Epilog

4.4K 297 63
                                    

rianaamoura
Makasih buat saran dan dukungannya,
Jangan lupa baca part ini :)






Apa kabar?

Dapet salam dari Author Amaryllis yang kayaknya sering kalian hujat :(

Ngaku, hayo...

.

.

.

.

.

"Ah, aku sempat lupa! Bahwa kebanyakan manusia lebih menyukai rasa sakit dibanding kesempatan kedua."





Rintik hujan turun dengan lumayan deras. Cukup untuk membasahi kota dan membuat genangan air setinggi lima senti di jalan-jalan.

Tetesan air turun dari rambut hitam legam milik Kieran yang mulai memanjang membasahi batu nisan bertuliskan nama adiknya.

Shaleta Amaryllis Prayuda binti Orion Dewa Lakeswara.

Terlalu sesak. Kieran tak sanggup menahan derasnya air mata melawan hujan yang juga membasahi dirinya. Ia menyugar rambutnya dan mengangkat wajah. Menatap awan kelabu yang bergerumbul seolah tampak sedih. Jemarinya mengusap batu nisan bertuliskan nama adiknya.

Katanya, setelah kepergian seseorang, kita baru ingat betapa berartinya orang itu.

Betapa berartinya kehadiran orang tersebut di kehidupan kita.

Jemari Kieran mulai bergetar. Ia kembali menatap makam adiknya yang masih bertanah merah, tanda bahwa kematian orang di dalamnya baru terjadi.

Air matanya kembali pecah. Kieran menangis dengan tersedu-sedu tanpa peduli wajahnya yang memucat, kedinginan karena ia cukup lama diguyur hujan.

"Leta..."

Suara serak Kieran keluar dengan tercekat.

"Bahkan sampai akhir hidup kamu, Kakak belum menjadi sosok pahlawan yang kamu banggakan,"

"Bahkan sampai akhirnya, Kakak tetep enggak ada di samping kamu."

Kieran mengusap pipinya dengan lengan baju. Padahal yang ia lakukan percuma, karena dengan cepat air mata juga air hujan kembali membasahi wajahnya.

"Maaf karena kakak baru berani bilang ini disaat kamu enggak ada,"

"Leta, Kak Kieran sayang sama Leta. Sebagai seorang Kakak. Meskipun nyatanya Kak Kieran enggak pantes disebut sebagai Kakak. Kak Kieran sama sekali enggak pantas nyandang nama sebagai Kakak kamu,"

Napas Kieran mulai terasa sesak. Terlalu sesak hingga ia terengah-engah dan mencari banyak oksigen dengan mengambil napas dari mulutnya. Jemarinya merambat ke tanah yang menimbun tubuh kurus adiknya.

"Sekarang Kakak enggak bisa lagi nyubit pipi gembil kamu! Sekarang... Kakak enggak bisa lagi ngeliat mata berbinar kamu saat Kakak ngajarin kamu!"

Mata berairnya lekat memandang gundukan tanah. Ia mencoba menarik ujung bibirnya yang bergetar. Membentuk seutas senyuman tipis. Senyuman yang biasanya ia layangkan pada adiknya saat ia bersemangat karena telah berhasil menjawab soal-soal yang Kieran berikan.

Amaryllis (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang