhkan setan di antara kami. Aku tak mau melakukan itu berdasarkan emosi. Sabar, Pak ... nggak lama lagi juga kita ngerasain bikin bayi beneran kok, tapi nggak gini caranya!

Aku terus berusaha melepaskan tangan Pak Gio. Namun, tenaganya lebih besar dariku. Hanya bisa menurut dan pasrah, meski hati ini tak rela jika sampai dia merenggut kesucianku.

Tiba di depan kamar nomor 111, Pak Gio memaksaku masuk. Dengan cepat ia mengunci pintu, lalu mengimpitku di antara dinding dan tubuh kekarnya.

Kini, wajah kami saling berhadapan. Hembusan napasnya terdengar memburu, bertabrakan dengan napasku yang juga ngos-ngosan karena diseret-seret olehnya.

“Pak ... istighfar, Pak. Jangan kalap gitu, sa-saya mi-minta maaf. Saya janji nggak akan melakukan hal bodoh itu lagi. Tolong, jangan renggut kesucianku. Saya masih SMP, Pak,” ucapku gemetar.

Pak Gio terkekeh. “Kamu nangis?”

Ya, rasa takutku lebih besar daripada saat ketemu setan. Tak terasa air mataku sudah banjir membasahi pipi.

“Bau apa ini?” tanyanya lagi. Ia mengendus-endus badanku, mencari sumber bau yang tercium di rongga hidungnya. Dan aku pun mencium bau aneh itu.

“Salma! Celana kamu basah?” Pak Gio terkejut melihat ke arah bawah.

“I-iya, Pak. Sa-saya ... ngompol,” jawabku malu. Seketika pria itu terbahak sambil memegang perutnya.

Aku berlari masuk ke kamar mandi. Cukup! Ini sangat memalukan, belum diapa-apain sudah banjir. Kini celanaku basah kuyup, bau khas kencing begitu menyengat. Bergegas aku menyiram bagian celana yang basah oleh kencing, supaya baunya sedikit menghilang.

“Salma!” teriak Pak Gio dari arah luar sambil mengetuk pintu. Aku kembali blingsatan, takut jika dia mendobrak pintu kemudian menerkamku. Bagaimana ini?

“Salma ... buka pintunya!”

“Nggak mau ... saya nggak bakal keluar kalau Pak Gio masih di situ!”

“Kenapa? Kamu takut bikin bayi?” katanya sambil tertawa. Rupanya dia puas melihatku ketakutan seperti ini. Baeqlah, kali ini Anda menang, Pak!

Aku tak menjawab pertanyaan konyol itu. “Sudah cepat keluar, nanti masuk angin. Saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu, tenang saja!” teriaknya lagi.

“Benarkah?” Aku memastikan ucapannya.

“Iya!”

Klek!

Perlahan aku membuka pintu. Pak Gio berdiri di sana. Wajahnya begitu mengejek sekali, senyum-senyum nggak jelas. Sial!

“Ganti celanamu, saya hanya punya ini. Lumayan daripada nanti masuk angin,” ucapnya sembari menyodorkan sebuah celan pendek, oh tidak! Lebih tepatnya kolor.

“Hah? Serius Bapak nyuruh saya pakai ini?” Aku mengangkat kolor bergambar Doraemon.

“Iya pakai saja, kalaupun saya kasih celana punya saya. Pasti kebesaran, nanti dikira kamu orang-orangan sawah lagi.”

Aku menatap kolor itu sedikit geli, membolak-balikan benda itu berkali-kali. “Ini punya Bapak?” tanyaku dengan menahan tawa. Tak bisa kubayangkan, pria kaku itu mengenakan kolor bergambar Doraemon.

“Sudah jangan bawel! Cepat pakai, saya tunggu. Abis ini kita pulang,” titahnya sambil mendorongku masuk lagi ke kamar mandi.

“Benarkah? Em ... maksud saya, Bapak nggak jadi—“

“Enggak, saya cuma mau ngambil sesuatu yang ketinggalan. Semalam saya boking kamar ini bareng teman,” jelasnya. Seolah tahu apa yang ada di pikiranku.

Fiuuh! Hampir saja, kukira dia benar-benar akan mengajakku membuat bayi.

Beberapa saat kemudian, aku keluar mengenakan kolor milik Pak Gio. Ia kembali terbahak.

“Jangan ketawa terus, Pak. Nanti kualat!”

“Justru kamu yang kualat beberapa kali mengerjai saya! Sekarang rasakan akibatnya, belum diapa-apain udah ngompol,” jawabnya sambil terkekeh.

“Hemm ....” Aku memutar bola mata malas.

Kami berjalan dari kamar hotel tadi sampai ke parkiran dengan santai. Meski sebenarnya aku malu. Kaos putih dipadu kolor Doraemon di atas lutut, sungguh imut! Jangan tanya tatapan orang-orang terhadapku. Tentu mereka bisik-bisik tetangga!

Apalagi Pak Gio, wajahnya berseri-seri. Seperti habis malam pertama.

Baru beberapa hari saja kami sudah banyak bertingkah konyol. Bagaimana bila kami ditakdirkan untuk bersama? Omegod! Apa mungkin aku kuat bersama dengan pria seperti itu?

Ngaca woi!

Kenapa?

Harusnya Pak Gio yang ngomong begitu. Dia yang bakal setres punya istri sengklek kayak kamu!

Oya? Kita lihat aja nanti, Marimar. Cih!

***

Kami berdua pulang membawa sebungkus rasa yang hanya aku dan Pak Gio rasakan. Pokoknya ambyar! Niat cuci mata malah cuci celana. Percuma sudah berjam-jam nyalon, eh malah jadi begini.

Saat tiba di rumah, kami kembali dibuat terkejut saat beberapa orang tengah memasang dekorasi pelaminan. Sangat mewah dan berkelas.

“Apa ini, Kek?” Pak Gio tanpa basa-basi menanyakan hal itu.

“Kakek memutuskan untuk segera menikahkan kalian berdua besok,” tuturnya begitu serius. Aku dan Pak Gio terhenyak mendengar ucapannya.

“Kek, please. Jangan paksa Gio buat ngelakuin semua hal yang Kakek mau. Gio udah dewasa, Gio berhak nentuin kebahagiaan Gio sendiri. Pokoknya Gio nggak akan mau menikah dalam waktu dekat ini, terserah Kakek mau mikir apa.” Pak Gio berlalu tanpa menunggu jawaban sang kakek.

Suasana menjadi tak enak. Aku hanya diam, tak bisa berbuat apa pun. Sepertinya Pak Gio benar-benar serius dengan apa yang dikatakan barusan.

“Gio!” teriak kakek. Namun, sang cucu terlanjur hilang di balik pintu kamarnya.

Aku berusaha menenangkan kakek. Kuantar beliau ke kamar, mengambil obat dan menyuruhnya untuk minum. Supaya ia lebih tenang.

“Kek, boleh Salma ngomong sesuatu?” Aku memecah keheningan di ruangan ini. Kakek hanya mengangguk pelan seraya tersenyum padaku.

“Nggak semua hal bisa dipaksakan, Kek. Apalagi jika menyangkut hati, semua butuh proses. Salma rasa, Pak Gio bukan orang yang mudah untuk melakukan sesuatu yang tak pernah diinginkannya.”

Kakek kembali tersenyum. “Kamu benar, Nak. Watak Gio sangat keras, dia butuh sosok yang santai dan ceria di sampingnya. Seperti kamu,” jawab kakek terdengar menggelitik. Aku tersenyum tipis, ada desiran aneh saat jiwaku dipasangkan dengan lagu Kerispatih—Dia.

“Tapi, bukankah Kakek sendiri yang mengatakan, jika sesuatu yang serius tak bisa dibuat main-main? Menikah bukan hanya menyatukan dua insan dan dua hati, tapi menyatukan dua perbedaan yang sama sekali belum kita pahami.”

Aseeekk ... tumben aku ngomongnya lempeng. Pasti gara-gara aku ngompol tadi. Hormon Oksitosin yang ada dalam tubuh luntur bersama air kencingku.

Oksitosin adalah hormon kedekatan, hormon kepercayaan, atau kadang-kadang disebut hormon cinta. Hormon tersebut diduga memainkan peran penting dalam keintiman manusia, melahirkan, gairah seksual, kepercayaan, dan ikatan pasangan.

Aih! Kenapa jadi kayak Dokter Boyke? Ngomongin keintiman segala.

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang