17. Ulat bulu

459 27 1
                                    

“Tapi, Kek—“ ucap Pak Gio terpotong saat kakek memberi kode dengan mengangkat satu tangannya seolah tidak ingin mendengar alasan apa pun dari cucunya.

“Ayolah, Gio. Kapan lagi kamu meluangkan waktumu untuk bersenang-senang, apalagi statusmu sekarang sudah menjadi suami. Nikmati dan buat harimu tidak sia-sia bersama istrimu,” tukas sang kakek.

Lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa pun saat melihat kedua pria itu berdebat untuk sesuatu yang kaitannya dengan diriku. Aku hanya perlu menunggu dan menuruti siapa yang menang. Sisanya menikmati.

“Tapi kerjaan Gio di kantor lagi numpuk, Kek.” Pak Gio mendekati kakek, berusaha mencari alasan untuk menolak permintaannya.

Lagi, kakek menunjukkan bahwa ia tak mau tahu alasan apa pun dengan menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri sambil menggelengkan kepalanya pelan. “Urusan kantor biar kakek yang mengurus, ada Sandy yang akan membantu kakek.”

Pak Gio menghela napas berat, tampak jelas keterpaksaan di raut wajahnya yang tampan. Cucu yang malang!

“Bersiaplah, besok kalian berangkat. Kakek sudah menyiapkan segala keperluan kalian,” ucap kakek lagi. Aku hanya tersenyum kecil setengah girang di dalam hati. Kenapa nunggu besok coba? Padahal sekarang saja aku enggak bakal nolak.

Seketika Pak Gio mengangguk dan pergi ke kamarnya. Membuat kakek tersenyum lega. Tak lama aku pun pamit dan menyusul Pak Gio.

***

Paginya aku dan Pak Gio bersiap pergi ke bandara diantar Asep. Tiket pesawat kami akan berangkat pukul delapan. Entah kenapa, semakin ke sini aku merasa deg-degan. Bukan karena berada di dekat Pak Gio, tapi takut naik pesawat.

Duh, jangan sampai Pak Gio tahu soal ini. Bisa jatuh harga diriku di depan pria itu. Entah apa yang akan dia lakukan jika mengetahui hal ini.

Tiba-tiba dering ponsel Pak Gio membuyarkan lamunanku, tak sengaja aku melihat nama yang tertera di layar ponselnya ‘Nia’. Auto mendelik, ngapain dia sepagi ini sudah menelepon Pak Gio? Dasar perempuan gatel!

“Iya, halo? Ada apa?”

“Aku enggak bisa Nia, ada urusan.”

“Oh, baiklah. Saya sempatkan ke sana dulu.”

Begitu obrolan yang bisa kudengar. Ngomong apa kira-kira? Sampai-sampai Pak Gio langsung menurut. Sepertinya Pak Gio sama Nia benar-benar sudah sangat akrab.

“Sep, kita ke kantor dulu ya, ada berkas yang sangat penting harus ditandatangani,” titah Pak Gio pada sopir pribadinya itu. Seketika Asep mengangguk.

Oh ... soal pekerjaan. Baiklah, Marimar! Ini kesempatan bagus untuk aku bertemu dengan sekretaris Pak Gio. Saat yang tepat untuk membuatnya sadar diri.

Tiba di sebuah gedung besar bertingkat. Hanya melihat bangunan itu, aku merasa kantor Pak Gio sudah lama berkecimpung di dunia bisnis. Sangat besar dan mungkin sudah berkembang pesat menjadi salah satu perusahaan terkemuka di kota metropolitan ini.

Aku ikut turun saat Pak Gio keluar. “Kamu ngapain?” tanyanya.

“Mau ikut masuk,” balasku santai sembari merapikan rambut.

“Enggak perlu, saya cuma sebentar.”

“Kenapa? Saya juga cuma pengin lihat kantor Bapak, enggak boleh?”

Tanpa menjawab atau pun mengajakku, ia berjalan menuju kantor miliknya. Astaga! Kebiasaan, senang banget ninggalin aku tanpa kepastian. Aku berlari menyusul Pak Gio, hingga saat di depan pintu. Seketika tatapan orang-orang tertuju pada kami.

Menikah dengan MajikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang