Untuk kedua kalinya, siluman ulat bulu itu terkaget-kaget. Raut wajahnya tak bisa dijelaskan, antara shock dan mengejek. Perlu diraba, diterawang dan dicukil matanya! Ia tersenyum aneh, hingga menebar virus. Dan aku mulai terpapar virusnya—tangan ini gatal, pengin nabok!
“Ya sudah, aku pergi dulu. Sudah enggak ada lagi yang perlu ditandatangani, kan?” Pak Gio buru-buru menyerobot dengan cara pamit undur diri dari sekretarisnya itu sembari menggandengku.
Omegod! Seketika hati ini meleleh. Haruskah aku terus berhadapan dengan ulat bulu? Supaya terus digandeng seperti ini?
Kurasa Pak Gio sengaja menghindarinya, sebelum perang di antara kami terjadi. Namun, baru selangkah kami pergi. Nia mencegat.
“Tunggu Gi, tapi nanti siang ada janji sama klien penting loh. Ada proyek baru, kan?” katanya.
“Emm ... Nia, untuk beberapa hari ini semua pekerjaan dihandle Sandy. Kalau perlu apa-apa bicarakan dengannya saja, aku percaya sama kalian. Tolong kendalikan semua selama aku enggak ada, ya ... aku pergi dulu,” jawab Pak Gio tegas. ‘Uwwu’ sekali kedengarannya, cukup menohok!
“Wow ... sangat mengejutkan. Ini bukan kamu banget, Gi. Biasanya kamu itu paling anti meninggalkan pekerjaan yang sangat penting seperti ini, apalagi proyek ini sudah lama kamu impikan. Kenapa sih? Memang kamu mau ke mana?” cerocosnya lagi.
Ish! Sok akrab dan sok paling mengerti Pak Gio. Percuma, Munah! Jika ujung-ujungnya kamu bukanlah pelabuhan hati Pak Gio. Ngoahahahaa
“Bulan madu!” jawabku tegas. Seketika ia menatapku sinis.
Kuyakin ada yang remuk, tapi bukan kaca. Ada yang sakit di dalam sana, tapi tak berdarah. Jadi pengin belah dadanya, biar berdarah! Pisau mana pisau?
“B aja dong mukanya. Apa perlu saya ulangi lagi? Lagian masa kamu enggak tahu ritual pengantin baru sih? Oh, mungkin karena belum pernah ngerasain kali ya ... semoga segera dipertemukan dengan jodohnya. Panggil karyawan OB biar cepat dikabulkan,” ledekku.
“Maksudnya?”
“Amin ...,” jawabku sambil mengusap wajah dengan kedua tangan. Seketika wajahnya memerah, seperti kepiting rebus.
“Ayo kita pergi, sudah siang,” ajaknya padaku sambil berlalu meninggalkan dua perempuan yang tengah berperang santai meski darah seakan mendidih hingga ke ubun-ubun.
“Kami bulan madu dulu ya, daaah ....” Aku melambaikan tangan pada perempuan itu. Melempar senyum setengah mengejek. Bisa kulihat kekesalan yang ia tunjukkan, wajah cantiknya membuang muka dan tangannya mengepal kuat.
***
Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju bandara. Namun, sejak tadi Pak Gio hanya diam. Secuil pun ia tak membahas soal tadi. Aku merasa tak enak, mungkinkah sikapku sudah keterlaluan?
Sebetulnya aku bukan tipe orang yang akan memanfaatkan kesempatan dan keuntungan. Aku hanya tak suka dengan perempuan bernama Nia itu. Entahlah, aku pun tak bisa menjelaskan alasan tak sukaku itu seperti apa. Apa ini yang namanya cemburu?
Ish! Kenapa aku harus cemburu? Au ah gelap! Intinya aku tak suka dengan perempuan kegatelan itu, apalagi dari gerak-geriknya tercium bau pelakor! Harus dibasmi dengan cepat, jika tidak akan merajalela.
Setibanya di bandara. Untung saja datang di waktu yang tepat, kami hampir saja telat. Karena jadwal pesawat yang kami tumpangi sebentar lagi akan berangkat.
“Kamu kenapa?” tanya Pak Gio saat kami sudah duduk di dalam pesawat dan bersiap terbang.
“Kenapa apanya?” tanyaku pura-pura santai. Padahal jantungku seperti mau copot!
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Majikan
HumorCinta datang karena sebuah ikatan, bukan karena dekat. Namun, tanpa kepastian. Lalu, bagaimana jika ikatan lain datang mematahkan semuanya? Bahkan lebih dari sekedar hubungan itu sendiri. Salma Aristia harus menikah dengan majikannya sendiri bernama...